"Mafia pelabuhan berawal dari prinsip “from power sharing to profit sharing”. Menggiurkan, nominal perputaran uang di sana begitu fantastis."
Oleh. Tsuwaibah al-Aslamiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Cengkeraman mafia di bumi pertiwi sudah semakin kritis. Belum redam kasus mafia minyak goreng, kini santer diberitakan mafia pelabuhan yang disinyalir merugikan negara. Faktanya, hampir semua sektor kehidupan bernegara disusupi bahkan dikendalikan para mafia ini. Indonesia yang bernapaskan ideologi kapitalisme memang menjadi 'paradise’ bagi para mafia.
Dikutip dari News.detik.com (10/3/2022) bahwa telah digelar pengusutan dugaan mafia pelabuhan kasus korupsi penyalahgunaan Fasilitas Kawasan Berikat dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Emas tahun 2015-2021. Ada tujuh saksi yang diperiksa, mereka adalah pegawai Bea Cukai dari beberapa daerah.
Bukan hanya itu, ada 19 kontainer milik PT HGI yang disita. Kontainer itu berisi tekstil yang diimpor dari Cina. Diduga terdapat tindak pidana korupsi dalam impor bahan baku tekstil di kawasan berikat PT HGI Semarang. Pasalnya, tekstil impor itu sedianya diolah menjadi barang jadi lalu diekspor kembali. Namun, alih-alih diolah, justru malah dijual di dalam negeri. Hal ini otomatis akan mengganggu industri dalam negeri karena harus berbagi pasar dengan barang impor yang dijual secara ilegal (Nasional.tempo.co, 10/3/2022).
Lantas, apakah yang menyebabkan maraknya mafia di negara berlambang Garuda ini? Bagaimanakah solusi yang jitu dalam mengatasi hal ini? Adakah Islam mengatur permasalahan ini juga?
Siapa Mafia Pelabuhan?
Pada dasarnya semua negara disusupi mafia, termasuk Indonesia. Mafia merupakan sekelompok orang yang terorganisasi dan sanggup menghalalkan segala cara untuk merealisasi tujuan. Mafia ini merasuki hampir semua sektor kehidupan bernegara, pelabuhan salah satunya.
Beberapa pekan terakhir ini, pelabuhan menjadi sorotan para penggawa negeri ini. Tak kepalang, Menteri Koordinator, Jaksa Agung hingga KPK unjuk gigi dalam menindaklanjuti terbongkarnya kasus mafia pelabuhan. Padahal, belum lama terungkap kasus pungutan liar di sana. Tak aneh jika pelabuhan dilabeli sarang penyamun.
Lantas, siapakah para mafia pelabuhan itu? Ini sulit dijawab, sebab mafia itu seperti kentut, baunya terendus namun wujudnya tak tampak. Namun demikian, mafia pelabuhan sebenarnya berasal dari adanya praktik sawer kekuasaan (power sharing). Tak diragukan, pelabuhan merupakan ‘tambang emas' yang sangat memesona, sebab nominal perputaran uang di sana begitu fantastis. Hal tersebut mengundang banyak pihak untuk mengantongi cuan sebanyak-banyaknya. Dari mulai preman hingga pejabat berdasi antusias menyerobot jatah dari bisnis kepelabuhan nasional.
“From power sharing to profit sharing”. Kekuasaan memang berkelindan dengan harta. Pelabuhan merupakan suatu tempat strategis yang krusial bagi kepentingan suatu negara dan khalayak ramai. Oleh karena itu, banyak pihak bergantung pada sektor ini. Tak ayal, lokasi ini menjadi bancakan para pemburu harta.
Di dalamnya terdapat Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan) yang menjalankan fungsi pemerintahan dan bertindak sebagai regulator, yakni quarantine, immigration, costums (QIC). Pun pihak yang bertindak sebagai operator yakni badan usaha pelabuhan (BUP). It’s so highly regulated, setidaknya ada 13 instansi yang ikut terlibat dalam proses ekspor-impor barang di pelabuhan.
Fakta power sharing itu nyata dalam panggung dualisme operator-regulator di pelabuhan. Otoritas Pelabuhan yang menentukan tarif. Sedangkan BUP dipecut untuk menarik fulus sebanyak-banyaknya. Hubungan yang kurang harmonis inilah yang akhirnya memunculkan prinsip “kalau bisa dipersulit buat apa dipermudah?” Inilah celah bagi bertenggernya para mafia yang siap ‘membeli' siapa saja yang loyal dan memuluskan jalannya dalam meraup untung sebesar-besarnya.
Kapitalisme Menumbuhsuburkan Mafia
Jika ditelaah lebih dalam, menjamurnya mafia di Indonesia disebabkan oleh dua hal. Pertama, rendahnya kualitas dan integritas aparatur negara, bermental bagger, dan tidak amanah. Kedua, bobroknya sistem kapitalisme yang diadopsi oleh negeri ini. Ini terbukti dari lemahnya pengawasan, panjang dan berbelit-belitnya birokrasi, serta ringannya sanksi yang diberikan sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Kehadiran mafia kiranya sepaket dengan implementasi sistem kehidupan yang saat ini diberlakukan, yakni kapitalisme nan sekuler. Tak dimungkiri, sistem ini sangat mendewakan kebebasan individu termasuk kebebasan dalam hal kepemilikan dan usaha, serta menyiapkan singgasana bagi sifat rakusnya manusia. Bahkan, meminggirkan peran negara dan memberikan karpet merah bagi swasta (korporasi). Penguasa menjadi backup keserakahan korporasi yang mencaplok sumber daya alam dari hulu hingga hilir.
Terlebih penegakan hukum yang tumpul ke atas dan tebang pilih, menjadikan lembaga peradilan tak bertaji di hadapan mafia yang semakin berani unjuk gigi. Lihat saja, bagaimana mafia pangan, mafia peradilan, mafia tanah, mafia narkoba dan lainnya makin di atas angin.
Ibarat lingkaran setan, kondisi ini akan terus berlangsung jika sistem yang digunakan masih kapitalisme-sekuler. Sebab, sistem ini memberikan ruang gerak yang luas bagi para mafia. Begitu pun dengan aparatnya tidak akan bisa amanah selama sekularisme masih mendarah daging dalam diri individunya.
Islam Menggulung Para Mafia
Islam bukan hanya din (agama) tapi juga mabda (ideologi). Sebab, akidahnya memancarkan aturan yang sempurna dan menyeluruh dalam menyolusikan berbagai problematik. Dalam pandangan Islam, mafia itu merupakan penyakit yang akan menggerogoti kedaulatan suatu negara. Oleh karena itu, bahaya sekali jika para mafia dibiarkan bebas berkeliaran tanpa tindakan dan sanksi yang tegas.
Islam memiliki cara yang jitu untuk mencegah sekaligus melibas munculnya mafia. Pertama, memilih dan mengangkat aparat negara berdasarkan profesionalitas dan integritasnya. Sebab, jika konektivitas dan nepotisme menjadi landasan, kehancuran di depan mata. Kepribadian Islam dan memiliki kapabilitas merupakan sejumlah kriteria yang mutlak ada pada diri pemimpin termasuk aparatur negara. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Jika urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari)
Kedua, melakukan penggemblengan sekaligus pembinaan pada aparatur negara. Khalifah Umar bin Khattab senantiasa memberikan nasihat dan peringatan kepada bawahannya, agar tetap ‘on the track’ dan tidak mengkhianati titah Allah dan Rasul-Nya.
Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang mapan kepada aparaturnya. Sehingga, mereka tidak mudah tergoda dengan tawaran menggiurkan dari pihak-pihak tertentu untuk memperkaya diri dan keluarganya. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tidak punya istri, hendaklah dia menikah. Kalau tidak punya pembantu atau kendaraan hendaklah dia mengambil pembantu dan kendaraan.” (HR. Ahmad)
Keempat, melarang aparatur negara terjerumus pada tindak korupsi dan suap menyuap. Baginda saw. pernah bersabda, “Barang siapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR. Abu Dawud).
Kelima, melakukan perhitungan harta kekayaan sebelum dan sesudah menjadi aparatur negara. Jika ada penambahan yang tidak wajar, akan ditelusuri sumber dananya, apakah dari pendapatan yang halal ataukah haram?
Keenam, adanya teladan dari pemimpin negara. Tak bisa dimungkiri, bawahan itu mencerminkan atasannya. Jika atasannya jujur, amanah, dan berintegritas tinggi maka bawahannya pun akan berusaha melakukan hal yang sama. Selayaknya pemimpin itu dapat mewarnai dan menciptakan atmosfer yang baik bagi yang dipimpinnya.
Ketujuh, pengawasan sekaligus keberanian untuk menegakkan fungsi amar makruf nahi mungkar oleh negara dan masyarakat. Ketika kezaliman tampak di depan mata, maka tak ada alasan untuk diam. Semua pihak berkewajiban untuk meluruskan, baik itu dengan tangan (baca: kekuasaan), lisan, atau setidaknya pengingkaran dalam hati.
Khilafah sebagai Eksekutor
Berbagai cara untuk melibas mafia seperti yang telah dipaparkan di atas mustahil terealisasi oleh sistem saat ini yang masih dikuasai kapitalisme-sekularisme. Sebab, ini bukan persoalan teknis semata. Cara yang ditawarkan Islam tidak akan bisa diemban oleh institusi mana pun, selain Khilafah. Itulah mengapa Khilafah menjadi kebutuhan umat yang sangat mendesak saat ini.
Khilafah merupakan institusi negara yang menerapkan Islam kaffah dalam semua sendi kehidupan, menyatukan seluruh kaum muslimin, serta aktif melakukan dakwah dan jihad ke seluruh penjuru dunia. Khilafah akan menutup rapat-rapat gerbang intervensi para mafia. Sebab, aturan yang diterapkan bukan berdasarkan suara terbanyak dan ambisi manusia, namun merujuk pada wahyu Allah.
Kemudian Khilafah akan mengembalikan harta sesuai kepemilikannya (individu, umum, atau negara). Sehingga, cara ini bisa mengadang mafia untuk menggondol hajat hidup orang banyak dan mendulang cuan darinya. Tak ketinggalan, prinsip muamalah syar’i dijalankan agar tindak kecurangan dan spekulasi bisa dihindari.
Bila semua telah dikondisikan dan ternyata masih ada pihak yang nekat melanggar. Maka, algojo peradilan siap mengeksekusi dengan menjatuhkan sanksi yang setimpal. Sehingga, akan menimbulkan efek jera sekaligus menjadi penebus dosa.
Inilah kesempurnaan sistem Islam yang dirancang langsung oleh Sang Khalik. Bukan hanya membawa kebaikan di dunia tapi juga kebahagiaan di akhirat. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?
Khatimah
Islam dengan Khilafahnya mampu melibas mafia hingga akarnya. Bukan sekadar menyiapkan langkah preventif dan kuratif, namun memastikan negara menjadi kuat dan berdaulat. Bebas dari intervensi mafia dan para kapitalis. Sehingga, umat tak lagi menjadi objek penderita dan sasaran kezaliman penguasa. Bukankah ini kehidupan yang didamba kita semua?
Wallahu a’lam bi ash-shawwab[]