"Pelabuhan sebagai pintu gerbang sekaligus tempat transit untuk perdagangan internasional memiliki peranan cukup besar dalam menyangga sistem perekonomian yang berjalan. Islam sebagai sebuah sistem aturan kehidupan memiliki cara pandang yang khas dalam masalah kepabeanan yang terjadi di pelabuhan ini. Masalah mafia pelabuhan susah untuk diberantas hakikatnya karena sistem perekonomian saat ini yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis yang rakus, rusak dan merusak membuat setiap regulasi yang dibuat hanya mementingkan para pemilik modal saja."
Oleh. Rufaida Aslamiy
NarasiPost.Com-Keberadaan mafia tampaknya sesuatu yang biasa di zaman sekuler seperti sekarang. Menurut KBBI, arti mafia adalah perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal). Adapun mafia ini bisa bergerak dalam bidang apa pun termasuk sektor pelabuhan yang ikut menyangga perdagangan, baik skala nasional ataupun internasional. Persekongkolan di antara para aktor yang terlibat di dalam mafia pelabuhan adalah sesuatu yang lumrah terjadi.
Seperti kasus yang terjadi belakangan ini, dilansir dari laman detik.com (24/03/2022), sebanyak tujuh pegawai bea cukai diperiksa sebagai saksi dalam kasus mafia pelabuhan. Hal ini dilakukan dalam upaya mengusut dugaan kasus korupsi penyalahgunaan fasilitas Kawasan Berikat dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Emas tahun 2015-2021. Dalam kasus ini pula, sebanyak sembilan orang telah dicegah ke luar negeri selama 6 bulan ke depan. Hal ini disebabkan karena dugaan terlibat kasus mafia pelabuhan dan bertujuan agar mempermudah proses penyidikan ataupun proses pemeriksaan.
Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita 19 kontainer tekstil dari Cina di kasus mafia pelabuhan ini, dan kesemuanya milik perusahaan swasta. Nantinya ini akan digunakan dalam pembuktian, penyidikan, penuntutan, hingga pengadilan. Kasus ini bergulir lantaran penjualan bahan baku tekstil impor PT HGI Semarang yang seharusnya diolah menjadi barang jadi dalam Kawasan Berikat dan dilakukan ekspor, tetapi tidak dilakukan pengolahan di dalam Kawasan Berikat, melainkan malah dilakukan penjualan di dalam negeri sehingga mengakibatkan kerugian perekonomian keuangan negara. Dugaan tindak pidana korupsi ini melibatkan oknum Bea dan Cukai Kantor Wilayah Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Kantor Pelayanan Semarang pada Bidang Fasilitas Pabean dan P2. (detik.com, 10/03/2022)
Alam Kapitalis Menumbuhsuburkan para Mafia Pelabuhan
Pada dasarnya pelabuhan memiliki peranan yang cukup penting dalam perdagangan internasional, karena sebagai gerbang utama dalam proses bongkar muat aktivitas ekspor dan impor. Dalam sistem kapitalis, peranan pelabuhan juga memberikan manfaat bagi perekonomian pusat maupun daerah, khususnya melalui peningkatan pajak dan pendapatan negara sebagai dampak peningkatan konsumsi dan juga produksi.
Sejak akhir 2021 yang lalu, pelabuhan menjadi sorotan beberapa pejabat tinggi, seperti dari Menteri koordinator, Jaksa Agung, dan ketua KPK. Alasannya diduga ada semacam permafiaan dan juga pungli di sana. Bahkan, bukan hanya satu-dua tetapi banyak dan bersifat multidimensi. Dari hanya sekadar pungli oleh para preman, sampai lobi-lobi oleh orang berdasi.
Upaya untuk memberantas sindikat mafia pelabuhan sebetulnya sudah sejak lama, bahkan dari era Presiden Soeharto, namun hingga kini tampaknya belum terpecahkan. Bahkan di zaman itu, sampai terbit Instruksi Presiden (Inpres) No. 4 tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi. Sampai-sampai ketika itu untuk mengurus ekspor-impor pengusaha harus melewati sekitar 42 meja di instansi Bea Cukai. Namun, belakangan di era Presiden Jokowi, aturan kepabeanan dipercepat dengan menyerahkannya kepada perusahaan Suisse Generale Surveillance atau SGS. Pada 2016, dibentuklah satuan tugas DT (dwelling time) di lembaga kepolisian. Banyak pula akhirnya aktor-aktor pungli di berbagai pelabuhan di Tanah Air beserta uang haramnya yang bernilai miliaran rupiah berhasil diringkus. Sayangnya, putusan hakim tidak sepenuhnya memuaskan, justru malah ada yang divonis bebas. (kompas.com, 22/11/2021)
Siapa yang Berperan dalam Mafia Pelabuhan?
Pada dasarnya, aktivitas mafia pelabuhan berakar pada praktik bagi-bagi kekuasaan (power sharing). Dimana, pelabuhan ini dianggap sebagai ladang bisnis yang sangat menggiurkan dengan jumlah perputaran uang yang sangat fantastis di dalamnya. Maka, ekosistem kapitalis dengan fitrahnya yang rusak dan merusak (senantiasa mengagungkan materi), berpandangan sayang jika dilewatkan begitu saja. Sehingga tak aneh jika ada semacam deal-deal di antara sesama pemain (mafia). Bahkan, sekelas preman pun, mulai dari yang hanya bersendal jepit sampai yang berdasi dan berbaju rapih dapat jatah bisnis kepelabuhanan ini. Ujung-ujungnya dari power sharing (bagi-bagi kekuasaan) ini lahirlah profit sharing (bagi-bagi uang/keuntungan).
Sebetulnya di pelabuhan ada fungsi kepemerintahan yang berjalan, yaitu quarantine, immigration, customs (QIC) sebagai regulator. Sementara di sisi lain, ada Badan Usaha Pelabuhan (BUP) yang berperan sebagai operator. Ada sekitar 13 instansi yang terlibat dalam proses ekspor-impor barang di pelabuhan. Fasilitas ini betul-betul highly regulated (memiliki regulasi yang cukup tinggi). Adanya dualisme operator-regulator ini merupakan fakta yang mengindikasikan bagaimana power sharing itu bisa berlangsung di pelabuhan. BUP diposisikan hanya sebagai operator dan dikerangkeng untuk mencari duit sebanyak-banyaknya. Mereka tidak diperbolehkan mengeluarkan hal-hal yang berbau regulasi. Misal, untuk urusan tarif, maka harus dilaporkan dulu ke regulator baru dikeluarkan aturannya. Jika tidak, bisa rumit urusannya. Makanya tidak aneh jika ada perkataan, “Kalaulah bisa dipersulit mengapa dipermudah?”
Tampak begitu rumit urusannya, ketika aturan itu bersumber dari akal manusia seperti dalam sistem demokrasi ini, karena akan banyak kepentingan di dalamnya. Kebijakan dibuat bukan untuk kesejahteraan umat secara keseluruhan, melainkan sekadar profit sharing (bagi-bagi duit) bagi para mafia dan juga oligarki yang terus menerus melakukan kongkalikong di belakang rakyat. Na’udzubillah
Bagaimana Solusi Islam terhadap Masalah Mafia Pelabuhan, Masalah Kepabeanan dan Perdagangan Luar Negeri?
Pelabuhan sebagai pintu gerbang sekaligus tempat transit untuk perdagangan internasional memiliki peranan cukup besar dalam menyangga sistem perekonomian yang berjalan. Islam sebagai sebuah sistem aturan kehidupan memiliki cara pandang yang khas dalam masalah kepabeanan yang terjadi di pelabuhan ini. Masalah mafia pelabuhan susah untuk diberantas hakikatnya karena sistem perekonomian saat ini yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis yang rakus, rusak dan merusak membuat setiap regulasi yang dibuat hanya mementingkan para pemilik modal saja. Bahkan praktik-praktik curang sudah menjadi hal yang biasa terjadi. Adanya praktik riswah (suap-menyuap) dan pungutan liar menjadi pemandangan yang lumrah adanya.
Dalam sistem politik ekonomi Islam, tujuan yang hendak dicapai dari adanya aturan beserta turunannya tiada lain adalah segenap upaya dalam memecahkan mekanisme pengaturan berbagai urusan manusia. Islam menjamin terealisasinya pemenuhan semua kebutuhan primer (basic needs) semua warganya. Hal ini memastikan tidak adanya praktik-praktik curang dan akan dibabat habis karena jelas merugikan negara. Semua itu dilakukan dengan menerapkan aturan Islam yang kaffah (menyeluruh) dalam setiap sendi kehidupan.
Dalam masalah kepabeanan, Islam tidak menjadikan bea cukai sebagai kategori pajak yang boleh diambil, melainkan sebagai praktik muamalah negara dengan muamalah sepadan yang kita lakukan, dan bukan pajak yang difungsikan untuk mencukupi kekurangan Baitul Mal. Praktik cukai (mukus) yang dikenal dalam syariat tidak diperkenankan, artinya haram untuk dipraktikkan khususnya kepada kaum muslim dan juga kafir dzimmi (orang kafir yang tinggal di dalam wilayah Daulah Islam). Tidak boleh sedikit pun mengambil harta seorang muslim selain dari yang hak menurut syariat.
Adapun dalam hal perdagangan luar negeri (perdagangan antarbangsa), negara akan campur tangan untuk mencegah dikeluarkannya beberapa komoditas dan membolehkan beberapa komoditas lain, serta campur tangan terhadap para pelaku bisnis kafir harbi (orang kafir yang secara nyata memerangi kaum muslim) dan kafir mu’ahid (orang kafir yang terikat perjanjian dengan Daulah). Di tiap-tiap perbatasan negara, para fuqaha menyebut bahwa negara memiliki yang namanya pos-pos pengintai_ (masalih)_.
Para pelaku bisnis muslim dan ahlu dzimmah boleh mengirimkan makanan dan perabot ke luar negeri (terhadap kafir mu’ahid/orang kafir yang melakukan perjanjian dengan Daulah) untuk diperdagangkan dan tidak dikenai cukai seperti sekarang. Hanya saja, barang-barang yang dibutuhkan oleh rakyat dan jumlahnya terbatas, misal seperti minyak goreng seperti sekarang maka tetap tidak diperbolehkan. Sementara komoditi barang yang termasuk industri persenjataan tidak diperkenankan diperjualbelikan apalagi untuk kafir harbi. Dalam hal perdagangan dengan darul kufur atau dengan orang kafir harbi maka hukumnya haram, baik memperdagangkan makanan, senjata, ataupun yang lainnya.
Perlakuan khusus bisa saja diberikan kepada pelaku bisnis kafir harbi yang melakukan perdagangan luar negeri (foreign trade) ke negara Islam dengan syarat ia mendapatkan izin resmi dari negara. Jika ia tidak ada izin resmi tadi, maka darah dan hartanya tidak bisa dijamin oleh negara di dalam negeri. Sementara pungutan/cukai kepada kafir mu’ahid akan diberlakukan sesuai dengan nilai pungutan yang dibebankan kepada para pedagang muslim saat mereka masuk wilayah kafir mu’ahid tadi, jadi nilainya sepadan.
Secara umum, aktivitas di pelabuhan dan yang menyangkut kepabeanan di dalamnya tidak terlepas dari penerapan sistem ekonomi politik Islam yang bersumber dari akidah Islam. Maka, haram hukumnya memberlakukan cukai kepada sesama kaum muslim atau kepada ahlu dzimmah sebagaimana hadis riwayat Ad-Darimi, Ahmad, dan Abu Ubaidah dari Uqbah bin Amir, bahwa dia pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah akan masuk surga orang yang memungut bea cukai.” (HR. Ahmad, ad-Darimi dan Abu Ubaidah)
Adapun sistem administrasi bisa saja diberlakukan,tapi dengan prinsip ringkas, rapi, dan memudahkan tentunya. Setiap pelanggaran yang memang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat akan ditindak tegas sesuai jenis pelanggarannya. Sistem peradilan pun akan diberlakukan seadil-adilnya untuk semua. Inilah praktik perdagangan yang sudah belasan abad lamanya diberlakukan dan benar-benar adil dirasakan semua warga negara. Semua ini jelas hanya terjadi dalam sistem Islam yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Penerapan syariat inilah yang akan melahirkan 3 pilar: pertama, adanya kontrol individu dengan ketakwaannya; kedua, kontrol masyarakat dengan aktivitas amar makruf nahi munkarnya yang tetap berjalan, dan ketiga kontrol negara yang memberlakukan hukum/aturan secara tegas. Hal inilah yang akan memungkinkan praktik mafia pelabuhan bisa diberantas secara tuntas. Wallohu’alam[]