"Bagaikan ikan tanpa air. Begitulah kehidupan manusia hari ini tanpa listrik. Keberadaannya sebagai "public good" menjadi sesuatu yang amat vital. Pemenuhannya menjadi hak rakyat yang mendasar. Ketiadaannya barang sesaat mampu melumpuhkan perekonomian rakyat, bahkan mematikan kehidupan suatu negara. Sungguh berbahaya bila posisinya yang vital ini dikuasai oleh pihak swasta dengan paradigma bisnisnya, bukan oleh negara."
Oleh. Nay Beiskara
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Hari ini kita menyaksikan bahwa sebagian besar manusia tidak dapat hidup tanpa listrik. Listrik telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan. Keberadaannya mampu memudahkan segala aktivitas manusia, mulai dari aktivitas rumah tangga hingga perindustrian.
Kini, listrik telah menjadi kebutuhan pokok rakyat yang selayaknya dipenuhi oleh negara secara adil dan merata. Karenanya, negara sebagai pengurus rakyat harus memikirkan dan mengupayakan secara optimal pemenuhannya bagi kepentingan rakyat, berikut sumber pendanaannya.
Perusahaan Listrik Negara dan Dananya
Pemerintah telah memberikan kuasa atas pengurusan ketenagalistrikan kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN). Sejak 1972, melalui Peraturan Pemerintah No.18, PLN ditetapkan sebagai perusahaan umum yang menyelenggarakan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan rakyat. Tetapi, PLN kemudian beralih statusnya dari perusahaan umum menjadi perseroan pada 1994 seiring kebijakan pemerintah yang mengizinkan pihak swasta untuk berinvestasi di bidang ketenagalistrikan ini.
Sebagai perusahaan perseroan, PLN memiliki misi untuk menjalankan bisnis kelistrikan dan berorientasi pada kepuasan pelanggan, termasuk anggota perusahaan dan pemegang saham. Tak hanya itu, PLN juga bertujuan untuk meraih keuntungan dalam tugasnya menjalankan program pembangunan di bidang ketenagalistrikan sesuai prinsip-prinsip perseroan. Di sini kita dapat melihat bahwa sebagai perusahaan, PLN juga berorientasi profit.
Logikanya, PLN sebagai perusahaan perseroan yang menjual listrik pada masyarakat seharusnya mengantungi untung besar. Mengingat masyarakat selalu membayar setiap mereka membutuhkan listrik. Hanya saja, fakta yang terjadi justru PLN selalu membutuhkan suntikan dana dari pemerintah dan dikabarkan bermasalah, bahkan terjeremba dalam utang yang dalam.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menyatakan, PLN telah menerima dana PMN (Penyertaan Modal Negara) sebesar Rp5 triliun pada 2015, Rp23,56 triliun pada 2016, Rp6 triliun pada 2019, Rp5 triliun pada 2020, dan Rp5 triliun pada 2021. Total PNM hingga tahun lalu mencapai Rp45 triliun walaupun realisasinya hanya Rp43,56 triliun atau sekitar 96 persen dari total PNM (cnnindonesia.com, 28/3/2022).
Darmawan menambahkan, dana PNM itu digunakan untuk pembangunan infrastruktur di daerah yang terkategori 3T, yakni terluar, terpencil, dan tertinggal. Harapannya, dengan listrik memasuki wilayah 3T itu, kehidupan perekonomian rakyat di sana akan semakin membaik. Tak hanya itu, Dirut perusahaan setrum negara pelat merah ini juga menyampaikan, selama pandemi PLN mampu menyusutkan utangnya sekitar Rp20 triliun, dari Rp450 triliun menjadi Rp450 triliun (cnbcindonesia.com, 26/1/2022).
Kiranya wajar bila masyarakat bertanya-tanya, mengapa aset terbesar negara ini bermasalah, tarifnya mahal, dan memiliki beban utang jumbo, masalahnya di mana?
Masalah Utama PLN
Ir. Ahmad Daryoko, Koordinator Invest, menyampaikan panjang lebar, baik dalam forum virtual maupun tulisannya, mengenai permasalahan yang terjadi di dalam tubuh PLN. "Permasalahan utama kelistrikan itu ada pada sistem, bukan teknis", ujarnya.
Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 2 sebenarnya secara redaksional telah diungkapkan bahwa cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai Negara. Listrik, menurut beliau, merupakan komoditas yang semestinya dikuasai negara dan tidak boleh diserahkan pengelolaannya kepada swasta. Tetapi, fakta di lapangan menunjukkan yang bermain di sektor kelistrikan saat ini adalah para pengusaha atau para pebisnis kelas berat dan sejumlah elit politik yang turut berinvestasi di dalamnya. Dengan kata lain, BUMN yang satu ini tidak lagi dikuasai sistemnya oleh PLN itu sendiri. PLN hanya tinggal nama saja, sedang yang mengomandoi kebijakan di dalamnya adalah para oligarki.
Menurut Daryono, pengelolaan ketenagalistrikan ini harus mengikuti "Sistem Vertikal Terintegrasi" atau "Vertically Integrated System”. Sistem ini mengupayakan pengadaan listrik mulai dari pembangkit, transmisi, distribusi, hingga ritail. Maksudnya adalah PLN sebagai lembaga negara yang ditugaskan untuk melakukan infrastruktur kelistrikan bagi segenap rakyat sesuai perintah konstitusi dalam putusan putusan MK No. 001- 021-022/PUU-I/2003 (14/12/2004), harus menggunakan sistem “vertikal terintegrasi”. Tidak boleh dipecah (Unbundling System).
Namun, yang terjadi saat ini adalah pelanggaran konstitusi (Putusan MK pada 2014 dan 2016) oleh pihak yang "bermain" dalam sektor tersebut. Daryoko dalam tulisannya yang dimuat oleh Kabariku.com (18/11/2021), membeberkan bahwa listrik oleh pemerintah saat ini telah dikuasai aseng dan asing. Beliau menyebutkan beberapa nama perusahaan Cina dan Jepang yang kini menguasai pembangkit-pembangkit listrik di daerah Jawa dan Bali, seperti Huadian, Shenhua, Bimasena, dan Ithocu. Mereka menguasai sekitar 85 persen kelistrikan di Indonesia, seperti PLTU Celukan Bawang (51 persen), Singapura ((38,49 persen), sisanya pihak swasta lain. Bagaimana dengan saham PLN sendiri? Tidak ada!
Mantan ketua dewan serikat pekerja PLN ini juga mengungkapkan pada Media Umat bahwa di era pemerintahan Jokowi, PLN telah dilepas ke pasar bebas. Artinya, PLN tidak lagi dikuasai negara, tapi dikuasai oleh para pengusaha yang bergerak di bidang ketenagalistrikan semisal taipan 9 naga. Di titik ini kita mampu menyimpulkan bahwa PLN tidak lagi memegang kendali atas pembangkit listrik, transmisi, distribusi, hingga retailnya. Sehingga tarif dasar listrik yang dikenakan kepada rumah tangga dan industri bukan lagi ditentukan oleh PLN, tapi oleh para pemilik pembangkit dan retail tersebut. Sedihnya lagi, saat ini yang dikuasai PLN hanyalah kawat-kawat transmisi dan kawat-kawat distribusi.
Inilah masalah yang terjadi di dalam tubuh PLN. Sistem yang seharusnya Vertikal Integrasi diubah menjadi "Unbundling". Konsekuensinya adalah tarif listrik menjadi mahal karena yang mengelola listrik ini bussiness oriented. Mereka melihat rakyat sebagai pelanggan atau konsumen, bukan pihak yang harus diurusi dan dipenuhi haknya. Listrik yang sejatinya sebagai public good pun beralih menjadi commercial good, sedang penguasaannya oleh negara telah beralih kepada para oligarki yang berorientasi laba.
Pertanyaannya, mengapa listrik bisa berubah statusnya dari public good menjadi commercial good? Jawabannya tidak lain karena jebakan IMF yang mengharuskan negeri ini menandatangani Letter of Intens sebagai kompensasi turunnya dana bantuan dari IMF ke Indonesia saat mengalami krisis pada 1997 silam. Pemerintah wajib melepaskan BUMN yang menguasai hajat hidup orang banyak, salah satunya PLN, kepada pasar bebas alias liberalisasi sektor energi listrik.
Beginilah kondisi PLN di tengah pusaran sistem kapitalisme. Negara tidak boleh berperan dalam pelayanan publik dan wajib memprivatisasinya. Sementara swasta diberikan keluasan dalam melakukan bisnisnya, bahkan dalam komoditas yang sifatnya publik good.
Paradigma Islam Menyolusi Masalah Listrik
Islam sebagai sebuah ideologi atau pandangan hidup yang sahih mampu menyajikan solusi untuk setiap problematik umat, tak terkecuali masalah listrik hari ini. Kekeliruan yang terjadi dalam pengelolaan listrik dalam sistem kapitalisme ada pada paradigma dan teknis manajerialnya. Karena itu, kita harus memahami bagaimana Islam memandang kedua aspek ini.
Dalam Islam, paradigma yang digunakan dalam pengelolaan listrik sebagai hajat pokok masyarakat adalah paradigma riayah. Riayah berarti mengurus dan melayani pemenuhan kebutuhan tersebut untuk kepentingan rakyat karena inilah sejatinya kewajiban negara. Negara dalam Islam tidak akan menggunakan paradigma bisnis seperti yang saat ini diterapkan oleh sistem kapitalisme. Kemudian, negara melalui Badan Usaha Milik Umum (BUMU) akan mengelola ketenagalistrikan ini secara profesional dan tentunya bebas dari korupsi.
Islam juga memiliki pandangan yang unik terkait energi listrik ini. Tetapi, pandangan Islam itu ternyata sesuai dengan fakta ekonomi listrik itu sendiri. Faktanya secara ekonomi, listrik merupakan barang yang terkategori barang publik. Dalam konteks hukum permintaan dan penawaran, listrik termasuk dalam kelompok barang yang inelastis sempurna. Maknanya, berapa pun harganya maka pasti masyarakat akan membelinya tersebab listrik adalah kebutuhan pokok.
Sebagai barang publik, maka listrik dan upaya pengadaannya dari hulu hingga hilir haruslah dikuasai oleh negara. Bila hal ini diserahkan pada pihak swasta dengan paradigma bisnisnya, maka listrik akan menjadi barang yang sulit dijangkau oleh masyarakat. Jamak diketahui bahwa paradigma bisnis menjadikan pihak swasta akan berusaha mengambil keuntungan sebesar-besarnya tanpa mengindahkan masyarakat yang kesulitan, terlebih di masa pandemi saat ini.
Imam Muslim dan Abu Daud telah meriwayatkan hadis yang berkenaan dengan kepemilikan energi, "Manusia berserikat pada tiga hal, yakni air, api dan padang gembalaan.” Dari hadis ini kita mampu memahami api atau energi, dalam hal ini listrik, status kepemilikannya adalah milik umum. Barang apa pun yang termasuk ke dalam kepemilikan umum, maka pengelolaannya haruslah diupayakan oleh negara dan haram hukumnya diserahkan kepada pihak lain, baik swasta dalam negeri apalagi asing.
Asy-Syari' sebagai pembuat hukum tunggal bagi manusia, yakni Allah Swt. telah memberikan amanah bagi siapa saja yang menjadi penguasa kaum muslim untuk mengelola kekayaan umat sesuai hukum syarak. Karena itu, negara berperan besar dalam mengelola apa yang menjadi kepemilikan umat dan menguasai hajat hidup orang banyak dan mengembalikan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat.
Setidaknya ada dua peran negara dalam masalah ketenagalistrikan ini, yakni sebagai regulator dan pelaku ekonomi. Negara sebagai regulator akan menjalankan roda perekonomian dan pengelolaan seluruh aset publik, kekayaan umat, termasuk energi di dalamnya energi listrik, sesuai syariat Islam. Sebagai pelaku ekonomi, negara melalui BUMU akan mengupayakan yang terbaik dalam hal riset, eksplorasi, pengolahan, hingga distribusi agar berjalan dengan baik, tapi tidak berorientasi pada laba.
Negara akan berusaha memenuhi kebutuhan listrik dalam negeri dengan kuantitas yang cukup dan harga yang murah. Karena listrik milik rakyat, maka tidak sepatutnya negara menjual dengan harga yang mahal, melainkan sebatas biaya produksinya saja. Inilah yang menjadi kewajiban negara yang bertugas meriayah (mengurusi) hajat hidup rakyatnya. Sebagaimana yang tercantum dalam hadis riwayat Muslim tentang kepemimpinan berikut,"Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin."
Ini untuk pemenuhan listrik dalam negeri. Lalu, bagaimana dengan pemenuhan listrik ke luar negeri? Maka, Islam membolehkan negara untuk mengambil laba. Karena hal tersebut dibutuhkan untuk optimalisasi penerimaan negara dan meningkatkan pembiayaan pelayanan publik. Selain itu, negara akan tetap menjalankan pengelolaan BUMU secara profesional dengan menyerahkan pengelolaannya pada orang yang memang ahli di bidang kelistrikan. Tak hanya itu, negara juga akan mencegah tim manajerialnya untuk berbuat kecurangan dan korupsi dalam mengelolanya.
Begitulah gambaran Islam dalam menyolusi masalah terkait kelistrikan ini. Tetapi, hal ini tidak dapat diwujudkan selain oleh negara yang memang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw., yakni Khilafah. Hanya Khilafah yang mampu mewujudkan negara yang mampu menyejahterakan rakyatnya serta menjadi negara yang mandiri dalam hal energi. Wallahua'lam.[]