"Terpilihnya Emmanuel Macron atas Marine Le Pen, bukanlah pertanda bahwa kaum muslim Prancis legowo memberikan suara pada Macron. Namun, mereka hanyalah memilih terburuk dari yang terburuk. Sebab, keduanya terjangkit islamofobia."
Oleh. Dia Dwi Arista
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pemilu Prancis telah usai digelar. Petahana, Emmanuel Macron, kembali menjadi pemenang dalam pemilu melawan saingan lamanya, Marine Le Pen. Macron menang mutlak dengan perolehan suara sebanyak 58,8 persen, sedangkan Le Pen hanya berhasil mengeruk sebanyak 41,2 persen suara. (jpnn.com, 25/4/2022)
Lantas dalam kemenangan ini, bagaimanakah nasib kaum muslim ke depannya? Apakah lebih baik kepemimpinan Le Pen atau Macron bagi kaum muslim Prancis? Mengingat pada tahun-tahun sebelumnya, Macron juga bersikap "arogan" terhadap simbol-simbol keislaman.
Terjebak dalam Sekularisme
Hidup di negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai sekuler tentu sangat sulit dijalani oleh kaum muslim. Sebab, sebagai muslim yang taat, tentu nilai-nilai agama tidak bisa hilang begitu saja baik di ruang publik maupun khusus. Karena keimanan telah mengikat mereka untuk selalu patuh pada syariat Islam.
Realitas inilah yang saat ini terjadi pada kaum muslim di seluruh dunia. Mereka dipaksa hidup dengan pandangan-pandangan kufur yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pun dengan kaum muslim Prancis. Negara yang bersimbol Menara Eiffel ini telah mengambil sekularisme sebagai identitas bangsanya sejak 1905. Dan paham ini benar-benar menjadi visi ideal bagi Macron dalam memerintah. Oleh karena itu, ia melakukan pelarangan adanya simbol-simbol agama di ruang publik. Namun, sudah menjadi rahasia umum, agama mana yang menjadi tujuan utama dari kebijakan tersebut.
Negara sekuler yang notabene berusaha memisahkan agama dari kehidupan, akan menjadi musuh terbesar bagi Islam. Sebab, segala kebijakan yang nantinya diputuskan oleh pemimpin akan bertentangan dengan Islam. Hal ini seperti yang terlihat dari kebencian Macron pada Islam melalui kebijakan-kebijakannya. Bahkan ketika merespons kematian seorang guru sejarah yang dipenggal oleh seorang pelajar muslim imigran asal Chechnya pada tahun 2020, secepat kilat Macron menyerukan perang terhadap ekstremisme Islam. Padahal sang gurulah yang memantik api kebencian terlebih dahulu, dengan memperlihatkan karikatur Nabi Muhammad yang ditayangkan (lagi) oleh majalah Prancis Charlie Hebdo. Sebagai seorang muslim, tentu pelajar dan rekannya sesama muslim tidak terima kehormatan nabinya diinjak-injak, tanpa keadilan dari negara.
Penerapan laicite (sekularisme Prancis) ini sungguh di luar batas. Mulai dari pelarangan burkini (baju renang muslim), mengenakan hijab di tempat publik, termasuk sekolah dan tempat kerja. Sekularisme ini telah menciptakan kebijakan yang sedikit demi sedikit merambah pada penutupan sekolah muslim di Prancis. Kebijakan ini tak main-main, sejak pelarangan penggunaan hijab yang menutup seluruh wajah diberlakukan pada tahun 2011, lima tahun setelah itu terdapat 1500 denda yang terjadi.
Sekularisme yang diadopsi Prancis Laicite, merupakan sekularisme yang melarang dengan tegas campur tangan agama dalam perpolitikan bahkan negara. Sebaliknya negara juga tidak boleh campur tangan pada urusan agama. Sayangnya, fakta yang terjadi adalah ironi dari sekularisme yang mereka agungkan. Sekularisme ini berbeda dengan yang diterapkan di Amerika, yakni sekularisme yang masyarakat religiusnya bersifat plural. Pemisahan antara agama dengan negara masih memungkinkan diterimanya simbol-simbol agama dalam kehidupan publik. Hal ini disebabkan sekularisme Amerika hanya diterjemahkan sebagai kebebasan memilih keyakinan saja. Meski pada praktiknya, masih banyak warga nonmuslim yang fobia dengan simbol-simbol agama Islam. Meski berbeda praktik, namun hasil tetap sama. Yakni memunculkan islamofobia.
Demikianlah kondisi kaum muslim yang terjebak dalam sekularisme. Mereka dipasung dalam keyakinannya, kemudian negara sekuler mengatur bagaimana mereka harus menjalankan agamanya. Ironi!
Sesama Islamofobia
Kembali pada pembahasan utama. Terpilihnya Emmanuel Macron atas Marine Le Pen, bukanlah pertanda bahwa kaum muslim Prancis legowo memberikan suara pada Macron. Namun, mereka hanyalah memilih terburuk dari yang terburuk. Sebab, keduanya terjangkit islamofobia. Hal ini dapat dilihat dari track record Emmanuel Macron selama menjabat pada periode pertama, yang telah mengonfirmasi kebencian pemimpin Prancis ini pada Islam. Sedangkan, islamofobia yang ditunjukkan oleh Le Pen terlihat dari debat-debat politik, dan kampanye Le Pen ketika mencalonkan diri sebagai Presiden.
Dilansir dari wartaekonomi.co.id, 21/4/2022, Le Pen bahkan telah mendeklarasikan sumpahnya untuk melarang pemakaian jilbab di muka umum beserta dendanya, jika ia berhasil menjabat sebagai presiden selanjutnya. Ia menuduh bahwa jilbab adalah "atribut Islam" yang mengekang kebebasan wanita. Bahkan pada tahun 2015, Le Pen pernah menyatakan bahwa salat umat Islam di jalan sebagai pendudukan baru sebagaimana pendudukan Nazi di Jerman.
Di sisi lain, berbagai kebijakan Emmanuel Macron pada periode sebelumnya dinilai diskriminatif terhadap kaum muslim. Ia dan partainya pernah mengesahkan undang-undang kontroversial untuk menentang "separatisme" yang dilihat sebagai diskriminatif pada muslim. Ia juga membubarkan lembaga-lembaga antiislamofobia di negara tersebut. Bahkan ia menstigmatisasi penampilan kaum muslim yang menginterpretasikan agamanya.
Telah jelas, tidak ada kebaikan dari keduanya bagi kelangsungan hidup beragama umat Islam di bawah kepemimpinan mereka. Namun, bagaimanapun hukum demokrasi tetap berlanjut, kaum muslim dengan terpaksa harus memilih yang terburuk dari yang terburuk.
Hapus Islamofobia, Saatnya Kaum Muslim Bangkit!
Keadaan kaum muslim yang harus terkekang dengan aturan sekuler akan berakhir, ketika hukum Islam ditegakkan. Istimewanya, syariat Islam bukan hanya untuk umat Islam semata. Namun, juga seluruh alam. Hal ini pun telah disebut dalam Al-Qur'an surah Al-Anbiya ayat 107. " Dan tiadalah kami mengutus Kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." Pengutusan Rasulullah saw. menjadi jalan tersebarnya rahmat. Sebab, apa yang dibawa oleh Rasul (Al-Qur'an dan sunah) bersifat umum untuk seluruh manusia.
Saat ini, Islam dimonsterisasi dengan propaganda Barat, yang menginginkan seluruh manusia -tak terkecuali muslim sendiri- untuk membenci Islam dan syariatnya. Mereka membuat rancangan apik dengan slogan-slogan menyesatkan seperti war on terorism yang jelas ditodongkan pada Islam dan kaum muslim. Bahkan fitnahan keji tentang hijab diembuskan telah mengekang muslimah dari haknya membuka aurat. Padahal, semua itu hanya tuduhan yang mereka ambil dari perspektif sekularisme mereka.
Ketakutan Barat terhadap syariat Islam, mereka manifestasikan dengan menjauhkan generasi muslim dari pemahaman Islam kaffah. Sebab, jika generasi kaum muslim sadar akan visi agamanya, maka bukan tak mungkin Islam akan kembali digdaya dengan Khilafahnya. Dan hal ini akan sangat mengancam eksistensi Barat sebagai negara maju dan nomor satu. Sebab, belajar dari kebesaran Khilafah masa lalu, tentu Khilafah akan menandingi bahkan mengungguli Amerika beserta Sekutu.
Oleh karena itu, negeri-negeri muslim dibuat sibuk dengan urusan domestiknya. Masalah kemiskinan, perang saudara, ekstremisme, utang luar negeri, cukup membuat penuh tangan negeri-negeri muslim. Hingga mereka luput menyadari bahwa mereka adalah manusia terbaik yang Allah ciptakan.
"Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka." (TQS. Ali Imran ayat 110)
Sudah saatnya kaum muslim sadar dari mimpi buruknya. Inilah saat yang tepat untuk bangkit dan bersatu dalam sebuah ikatan besar bernama Khilafah. Dengan adanya junnah (pelindung) ini, maka umat terbebas dari islamofobia. Bahkan, nonmuslim pun akan dapat mencintai syariat Islam kembali, sebagaimana dulu penduduk nonmuslim Palestina bergabung dengan tentara kaum muslim, menghalau tentara salib yang ingin menyerang.
Khatimah
Kemenangan Emmanuel Macron, bukanlah kemenangan kaum muslim Prancis. Tak ada bedanya siapa pun yang berkuasa, jika sistem yang dipakai bukanlah syariat Islam, maka akan tetap timbul permasalahan yang sama. Yakni, Islamofobia. Maka, sudah sewajarnya umat Islam memperjuangkan tegaknya syariat Islam untuk mengatur kehidupan mereka. Allahu a'lam bis-shawwab[]
syukron pemaparannya mbak...