Kala Hukum Tak Lagi 'Sakti', Klitih Menjadi 'Tradisi'

"Inilah buah dari sekularisme yang diterapkan hari ini. Sistem yang cacat bawaan sejak lahir, justru melahirkan kebebasan berperilaku yang hanya menjadikan hawa nafsu sebagai tolok ukur. Apabila sistem ini tetap dipertahankan, maka tak butuh banyak waktu untuk merusak generasi muda sampai serusak-rusaknya."

Oleh. Sartinah
(Pegiat Literasi)

NarasiPost.Com-Kejahatan jalanan atau dikenal dengan istilah klitih kembali meresahkan warga Yogyakarta. Bukan sekali-dua kali, aksi kriminal yang didominasi kaum pelajar tersebut terus berulang. Terang saja, klitih telah mencoreng status Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai 'Kota Pelajar' dan memiliki slogan 'Kota Berhati Nyaman'. Saking maraknya aksi serupa sehingga memunculkan tagar #DIYDaruratKlitih yang sempat menjadi trending topik di Twitter.

Terbaru, aksi klitih di Kota Yogyakarta telah menyebabkan seorang pemuda meninggal dunia. Alih-alih mereda, jumlah kasusnya justru menunjukkan tren kenaikan. Berdasarkan rilis Catatan Akhir Tahun Polda DIY selama 2021, jumlah kasus yang masuk mencapai 58 kasus. Sementara itu, total pelaku yang teridentifikasi sebanyak 102 orang yang notabene masih berstatus pelajar. (Tempo.co, 05/01/2022)

'Tradisi' Turun-temurun

Dalam Kamus Besar Bahasa Jawa (Jawa-Indonesia, 2022) karya S.A. Mangunsuwito, klitih merupakan kata ulang dari klitah-klitih yang artinya berjalan bolak-balik agar kebingungan. Namun, ada pula yang mengartikan klitih sebagai aktivitas mencari angin di luar rumah alias keluyuran. Umumnya, aktivitas ini dilakukan oleh anak sekolah atau remaja berusia 14-19 tahun.

Sayangnya, istilah klitih telah mengalami pergeseran makna menjadi aksi kekerasan jalanan dengan senjata tajam atau kriminalitas anak di bawah umur yang berada di luar kegaliban. Fenomena ini tentu menjadi preseden buruk terhadap nasib generasi muda di masa yang akan datang. Maraknya aksi kejahatan jalanan menyiratkan sebuah tanya, mengapa tindakan kriminal semacam ini terus saja marak bahkan sampai menjadi 'tradisi'?

Berdasarkan sebuah penelitian yang berjudul "Tinjauan Kriminologis terhadap Kejahatan yang Dilakukan oleh Pelaku Aksi Klitih", disebutkan bahwa faktor utama para pelaku melakukan aksi tersebut yakni mengharapkan pengakuan terhadap eksistensi, gengsi, maupun jati diri. Aksi klitih umumnya dilakukan oleh remaja yang secara psikologis mengalami krisis identitas. Krisis tersebut akhirnya membuat para remaja mengalami sistem kontrol diri yang rapuh, sehingga tidak mampu membedakan mana baik dan buruk.

Fenomena klitih yang semakin mengkhawatirkan, nyatanya tak muncul begitu saja. Berdasarkan berbagai sumber, aksi ini telah terjadi turun-temurun dan terus dipelihara dari waktu ke waktu hingga membentuk 'tradisi'. Adanya doktrin di sekolah-sekolah yang dilakukan senior terhadap juniornya membuat aksi klitih tidak pernah mati. Lewat doktrin tersebut dibuatlah pemetaan untuk menentukan mana musuh dan mana kawan.

Krisis Identitas Buah Demokrasi

Maraknya aksi kekerasan dengan dalih eksistensi diri, sejatinya menunjukkan bahwa generasi muda saat ini tengah mengalami krisis identitas. Mengharapkan pengakuan akan jati diri melalui tindakan kriminal, sangatlah tidak dibenarkan. Tentu pemahaman seperti ini lahir dari prinsip kebebasan yang merupakan 'anak kandung' sistem demokrasi-sekuler, yakni kebebasan berperilaku. Kebebasan yang tanpa batas tersebut akhirnya menjadi acuan untuk berbuat sesuka hati selama di dalamnya mendatangkan kesenangan. Tentu saja tanpa peduli jika harus menabrak rambu-rambu syariat.

Pola pendidikan sekuler saat ini juga turut menunjang rusaknya mental generasi muda. Sistem pendidikan yang tidak mampu membentuk pola pikir dan pola sikap islami, sudah pasti menghasilkan generasi yang jauh dari tuntunan syariat. Maka, tak heran jika berbagai kerusakan yang menjerat kaum remaja justru dianggap sesuatu yang lazim.

Selain itu, penegakan hukum yang tidak tegas membuat aksi-aksi kriminal terus bermetamorfosis dalam berbagai rupa. Hukum yang tidak lagi bernyali, justru membuat kejahatan seperti tradisi yang terus berulang, termasuk kejahatan remaja yang masih menjadi dilematik pemerintah. Di satu sisi, aksi kejahatan harus dihukum. Namun di sisi lain, kejahatan remaja terkadang masih harus diselesaikan melalui cara diversi (penyelesaian perkara anak di luar pidana).

Inilah buah dari sekularisme yang diterapkan hari ini. Sistem yang cacat bawaan sejak lahir, justru melahirkan kebebasan berperilaku yang hanya menjadikan hawa nafsu sebagai tolok ukur. Apabila sistem ini tetap dipertahankan, maka tak butuh banyak waktu untuk merusak generasi muda sampai serusak-rusaknya. Negeri ini yang tengah dilanda darurat kriminalitas, sejatinya butuh solusi fundamental untuk memberangusnya.

Solusi Islam

Tidak ada satu masalah pun tanpa solusi. Setidaknya demikianlah yang dijanjikan oleh Islam. Sebagai solusi paripurna, Islam mampu menyelesaikan seluruh problematik yang mendera negeri ini bahkan dunia. Termasuk di dalamnya persoalan klitih yang melibatkan anak remaja atau pelajar.

Orang dewasa maupun pelajar (selama sudah mampu membedakan baik dan buruk) memiliki kedudukan sama di mata hukum. Jika salah harus dihukum dan jika benar maka harus dibebaskan. Pada prinsipnya, tidak boleh ada satu orang pun yang bebas berbuat semena-mena terhadap orang lain. Namun, solusi Islam tidak melulu soal sanksi, tetapi juga dibarengi dengan tindakan preventif sebagai bentuk pencegahan di masa yang akan datang.

Pertama-tama, Islam mewajibkan setiap muslim memiliki ketakwaan kepada Allah Swt. Ketakwaan ini menjadi 'harga mati' yang tidak bisa ditawar. Dengan bekal takwanya, seseorang akan terjaga dari perbuatan yang dilarang Allah Swt., termasuk aksi klitih. Orang tua wajib menanamkan pendidikan berbasis akidah Islam terhadap anak-anaknya. Kuatnya penanaman akidah sejak kecil akan membentuk insan bertakwa yang jauh dari kesan liar dan beringas.

Tidak cukup dengan penanaman akidah, peran masyarakat sebagai kontrol di tengah-tengah umat haruslah berfungsi. Hal ini guna mencegah merajalelanya kerusakan. Terakhir, ada negara sebagai penegak keadilan yang menerapkan sanksi terhadap berbagai bentuk kejahatan. Sanksi haruslah tegas dan adil agar tidak ada orang yang merasa terzalimi.

Dalam Islam, tindakan kriminal yang dilakukan di jalanan sering kali disebut qath'ut thariq. Syekh Syamsuddin Muhammad bin Ahmad menyebutkan dalam Mugnil Muhtaj, bahwa qath'ut thariq adalah pengganggu di jalanan yang mencuri, membunuh, bahkan menakut-nakuti dengan kekuatan atau keahlian menggunakan senjata tajam.

Apabila para pelaku (pengganggu jalanan) sampai melukai korban, maka berlaku hukum kisas baginya. Kisas merupakan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Sedangkan bagi pelaku (pengganggu jalanan) yang menyertakan pencurian dalam aksinya (apabila barang curiannya telah mencapai nisab), maka sanksinya adalah dipotong tangan kanan dan kaki kirinya.

Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah Swt. dalam Al-Qur'an Surah Al-Maidah ayat 33: "Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar."

Khatimah

Sistem demokrasi sekuler telah nyata menyeret manusia menuju kerusakan. Juga memfasilitasi kezaliman di balik dalih kebebasan. Sistem ini pula yang membuat manusia jauh dari tuntunan Sang Pencipta. Dengan beragam kecacatan yang dimiliki, sudah layak bagi umat ini untuk membuang sistem hidup yang mengangkangi hak Allah Swt. Kemudian menggantinya dengan sistem sahih rancangan Ilahi, yakni Islam. Wallahu 'alam bisshawab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Penulis Rempaka literasiku
Sartinah Seorang penulis yang bergabung di Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan sering memenangkan berbagai challenge bergengi yang diselenggarakan oleh NarasiPost.Com. Penulis buku solo Rempaka Literasiku dan beberapa buku Antologi dari NarasiPost Media Publisher
Previous
Krisis Ekologi Mengancam Negeri
Next
Penyebaran Islam sebagai Asas Politik Luar Negeri
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram