“Tak hanya pragmatis, namun ASEAN berhasil memasang dua wajah yang berbeda saat berhubungan dengan dua aktor yang dominan saling berkompetisi bukan berkoperasi.”
Oleh. Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Di tengah kehidupan global yang dinamis, banyak peristiwa yang sahut-menyahut terjadi. Hari ini Rusia menyerang Ukraina, esok harinya kanal berita diramaikan dengan pembakaran Al-Qur’an. Pagi harinya muslim di India diberitakan didiskriminasi oleh ekstremis Hindu, sore harinya kita jumpai kabar yang santer beredar bahwa AS hendak menguatkan pengaruh dan ideologinya di dunia dengan berbagai cara. Begitulah keterhubungan peristiwa yang terjadi dengan masifnya informasi yang sampai ke mata dan kuping publik di era ¬borderless¬ hari ini.
Terlepas dari karakter tersebut, ada satu kabar menarik yang cukup memenuhi layar gawai akhir-akhir ini. Bulan depan, lebih tepatnya pada tanggal 12-13 Mei 2022, ASEAN akan mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tatap muka pertama setelah pandemi dengan AS yang dielu-elukan sebagai mitra strategisnya. KTT ini akan berlangsung di tanah penggawa kapitalisme yang digadang-gadang akan membahas beberapa isu penting yang melibatkan dua aktor ini, seperti kerja sama kesehatan, pendidikan, pemulihan ekonomi, serta tantangan geoplotik global kontemporer (VOA Indonesia, 17/4/22).
Selain itu, Myanmar yang saat ini tengah dikuasai oleh junta militer dikabarkan tidak akan hadir di KTT kecuali direpresentasikan oleh perwakilan nonpolitik. Hal ini dikarenakan mayoritas negara anggota ASEAN serta AS sendiri menolak sikap represif junta terhadap warga negaranya, namun tak dapat bertindak banyak untuk mengubah keadaan di sana. Dari dinamika yang terjadi di Asia Tenggara saja sebetulnya sudah ada beberapa poin yang dapat dikritisi dari penyelenggaraan KTT ini. Lantas bagaimanakah umat seharusnya memandang hal ini, yang notabene di dalam ASEAN sendiri terdapat negeri Islam seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam?
Sejarah Hubungan AS-ASEAN
Dalam diskursus politik internasional, aktor negara sangat bisa berinteraksi dengan aktor non-negara, sebagaimana yang terjalin antara AS dengan ASEAN yang merupakan organisasi regional di Asia Tenggara. Relasi antara AS dengan ASEAN sebetulnya bukanlah barang baru. Tertulis di laman resmi pemerintah Paman Sam, sedekade sejak tahun 1967 saat ASEAN berdiri, AS sudah terlibat langsung dengan ASEAN dalam berbagai dialog kemitraan. Barulah di tahun 1990-an, kerja sama ekonomi antara keduanya mulai meningkat drastis yang berfokus pada urusan perdagangan dan investasi.
Namun sebagaimana prinsip “no free lunch” dalam siasat politik kapitalis hari ini, kemitraan yang diberikan oleh ASEAN kepada AS bukanlah hadiah yang gratis, tapi akan dituntut balas budi oleh AS. Masih tercantum di laman yang sama, bahkan dikatakan bahwa kemitraan antara dua aktor ini, yang meliputi diplomasi, militer, transfer energi dan teknologi lainnya semuanya akan dilakukan jika memang bisa memenuhi kepentingan nasional dari AS itu sendiri.
Tapi jika memerhatikan beberapa problematik yang terjadi di kawasan Asia Tenggara, seperti di Myanmar dengan kasus genosida muslim Rohingya beberapa tahun lalu, hubungan erat yang dijalin ASEAN dengan AS tak lantas membuat AS langsung turun tangan mengadili rezim Myanmar kala itu. Dengan dalih prinsip “non interference” atau setiap negara anggotanya fokus menyelesaikan masalah domestiknya dengan kapasitas sendiri, nasib muslim Rohingya yang terlunta-lunta akibat kejahatan yang dilakukan rezim tak mendapat perhatian serius. Padahal, apa yang menimpa muslim Rohingya itu sudah memenuhi kriteria genosida dan sangat melanggar HAM, suatu hal yang konon sangat diusung dan diperjuangkan oleh AS serta Barat secara umum, namun seringnya hipokrit saat itu berkaitan dengan umat Islam.
Dua Wajah atau Pragmatis?
Kawasan Asia Tenggara yang merupakan bagian dari wilayah geografis Indo-Pasifik memang sering menjadi incaran negara-negara besar. Posisinya yang berada di sekitar Samudra Hindia dan Samudra Pasifik tentu menyimpan nilai strategis, bukan hanya dari segi perdagangan internasional, tapi juga pertahanan hingga militer. Inilah alasan besar mengapa AS juga berusaha aktif membangun kerja sama dan kemitraan dengan negara-negara di Asia Tenggara.
Tak hanya itu, eksistensi pesaing potensial AS yang lebih dekat dengan negara anggota ASEAN, yakni Cina juga menjadi alasan yang logis bagi AS untuk melebarkan sayap hegemoninya, yang dirasa mulai dirongrong oleh kekuatan dari Timur ini. ASEAN dalam hal ini lebih berperan sebagai objek hegemoni dalam perebutan pengaruh antara AS dengan Cina. Hal ini juga yang membuat ASEAN terbuka, tidak hanya kepada AS, namun juga kepada Cina. Baik Cina maupun AS, sama-sama memiliki skema kerja sama khusus di antara keduanya dengan AS. Misalnya, CAFTA atau China-ASEAN Free Trade Area yang merupakan skema pasar bebas antara Cina dengan negara-negara ASEAN dan TIFA atau Trade and Investment Framework Arrangement yang merupakan rencana kerangka perdagangan dan investasi yang ditandatangani oleh perwakilan AS dan ASEAN.
Sikap ini menggambarkan pragmatisme ASEAN, termasuk di dalamnya adalah negeri Islam seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam ketika berhadapan dengan kekuatan asing. Tidak peduli berkawan dengan siapa, selama relasi yang terbangun dirasa membawa manfaat, maka hal itu bukanlah suatu masalah, meski dalam banyak hal, terutama yang berkaitan dengan urusan Islam dan kaum muslim, AS dan Cina sekalipun memiliki track record yang buruk. Tak hanya pragmatis, namun ASEAN berhasil memasang dua wajah yang berbeda saat berhubungan dengan dua aktor yang dominan saling berkompetisi bukan berkoperasi.
Sadarlah, Wahai Pemimpin Negeri Muslim!
Kondisi kerja sama sebagaimana yang terjalin antara ASEAN, AS, Cina dan aktor-aktor politik lainnya adalah hal yang lumrah menurut perspektif sekuler yang mengedepankan nasionalisme. Namun, semuanya akan berbeda jika dilihat dengan kacamata Islam yang sudah mengatur sedemikian apik perkara hubungan satu negara dengan negara atau pihak lain.
Islam menggariskan pihak mana saja yang boleh dengan leluasa dibangun hubungan dengannya, seperti negara yang tidak memusuhi Islam dan kaum muslimin serta negara yang terikat perjanjian dengan negara Islam. Adapun dengan negara yang secara nyata memusuhi bahkan menyerang Islam dan kaum muslimin dengan berbagai cara, maka negara harus memiliki posisi yang tegas dan jelas terhadap mereka, yakni menolak untuk berjabat tangan dan bekerja sama.
AS dan Cina jelas terkategori yang kedua, yang seharusnya tak boleh dijabat tangannya dan meminta bantuan serta kerja sama dengannya. Alasannya jelas. AS tercatat sebagai negara yang secara langsung memerangi dan mendukung penyerangan terhadap kaum muslimin di berbagai negeri Islam, di Irak, Suriah, Afghanistan, hingga yang teranyar tentu di Palestina. Sementara Cina, sikap diskriminatif dan zalim mereka kepada muslim Uyghur di kawasan Xinjiang juga menjadi alasan kuat bahwa tak boleh bermanis muka dengan mereka. Logikanya, bagaimana mungkin kita berjabat tangan bahkan tunduk dengan perkataan orang yang di depan mata menumpahkan darah saudara kita sendiri? Bukankah itu merupakan pengkhianatan yang nyata?
Oleh karena itu, para pemimpin muslim, para penguasa negeri Islam yang keamanan dan kehormatan umat bergantung di bawah tanggung jawabnya, haruslah menyadari perkara yang urgen agar tak salah dalam menentukan siapa yang harusnya dijadikan kawan dan siapa yang justru layak mendapat perlawanan. Penguasa muslim haruslah meletakkan Islam sebagai idealisme mereka dalam memimpin, yang dengannya, aturan-aturan Islam yang agung akan digunakan untuk mengatur urusan umat dan agama ini di dunia. Jika bukan Islam yang menjadi pegangan, maka hal itu berarti siap menanggung kehinaan karena harus bertekuk lutut di hadapan mereka yang tak mengimani Allah Al-Malik.
Wallahu a’lam bisshawwab.[]