Polemik Vaksin Booster untuk Syarat Mudik, Benarkah Pemerintah Inkonsisten?

"Pemberlakuan syarat antigen, PCR, dan vaksin booster adalah permainan korporat dalam meraup keuntungan yang menggiurkan. Mengingat layanan kesehatan saat ini sangat dikomersialkan, bahkan banyak yang menilai kebijakan ini selalu ada unsur politisasi oleh sejumlah pihak."

Oleh. Mariam
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Seiring kasus Covid-19 yang semakin melandai, pemerintah memberikan lampu hijau untuk mudik lebaran Idulfitri 1443 Hijriah. Hal ini dilakukan, setelah dua tahun sebelumnya mudik dilarang lantaran kondisi Indonesia masih berada dalam pusaran pandemi Covid-19. Namun demikian, pemerintah tetap memberikan syarat wajib yang harus dipatuhi para pemudik, yaitu sudah merampungkan dua dosis vaksin Covid-19 dan booster. Bagi pemudik yang sudah menerima vaksin booster, maka tidak perlu melampirkan hasil negatif pemeriksaan Covid-19 saat melakukan perjalanan mudik. Sementara warga yang belum vaksin booster perlu melakukan pemeriksaan rapid test antigen ataupun PCR yang melampirkan hasil negatif dari Covid-19.

Syarat tersebut kemudian memunculkan polemik dan protes dari masyarakat, pasalnya pemerintah telah menghapus syarat negatif virus corona melalui tes PCR maupun rapid antigen bagi Pelaku Perjalanan Dalam Negeri (PPDN) baik melalui jalur darat, laut, maupun udara sejak 8 Maret lalu. Banyak pihak yang menilai hal ini sebagai kebijakan inkonsisten pemerintah dalam sistem demokrasi. Bahkan, diduga kebijakan ini sebagai upaya untuk mendapatkan cuan di balik bisnis PCR ataupun antigen, sebab bagaimana mungkin seluruh masyarakat bisa mendapatkan vaksin booster di tengah keterbatasan waktu dan prasarana?

Sebagian publik pun kemudian membandingkan syarat mudik lebaran tersebut dengan gelaran Pertamina Grand Prix of Indonesia atau MotoGP Mandalika 2022. Mereka memprotes syarat mudik yang mewajibkan booster, sementara aturan perkumpulan massal dalam kegiatan tersebut tidak berlaku. Anggota Komisi V DPR RI Fraksi PKS, Suryadi Jaya Purnama merasa keberatan dengan kebijakan vaksin booster yang dijadikan syarat aktivitas di bulan Ramadan, karena bukan hanya mudik bahkan perihal ibadah tarawih pun dipersoalkan untuk mendapatkan syarat vaksin booster.

Menurut Suryadi, hal pertama yang harus kita lihat adalah situasi masyarakat dalam hal kecenderungan Covid-19 yang mulai menurun. Kedua, pemerintah harus konsisten dengan kebijakan yang diambil, karena satgas Covid-19 telah memberikan surat edaran pada bulan Maret yang menghilangkan syarat PCR maupun antigen untuk perjalanan, dan kebijakan tersebut tidak berdampak meningkatkan kasus Covid-19. Ketiga, kita lihat dari aspek keadilan, perayaan Natal dan Tahun Baru serta perhelatan MotoGP di Lombok kemarin, tidak ada persyaratan seperti itu.

Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Irwan, juga ikut menyoroti konsistensi dari pemerintah dalam membuat kebijakan di tengah pandemi Covid-19. Menurut Irwan, kebijakan booster syarat mudik sama saja dengan melarang mudik. Padahal, kasus Covid-19 saat ini sudah melandai dibandingkan tahun lalu. Irwan menambahkan bahwa konsistensi pemerintah sangat buruk, itu yang membuat masyarakat tidak percaya dengan kebijakan pemerintah. Ia menilai syarat vaksin booster yang dibuat pemerintah akan sulit dipenuhi oleh masyarakat, hal itu lantaran peruntukan vaksin dosis pertama belum menjangkau seluruh masyarakat hingga sekarang (Cnnindonesia.com, 26/03/2022).

Dari fakta tersebut, sangat terlihat bahwa kepemimpinan saat ini memang sangat dikendalikan dengan asas kapitalistik. Asas ini membuat penguasa selalu berorientasi hanya untuk meraih keuntungan materi dalam kondisi apa pun. Alhasil, kepemimpinan ini bukan untuk mempermudah rakyat, yang ada justru mempersulit rakyat. Pemberlakuan syarat antigen, PCR, dan vaksin booster adalah permainan korporat dalam meraup keuntungan yang menggiurkan. Mengingat layanan kesehatan saat ini sangat dikomersialkan, bahkan banyak yang menilai kebijakan ini selalu ada unsur politisasi oleh sejumlah pihak.

Dosen Komunikasi Politik Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah memandang bahwa langkah Jokowi soal mudik lebaran diperbolehkan justru adanya nuansa politik, ia memandang aksi itu berkaitan dengan kinerja pemerintah yang hanya mencari dukungan publik. Sedikitnya kebijakan ini menarik simpati dan merujuk pada keberhasilan pemerintah dalam mengatasi pandemi, dengan diperbolehkannya mudik berarti sejalan dengan dibiarkannya kerumunan skala besar terjadi seperti perhelatan akbar di Mandalika. Upaya tersebut bertahap untuk mengatasi berbagai polemik dan permasalahan di masyarakat, penguasa berkilah bahwa kebijakan ini untuk keamanan warga. Namun, pemerintah seolah pilih kasih dalam mengambil kebijakan, persoalan mudik ini justru menambah kesusahan rakyat (Tirto.id, 25/03/2022).

Sebenarnya kebijakan mudik yang mensyaratkan vaksin booster tersebut tidak akan pernah ada, jika pemerintah bisa dengan cepat menangani pandemi dengan baik. Bukan malah meremehkan dan membuat kebijakan yang membuat bingung publik. Kegagalan pemutusan rantai pandemi memang tidak terlepas dari solusi sistem kapitalisme yang dijadikan rujukan untuk menyelesaikan masalah wabah saat ini, padahal telah jelas bahwa sistem ini telah menjauhkan peran penguasa sebagai pengurus urusan umat. Penguasa justru selalu hadir mengeluarkan kebijakan yang hanya menguntungkan korporasi saja.

Hal ini tidak akan terjadi jika masyarakat bisa menerapkan sistem Islam dalam kehidupan, sebab pemimpin dalam Islam adalah pelindung dan pelayan bagi masyarakat. Sehingga, Khalifah akan selalu serius dalam menangani wabah dan mengutamakan keselamatan rakyat di atas segalanya. Khalifah akan melayani masyarakat dengan cara yang makruf bukan mencari keuntungan materi maupun popularitas semata. Dalam Khilafah layanan kesehatan tidak boleh dikomersialkan, sebab kesehatan merupakan salah satu dasar kebutuhan publik. Semua warga Khilafah berhak mendapatkan pelayanan yang gratis dan berkualitas.

Khilafah pun akan menerapkan wajib vaksin dan kebijakan perlengkapan dalam hajat masyarakat seperti fasilitas rapid test antigen, PCR bahkan vaksin booster semua akan terakomodasi dengan baik. Khalifah akan adil dan konsisten dalam mengambil kebijakan. Tak seperti penguasa saat ini yang memperbolehkan orang asing masuk leluasa ke negeri ini dalam acara MotoGP, sementara rakyatnya yang ingin mudik justru diberikan syarat yang dipersulit.

Padahal, keberadaan pemimpin yang berlaku adil pada rakyatnya sangat diutamakan dalam Islam. Sebagaimana Rasulullah saw. pernah bersabda “Sehari seorang pemimpin yang adil lebih utama daripada beribadah 60 tahun, dan satu hukum ditegakkan di bumi akan dijumpainya lebih bersih daripada hujan 40 hari” (HR. Thabrani, Bukhari, Muslim, dan Imam Ishaq).[]


Photo : Unsplash

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Mariam Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Krisis Ekonomi Menerpa, Akankah Sri Lanka Mampu Mengatasinya?
Next
Cina Siap Tunjukkan Kekuatan Militer dengan Membuat 'Kereta Kiamat'
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram