"Inkonsistensi dan ketidakadilan dalam memberlakukan kebijakan sudah menjadi watak yang sulit dilepaskan dari pemangku kebijakan yang menganut sistem kapitalisme sekuler. Kapitalisme telah menjadikan negara senantiasa hitung-hitungan dalam perkara untung-rugi dan manfaat materi ketika mengambil kebijakan."
Oleh. Yuliyati Sambas
(Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK)
NarasiPost.Com-Sudah dua kali Lebaran, masyarakat ‘haram’ mudik karena alasan pandemi. Lebaran sekarang pemerintah ‘berbaik hati’ memberi kesempatan warga untuk meluapkan kerinduan berjumpa dengan keluarga dan sanak famili. Namun, ternyata baik hatinya pemerintah itu bersyarat. Mudik hanya boleh untuk mereka yang sudah menjalani vaksin booster, tentunya sesudah 2 vaksin dosis di awal terlewati. Opsi lainnya, jika baru vaksin dosis dua, maka diwajibkan melampirkan hasil rapid test antigen. Sementara kalau baru vaksin dosis pertama, warga harus membawa bukti negatif tes PCR. (cnnindonesia.com, 26/3/2022)
Mengapa Mudik Mesti Bersyarat?
Dalam benak sebagian masyarakat berpikir, "Mengapa mesti ada syarat vaksin booster untuk mudik tahun ini? Bukankah mall-mall, sekolah-sekolah, bahkan tempat-tempat wisata sudah beraktivitas normal? Terus, kerumunan di MotoGP Mandalika, liburan Nataru dan Imlek, lha kok tak dikasih syarat serupa? Ini sungguh tidak adil."
Tak berlebihan kiranya jika lintasan pertanyaan di atas bermunculan. Faktanya saat ini, kasus Covid-19 sudah mulai menurun. Tersiar kabar bahkan istilah pandemi pun akan berganti dengan endemi. Itu karena tren penurunan kasus dari waktu ke waktu cenderung tajam. Berdasarkan pernyataan Ketua Satgas Covid-19 IDI, di bulan Februari 2022 tercatat 61 ribuan kasus, berikutnya dari hari ke hari hingga Maret 2022 kasus terus menurun dan tersisa 6 ribuan kasus saja. (kontan.co.id, 25/3/2022)
Ini pertanda baik tentunya. Kita semua tentu berharap jika data kasus yang mulai melandai tersebut benar-benar dituntaskan hingga sempurna terbebas dari wabah. Tentunya juga dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang jelas, terarah dan sungguh-sungguh dari pemerintah untuk mewujudkannya. Bukankah itu salah satu tugas penguasa dalam mengurus rakyatnya? Di mana mereka dahulu ketika awal menjabat telah bersumpah di hadapan kitab suci yang diyakini akan amanah mengembannya.
Perlu dipahami bahwa capaian vaksinasi adalah satu di antara arah kebijakan pemutus mata rantai wabah. Maka, ketika Satgas Penanganan Covid-19 mengklaim vaksinasi booster dijadikan syarat mudik itu tujuannya untuk meningkatkan capaian vaksin di daerah, tentu ini kebijakan baik dan butuh didukung oleh semua. Namun, persoalannya adalah ketidakadilan yang menelusup di dalamnya. Bukankah baik momen mudik Lebaran, Nataru, Imlek, dan gelaran MotoGP semuanya berpotensi memunculkan kerumunan dan pergerakan manusia? Tapi mengapa prasyarat tersebut hanya untuk momen mudik umat Islam saja?
Muncul alasan lain, "Kan mudik lebaran itu melibatkan jumlah warga hingga puluhan juta, sementara MotoGP “hanya” 60 ribuan penonton dan crew saja." Hellow, 60 ribu itu jumlah orang, lho, bukan uang atau bakwan!
Kita tentu masih ingat kasus “perburuan” Habib Rizieq Shihab karena dianggap bersalah telah mengadakan kerumunan tamu undangan di acara walimahan putrinya. Kendati pihak HRS sudah membayar denda Rp50 juta atas pelanggaran prokesnya tersebut, tetap saja kriminalisasi padanya terus berlanjut. Kalau begitu, sungguh bukan karena jumlah kerumunan saja yang dipersoalkan, iya kan? Klaim lainnya bahwa momen Lebaran itu biasanya digunakan untuk mengunjungi para lansia, yakni golongan yang rentan terpapar Covid-19. Baiklah, mereka memang butuh untuk dilindungi, namun alangkah baiknya jika perlindungan itu diberikan pada semua lapisan rakyat. Begitupun dengan pemberlakuan sebuah kebijakan untuk memutus rantai wabah, tentu sudah semestinya merata pada seluruh elemen warga, kapan pun, di mana pun dan momen apa pun.
Dengan semua keheranan di atas, wajar jika berkembang di tengah publik pemikiran kalau pemerintah itu kerap tidak adil jika berkenaan dengan golongan rakyat kecil dan umat Islam, baik berupa pandangan-pandangan juga tataran kebijakan. Di sisi lain, kita juga butuh menganalisis dari timing-nya. Kebijakan prasyarat mudik berupa vaksinasi lengkap hingga booster itu baru berlaku 2 April 2022. Gelombang mudik lebaran biasanya mulai ramai sejak H minus 7 hari. Jika demikian, kurang lebih 3 pekan saja proses penyelesaian vaksinasi booster wajib terselenggara hingga tuntas. Maka, bukan karena enggannya warga saja untuk bervaksin, tapi pertanyaannya cukupkah waktunya? Lantas dari sisi kapasitas vaksinasi di setiap daerah, yakinkah mencukupi? Terlebih untuk wilayah perkotaan di mana tentu akan ada banyak warga yang hendak mudik. Kenapa dalam hal ini pemerintah seolah tidak berkeinginan untuk memudahkan urusan rakyat?
Ya sudah, kalau memang tidak kebagian vaksin booster, kan ada opsi berikutnya, tinggal rapid test antigen atau PCR saja. Bagi kalangan the have, mungkin itu tidak menjadi masalah. Tapi, kita tentu paham hari ini, long pandemic telah menjadikan kondisi ekonomi rakyat babak belur. PCR dan antigen itu berbayar, lho. Apa pemerintah mau menggratiskan? Kenapa aturan PPKM saja sudah dilonggarkan dari sisi ditiadakannya kewajiban PCR dan karantina bagi pelaku perjalanan, sementara untuk mudik tidak? Sekali lagi bahwa inkonsistensi pemerintah sangat nyata.
Semua Gara-Gara Kapitalisme Sekuler
Inkonsistensi dan ketidakadilan dalam memberlakukan kebijakan sudah menjadi watak yang sulit dilepaskan dari pemangku kebijakan yang menganut sistem kapitalisme sekuler. Kapitalisme telah menjadikan negara senantiasa hitung-hitungan dalam perkara untung-rugi dan manfaat materi ketika mengambil kebijakan. Gelaran MotoGP dipandang akan menaikkan gengsi negara -yang sesungguhnya semu- di hadapan dunia, maka “wajib” digelar meski harus ditebus dengan merogoh kocek yang dalam dari APBN di saat kondisi dana negara kritis sekalipun, Rp1,3 triliun. (kompas.com, 20/3/2022)
Sungguh besaran yang fantastis. Semua hal yang berpotensi menghalanginya akan diterabas dan dihilangkan. Jadi, jangan heran jika di perhelatan skala internasional tersebut, vaksin booster tidak dijadikan prasyarat. Sementara agenda mudik ”yang hanya” melibatkan rakyat, bisa tetap dijadikan objek untuk teraihnya target vaksinasi demi penanganan wabah. Untuk liburan Nataru dan Imlek negara sangat berpegang pada prinsip moderasi, dimana merasa intoleran ketika harus dilarang dalam pelaksanaannya. Kalau bagi kepentingan mayoritas semisal prasyarat mudik Lebaran yang terkesan diada-adakan, prinsip intoleran menguap entah ke mana.
Aroma ketidakadilan dalam pemberlakuan kebijakan pun sudah menjadi budaya di sistem sekuler. Karena aturan agama tidak boleh dibawa-bawa dalam urusan kehidupan dan bernegara. Maka, para penguasa pun tak merasa malu dan berdosa ketika tidak adil dalam mengambil kebijakan mengurusi rakyat. Dalam kamus mereka dosa dan pahala hanya ada pada urusan salat, puasa, ibadah di masjid, dan sejenisnya, tidak ada jika urusannya dunia. Itupun bersifat individualistis. Maka, produk-produk kebijakan zalim pun banyak diproduksi di negara ini.
Hanya Sistem Islam yang Memudahkan, Konsisten dan Adil
Pandangan Islam sangat berbeda dalam persoalan di atas. Pemerintah sudah seharusnya menjadi pelayan rakyat (raa’in) bukan malah mempersulit urusan rakyat. Ini sudah sangat jelas disabdakan oleh Baginda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, “Pemimpin (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya.”
Terkait dengan target capaian vaksin demi terselesaikannya kasus pandemi sungguh akan dijadikan agenda sedari awal wabah menyerang. Hal tersebut menjadikan negara tidak akan berkubang dalam kondisi long pandemic yang tentu sangat menyesakkan rakyat. Tetapi, tidak pula diputuskan secara tiba-tiba. Sehingga rakyat benar-benar siap, tidak dibuat kaget dan resah seperti yang terjadi hari ini dimana justru dijadikan prasyarat mudik dalam waktu yang sangat singkat.
Pemerintah dalam pandangan Islam tidak akan bermain-main dalam mengambil kebijakan.
Penguasa pun sepatutnya bersikap adil dalam memberlakukan setiap kebijakan. Mereka senantiasa mengingat akan ancaman Allah yang disabdakan Rasulullah saw., “…. Orang yang paling dibenci Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah pemimpin yang zalim.” (HR. Tirmidzi)
Selanjutnya pemerintah pun akan memberlakukan kebijakannya dalam pencapaian target vaksinasi untuk semua kalangan rakyat sesuai arahan para ahli di bidangnya. Sungguh kebijakan mudik bersyarat hanya terjadi di sistem kapitalisme sekuler. Sementara dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), semua urusan rakyat termasuk penyelesaian pandemi dan pemberian kemudahan, semisal mudik, akan dijadikan agenda kesehariannya. Wallahu a’lam.[]