Polemik Serius di Balik Proyek IKN nan Prestisius

"Menilik awal mula tercetusnya ide pemindahan ibu kota negara saja sudah ramai menuai kontroversi. Bagaimana tidak, rakyat tengah bergelut bertahan hidup di tengah gelombang PHK besar-besaran akibat pandemi dan ancaman virus Covid 19 yang masih terus mengintai nyawa, pemerintah malah sibuk mengurus megaproyek IKN. Semestinya pemerintah fokus pada permasalahan yang tengah menjerat rakyat, bukan malah mengurus proyek prestisius yang sama sekali tidak urgent."

Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(RedPel NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-Proyek pemindahan ibu kota ke Penajam, Paser Utara, Kalimantan Timur terus menuai polemik. Betapa tidak, proyek yang digagas oleh pemerintahan Jokowi ini terkesan dipaksakan di tengah kondisi perekonomian yang tengah kembang kempis dihantam pandemi. Sebagaimana diketahui bahwa proyek IKN ini dikalkulasikan membutuhkan dana sebesar Rp466 triliun. Untuk itu, pemerintah telah menyiapkan skema pembiayaan non-APBN untuk mendanai proyek tersebut, di antaranya dengan pemanfaatan barang milik negara (BMN), skema KPBU (kerja sama pemerintah dan badan usaha), kontribusi swasta/BUMN, dan skema creative financing.

Adapun skema creative financing inilah yang tengah dilirik oleh pemerintah pasca mundurnya Softbank sebagai investor IKN. Bahkan sebagaimana diberitakan oleh Bisnis.com (28-03-2022) bahwa dua konsorsium lain pun dikabarkan akan ikut mundur menyusul Softbank dari megaproyek nasional ini.

Perlu diketahui bahwa creative financing ini adalah skema crowd funding atau urun dana. Jadi, masyarakat diajak untuk urun dana demi pembangunan IKN ini. Ketua Komunikasi Tim IKN, Sidik Pramono, mengatakan bahwa urun dana ini bersifat sukarela dari masyarakat, bisa dilakukan secara mandiri. Upaya tersebut menurutnya merupakan sebuah kesempatan dan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif demi berkontribusi dalam pembangunan sebuah bangsa. Nantinya pendanaan dari urun-dana masyarakat ini bisa dialokasikan untuk jenis-jenis fasilitas umum dan fasilitas sosial tertentu dengan skala tertentu, seperti taman anggrek hutan, rumah diaspora global, ataupun museum artefak hutan. (Sindonews.com, 25-03-2022)

Rakyat Membiayai Negara, Kok Bisa?

Mundurnya Softbank sebagai investor yang diklaim pemerintah telah menjanjikan investasi sebesar Rp1000 triliun untuk proyek IKN ini, menjadikan pemerintah kalang kabut. Pemerintah khawatir bahwa proyek ini akan mangkrak. Di sisi lain, pendanaan dengan skema APBN pun tidak memungkinkan, sebab kondisi fiskal negeri ini sedang kritis akibat pandemi, belum lagi negeri ini terjerat utang luar negeri dengan jumlah mencapai Rp7000 triliun.

Akhirnya, pemerintah bergerak cepat melirik skema creative financing sebagai alternatif pendanaan. Namun, pantaskah rakyat yang membiayai negara? bukankah semestinya negara yang membiayai rakyatnya? Karena sudah menjadi kewajiban negara memelihara urusan rakyatnya.

Namun, demikianlah sistem kapitalisme, menjadikan negara tak mampu menjalankan kewajibannya. Sebab amanat kapitalisme menjadikan negara bukan sebagai pelayan rakyat, melainkan hanya sebagai regulator atau perantara tersampaikannya pelayanan untuk rakyat. Rakyatlah yang membiayai dirinya sendiri. Namun, alangkah ironis jika untuk membangun ibu kota pun, uang rakyat kembali dibidik. Bahkan dengan embel-embel sumbangan sukarela, negara berusaha merangkul empati rakyat dan menggunggah rasa nasionalismenya.

Rakyat dalam Pusaran Polemik IKN

Lagi-lagi rakyatlah yang menjadi korban ambisi penguasa. Demi mewujudkan proyek prestisius, berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat dimunculkan, mulai dari kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang melonjak, persentase tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang naik mulai 1 April 2022, yakni dari 10% menjadi 11%, hingga ide urun dana demi menopang pendanaan IKN.

Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan nasib rakyat hari ini. Sudahlah susah karena pandemi yang panjang, rakyat masih saja dipalak ini-itu oleh negara. Sungguh memprihatinkan! Kapitalisme memang telah mencekik leher rakyat sedemikian rupa, menghisap hartanya dengan sangat zalim. Lantas masihkah kita bertahan?

Proyek Tanpa Perencanaan Matang

Menilik awal mula tercetusnya ide pemindahan ibu kota negara saja sudah ramai menuai kontroversi. Bagaimana tidak, rakyat tengah bergelut bertahan hidup di tengah gelombang PHK besar-besaran akibat pandemi dan ancaman virus Covid 19 yang masih terus mengintai nyawa, pemerintah malah sibuk mengurus megaproyek IKN. Semestinya pemerintah fokus pada permasalahan yang tengah menjerat rakyat, bukan malah mengurus proyek prestisius yang sama sekali tidak urgent. Justru, banyak kalangan menilai megaproyek ini sarat kepentingan bisnis. Secara realitasnya, pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur tidak memiliki perencanaan yang matang, bahkan terkesan terburu-buru.

Sangat berbeda ketika Khilafah berkuasa, terjadi juga pemindahan ibu kota sebanyak empat kali, namun semuanya didasari oleh perencanaan yang matang. Pemindahan ibu kota pertama yakni pada masa Bani Umayyah, ibu kota Khilafah pindah dari Madinah ke Damaskus. Selanjutnya pada masa Bani Abbasiyah, ibu kota Khilafah pindah dari Damaskus ke Baghdad. Setelah itu, pasca serangan Mongol yang mengakibatkan kota Baghdad hancur, ibu kota Khilafah pun pindah ke Kairo. Dan terakhir pada masa Bani Ustmaniyyah, ibu kota Khilafah pindah ke Istambul di Turki. Dari keempat ibu kota tersebut, yang dibangun dari nol adalah Baghdad.

Meskipun begitu, perencanaan pembangunan kota yang matang membuat Baghdad tumbuh megah menjadi kota terbesar di dunia sejak abad ke-8 sampai abad ke-13 M. Bagaimana tidak, sebelum eksekusi pemindahan ibu kota, empat tahun sebelumnya yakni tahun 758 Masehi, Khalifah Al-Mansur mengumpulkan para surveyor, insinyur, dan arsitek dari seluruh dunia untuk membuat perencanaan tata kota. Setelah itu, lebih dari 100.000 pekerja konstruksi datang untuk melakukan survei atas rencana-rencana tersebut.

Demikianlah perbedaan yang sangat kentara antara kepemimpinan yang dipegang oleh orang-orang yang amanah dan mengedepankan spirit pengabdian kepada rakyat, dengan kepemimpinan ala kapitalisme yang mengedepankan keuntungan materi. Oleh karena itu, umat harus kritis dalam menyikapi segala kebijakan pemerintah agar jangan sampai umat terus dibodohi. Itulah pentingnya pemikiran politis agar tidak pragmatis apalagi apatis. Sejatinya umat Islam adalah umat terbaik yang diciptakan di bumi ini, namun jeratan sistem kapitalisme sekularisme hari ini justru menenggelamkan umat ke dalam kubangan derita tiada akhir. Berujung pada impitan aneka polemik yang tercipta secara sistemis.

Sungguh, umat membutuhkan hadirnya pemimpin yang mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan, yang tentu saja kehadiran pemimpin (khalifah)tersebut satu paket dengan keberadaan institusi kaum muslimin, yakni daulah Khilafah islamiah. Dengan itulah, jerat polemik akan berakhir secara kaffah. Wallahu'alam bish shawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Hana Annisa Afriliani, S.S Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Tumpah
Next
Bila Writer’s Block Melanda, Ingatlah Kembali Motivasi Menulis Sebenarnya
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram