"Kapitalisme membiarkan rakyatnya menggelandang, tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, juga menciptakan karakter masyarakat yang ingin serba instan dalam meraih kekayaan."
Oleh. Irma Ummu Niswah
NarasiPost.Com-Situasi krisis ekonomi yang dialami Indonesia menimbulkan banyak masalah sosial dan membutuhkan penanganan. Salah satu permasalahan sosial yang dihadapi adalah jumlah gelandangan, pengemis dan juga anak jalanan yang meningkat setiap tahunnya, sehingga membutuhkan penanganan yang lebih komprehensif. Gelandangan dan pengemis merupakan fenomena sosial yang harus ditanggapi dengan serius dan cepat, karena semakin lama semakin memprihatinkan. Meskipun pemerintah sudah berusaha mengurangi populasi gelandangan dan pengemis dengan melalui operasi penertiban yang dilakukan oleh polisi maupun satpol PP, namun tetap saja jumlah mereka tidak berkurang bahkan cenderung bertambah.
Ngapuli Parangin Angin, selaku Kepala Suku Dinas Sosial Jakarta Pusat mengatakan, petugas Pelayanan Pengawasan dan Pengendalian Sosial (P3S) telah menangkap 1.235 orang penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) di Jakarta Pusat sejak Januari sampai Juli 2021. Melihat jumlah tersebut, telah membuktikan bahwa jumlah PMKS di Jakarta Pusat meningkat pesat dibanding tahun 2020. Data dari Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta per tahun 2020, bahwa jumlah PMKS di Wilayah Jakarta Pusat hanya berjumlah 258 orang (Kompas.com, 24/08/2021).
Satpol PP Pati, Jawa Tengah telah melakukan razia gelandangan, pengemis, dan juga anak jalanan menjelang bulan suci Ramadan. Hasilnya petugas menertibkan tiga pengemis, salah satu di antaranya adalah pengemis asal Pati bernama Legiman, yang pernah viral usai mengaku seorang miliarder pada tahun 2019. Sugiyono, selaku Kepala Satpol PP Pati menjelaskan, Legiman seorang pengemis yang tinggal di kontrakan di Perumahan Gunung Bedah, Kecamatan Margorejo. Dalam sehari Legiman bisa mendapatkan Rp1 juta lebih dari hasil mengemis. Selain Legiman, ada dua orang pengemis lainnya yang terjaring razia tersebut. Mereka akan dibina, jika tetap mengulangi maka mereka akan dikirim ke tempat rehabilitasi Dinas Sosial (detikJateng.com, 02/04/2022).
Menjadi gelandangan dan pengemis bukan pilihan hidup yang diinginkan setiap masyarakat, bukan pula pilihan yang menyenangkan, apalagi terkait dengan keamanannya. Gelandangan dan pengemis sering dianggap sebagai masalah bagi banyak pihak, disebut sebagai sampah masyarakat. Sudah banyak peraturan yang dibuat dalam mengatasi fenomena ini, namun belum ada hasil yang memuaskan. Bahkan jumlahnya tidak berkurang, semakin bertambah banyak dan sebagian besar hidup dalam dunia kriminal.
Masyarakat Bermental Instan Buah Dari Kapitalisme
Penyebab munculnya gelandangan dan pengemis di Indonesia dipicu oleh krisis ekonomi. Dampak krisis ekonomi memang berkaitan erat dengan terjadinya peningkatan jumlah gelandangan dan pengemis di beberapa kota besar di Indonesia. Alhasil dapat menimbulkan berbagai ide-ide menyimpang pada lingkungan sosial dalam mengeksploitasi mereka secara ekonomi, seperti melakukan berbagai aktivitas di jalanan. Hasilnya banyak masyarakat yang melakukan pekerjaan sehari-hari sebagai pengemis, padahal secara fisik masih kuat untuk bekerja.
Tidak ingin terjebak dalam kemiskinan, mereka mencari penghidupan yang lebih baik, berupaya untuk mengubah status sosial mereka ke arah yang lebih baik dengan melibatkan istri dan anak-anak mencari nafkah. Namun karena semangat juang yang rendah, mudah menyerah, dan tidak mampu mendayagunakan potensi dan sumber daya yang ada, mereka pergi ke kota dengan tujuan menjadi pengemis. Penghasilan sebagai pengemis yang relatif lebih menguntungkan membuat mereka enggan melepaskan pekerjaannya, walaupun sudah sering kali terjaring razia petugas, namun ternyata tetap tidak membuat mereka jera.
Beberapa kebutuhan hidup gelandangan dan pengemis yang belum terpenuhi saat ini, antara lain:
- Kebutuhan untuk memperoleh pendidikan.
Banyaknya gelandangan dan pengemis yang tidak bisa mendapatkan pendidikan formal di sekolah cenderung disebabkan oleh praktik diskriminasi yang dilakukan pihak sekolah terhadap mereka. Banyak alasan yang dikemukakan sekolah untuk menolak keberadaan mereka dalam menempuh pendidikan di sekolahnya. Penyebab lainnya adalah tidak adanya biaya sehingga mereka tidak mampu membeli sarana sekolah lainnya. Tidak dapat dimungkiri bahwa hampir semua gelandangan dan pengemis mengalami putus sekolah, bahkan tidak pernah merasakan nikmatnya pendidikan. Selain itu, gelandangan dan pengemis lebih senang mendapatkan uang di jalanan daripada bersekolah.
- Kebutuhan mengembangkan kemampuan sosial, mental, dan spiritual.
Sebagian besar orang tua memberikan dukungan kepada anak dalam melakukan aktivitas di jalanan. Tidak sedikit di antara mereka mengalami tekanan psikis akibat perlakuan dari orang tua mereka sendiri seperti perlakuan salah, tindak kekerasan, penelantaran, dan dieksploitasi secara ekonomi. Ini terjadi jika anak pulang tidak membawa penghasilan sesuai target yang telah ditentukan oleh orang tuanya. Anak biasanya akan diberikan hukuman fisik seperti dipukul, tidak diberi makan, bahkan bisa dimasukkan ke dalam tong tertutup. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa mental spiritual anak sangat rapuh. Hal ini terjadi karena tekanan ekonomi dan hubungan sosial yang tidak kondusif dalam lingkungan sosialnya.
- Kebutuhan untuk memperoleh hak sipil.
Kebanyakan dari gelandangan dan pengemis umumnya tidak memiliki kelengkapan administrasi kewarganegaraan sebagai catatan hak sipil mereka. Salah satu masalah yang rumit adalah tidak adanya akta kelahiran, jadi sangat rentan terhadap pelanggaran HAM. Beberapa hak asasi mereka terancam tak bisa terpenuhi, seperti hak atas kesehatan hingga akses layanan pendidikan. Secara fisik mereka ada, tetapi secara legal dianggap tidak ada dalam dokumen kependudukan negara.
Dari fakta di atas dapat kita rasakan bahwa kapitalisme yang diusung oleh negara ini mengakibatkan kerusakan dan kemiskinan pada tatanan manusia, yang berarti kapitalisme telah gagal dalam menyejahterakan rakyat. Kapitalisme membiarkan rakyatnya menggelandang, tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, juga menciptakan karakter masyarakat yang ingin serba instan dalam meraih kekayaan.
Mereka tidak peduli apakah perbuatannya merugikan orang lain atau tidak. Selain itu kondisi lapangan pekerjaan juga yang terbilang susah untuk didapatkan di sistem ini.
Demokrasi liberal yang dianut oleh negeri-negeri di dunia, termasuk negeri-negeri muslim dan Indonesia memang tidak akan pernah memberikan kesejahteraan yang merata. Negara hanya berperan sebagai regulator, penguasa sesungguhnya adalah korporasi yang berlindung dibalik pemerintah. Atas nama kebebasan kepemilikan, melimpahnya sumber daya alam yang harusnya bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat justru legal dikuasai oleh individu korporat baik asing maupun swasta.
Lapangan pekerjaan yang seharusnya disediakan oleh negara justru berpindah tangan menjadi tanggung jawab korporat. Namun, korporat pun tentunya tidak mau rugi di mana lapangan pekerjaan akan disesuaikan dengan kepentingan korporat. Belum lagi sumber daya alam yang hampir dibabat habis oleh korporat atas nama investasi yang telah disepakati dengan negara, membuat rakyat kehabisan kesempatan untuk memiliki pekerjaan.
Pandangan Islam Soal Meminta-minta
Rasulullah saw. adalah orang yang giat bekerja dan pantang berpangku tangan, sejak kecil ia dikenal sebagai orang yang ulet dan jujur. Sayangnya, kini banyak orang yang lebih suka menjadi pengemis daripada bekerja. Kesukaan meminta-minta ini telah merajalela di Indonesia. Tanpa sadar mereka telah mengingkari nikmat Allah Swt. yang telah dianugerahkan kepada mereka, baik itu akal dan kecerdasan, badan yang kuat maupun kemampuan berproduksi. Rasulullah saw. juga sudah menjelaskan tentang ini, sebagaimana diriwayatkan Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu, "Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang ada di bawah".
Menurut Al-Khauli dalam Al-Adab An-Nabawi, jika pengemis ini mampu mencari nafkah tetapi ia lebih memilih menjadi pengemis, maka ia telah kafir terhadap nikmat Allah Swt. Disebut demikian karena ia tidak mau mensyukuri nikmat anggota tubuh yang telah Allah Swt. karuniakan kepadanya. Kalaupun ia bersyukur, harusnya ia memanfaatkan anggota tubuhnya.
Rasulullah saw. mengajak umatnya untuk mencari nafkah yang halal juga dengan cara yang baik, yaitu dengan tidak meminta-minta atau mengemis. Karena mengemis adalah perbuatan yang rendah dan hina, dan termasuk pekerjaan yang kasar dan rendah dalam pandangan manusia. Rasulullah saw. bersabda bahwa, "Apabila salah seorang di antara kalian mengambil tali, kemudian ia datang dengan membawa seikat kayu bakar lalu ia menjualnya, hingga Allah Swt. memberinya kecukupan, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka mau memberinya maupun tidak." (HR. Bukhari).
Allah Swt. juga telah mewajibkan atau memerintahkan manusia untuk bekerja semenjak Nabi Adam as. hingga Rasulullah saw. Perintah ini berlaku bagi semua orang tanpa membeda-bedakan pangkat status, dan jabatan seseorang. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. Al-Jum’ah ayat 10, "Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah Swt. dan ingatlah Allah Swt. sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.”
Di era kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz Khalifah Dinasti Umayyah telah mengentaskan rakyatnya dari kemiskinan, seluruh rakyatnya hidup berkecukupan. Kemakmuran umat saat itu telah merata ke seluruh penjuru wilayah kekuasaan Islam, seperti Afrika, Irak dan Basrah. Seperti yang dijelaskan oleh Yahya bin Said, seorang petugas pengumpul zakat. Ketika itu Yahya bin Said diutus untuk memungut zakat ke Afrika. "Setelah saya memungut zakat di Afrika, saya berencana ingin membagikan kepada masyarakat miskin. Namun, saya tidak menemukan seorang pun di sana. Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli budak kemudian memerdekakannya." ujar Yahya.
Abu Ubaid, seorang ahli hadis dan ahli fikih yang hidup pada masa khalifah Daulah Abassiyah juga mengisahkan bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mengirim surat kepada Gubernur Irak, Hamid bin Abdurrahman, agar membayar gaji dan hak rutin di provinsinya. "Saya sudah membayar gaji dan hak mereka. Namun, di Baitulmal masih tersisa banyak uang." isi surat balasan Gubernur Irak.
Kemudian Khalifah Umar memerintahkan, "Carilah orang yang dililit utang tetapi tidak boros, berilah ia uang untuk melunasi utangnya." Abdul Hamid kembali membalas surat Khalifah Umar, "Saya sudah membayarkan utang mereka, tetapi di Baitulmal masih tersisa banyak uang."
Khalifah Umar lalu memerintahkan lagi, "Kalau begitu jika ada seorang lajang yang tidak memiliki harta lalu ia ingin menikah, nikahkan ia dan bayarlah maharnya." Abdul Hamid membalas surat khalifah, "Saya sudah menikahkan semua yang ingin nikah, namun di Baitulmal ternyata dana yang tersimpan masih juga banyak".
Khalifah Umar lalu memberikan pengarahan, "Carilah orang yang biasa membayar jizyah dan kharaj. Kalau ada di antara mereka yang kekurangan modal, berilah mereka pinjaman agar mampu mengolah tanahnya. Kita tidak akan menuntut pengembaliannya kecuali setelah dua tahun atau lebih."
Maka sudah sangat jelas bahwa satu-satunya solusi untuk menyelesaikan permasalahan gelandangan dan pengemis ini adalah tegaknya Daulah Khilafah Islamiah. Di mana Khilafah akan menjadi pelindung umat dari segala macam mara bahaya dan yang akan mewujudkan kembali peradaban Islam yang mulia.
Khilafah akan menerapkan paradigma kewarganegaraan Islam dalam masyarakat. Dalam Islam kewarganegaraan seseorang dilihat dari tempat yang dipilihnya untuk tinggal dan menetap. Seseorang yang menetap di dalam wilayah Khilafah dan menaati seluruh aturannya tidak peduli etnis atau agama mana pun, maka mereka adalah warga negara yang berhak menerima seluruh haknya sebagai jaminan. Termasuk jaminan yang akan mereka raih adalah jaminan pemenuhan kebutuhan primer dan jaminan keamanan. Semua jaminan ini menjadi tanggung jawab Khilafah yang berfungi sebagai raa'in (pengurus umat) dan junnah (perisai umat).
Wallahu’alam bish-showwab[]
Ayo masyarakat muslim... persiapkan diri kita untuk bersama memperjuangkan tegaknya daulah Islam..