"Sistem sekuler tentu akan mengarahkan penganutnya untuk berpikir bahwa ranah agama hanyalah ibadah ritual semata. Adapun persoalan dunia, termasuk mendirikan negara dan sistem pemerintahan dikembalikan pada manusia dalam menentukan pilihannya. Jadilah hukum-hukum Allah terkait urusan dunia dipinggirkan."
Oleh. Yuliyati Sambas
(Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK)
NarasiPost.Com-Untuk ke sekian kalinya Menkopolhukam, Mahfud MD, menyatakan sesuatu yang membuat publik resah. Katanya, umat haram sekaligus mustahil mendirikan negara seperti Nabi. Hal itu ia ungkapkan dalam kesempatan ceramah tarawih di masjid UGM pada 3 April 2022. (cnnindonesia, 4/4/2022)
Ungkapan dari salah satu pejabat pemerintah ini menimbulkan keresahan di kalangan umat Islam. Satu di antara tokoh umat yang bersuara atas pernyataan tersebut adalah Imam Besar Masjid New York, Muhammad Syamsi Ali. Ia bercuit dalam Twitter pribadinya bahwa perkataan Mahfud MD itu termasuk blunder dalam berkomunikasi yang tidak tuntas. Bahkan terkategori menentang pada Nabi (suara.com, 6/4/2022)
Offside Pemikiran
Jika ditelisik track record ungkapan dan pandangan-pandangannya, yang bersangkutan bukan sekali ini saja menyatakan hal serupa. Perkara ini bahkan tergolong offside pemikiran Islam.
Beberapa hal yang butuh untuk dikritisi di antaranya:
Pertama, ketika dikatakan bahwa saat ini adalah haram bahkan bisa terkategori murtad bagi umat yang ingin mendirikan negara seperti Nabi. Alasannya karena tiga pilar pemerintahannya dikerjakan oleh Nabi sekaligus, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ungkapan selanjutnya bahwa kini Nabi telah tiada, masa kenabian pun sudah terhenti sepeninggal Beliau saw., maka itu artinya sistem pemerintahannya pun mustahil dapat dijalankan oleh umatnya.
Menurut hemat penulis, berdasakan logika saja sungguh pernyataannya tidak masuk akal. Kita bisa dapati ketika –misalnya- pencetus demokrasi di Masa Yunani, Cleisthenes, telah wafat, apakah negara berasas demokrasi menjadi sesuatu yang mustahil didirikan? Buktinya hari ini, jauh sepeninggal Cleisthenes, tak sedikit negara-negara di dunia yang mengadopsi sistem pemerintahannya.
Atau di saat pencetus ide sosialisme komunis, Karl Marx dan Friedrich Engels telah meninggal, tidaklah berarti apa yang dicita-citakan mereka terkubur bersama jasad keduanya.
Sementara dari sisi syariat, umat menyadari betapa Rasul telah wafat, namun risalah yang didakwahkan dan ditegakkannya, semua telah sempurna termaktub bahkan terkodifikasi demikian rinci dan jelas di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Keduanya adalah pedoman bagi umat sepeninggal Rasulullah untuk bisa meneladani setiap ajarannya.
Kita tentu teringat dengan penggalan momen sejarah, pada saat Abu Bakar Siddiq mengingatkan Umar bin Khattab di hari wafatnya sosok penyampai wahyu. Abu Bakar mengutip satu ayat Al-Qur’an surat Ali Imran/144 yang isinya mengingatkan dalam bentuk pertanyaan retoris bahwa ketika Nabi wafat apakah mukmin berhak untuk berbalik ke belakang (kufur terhadap ajarannya).
Kedua, dahulu, masih kata Prof. Mahfud, negara dipimpin oleh Nabi dan menjalankan hukum langsung dari Allah. Maka, ketika kenabian tak ada lagi, sistem bernegara diserahkan pada hasil ijtihad dari umatnya pada setiap masanya. Dan sistem kenegaraan yang hari ini diberlakukan di Indonesia maupun negara-negara muslim lainnya adalah bentuk ijtihad. Hal tersebut dalam rangka menyesuaikan kebutuhan dan kondisi setiap zaman dan wilayah. Bahkan, masih kata yang bersangkutan, terdapat perbedaan antara sistem khilafah yang diberlakukan di masa Khulafaur Rasyidin hingga kekhilafahan Utsmaniyah.
Menanggapi hal ini, mungkin Prof lupa, pura-pura lupa, atau berusaha lupa, bahwa setiap masa kekhilafahan, meski boleh jadi dalam hal proses pemilihan pemimpin pemerintahan terdapat perbedaan, namun khalifah-khalifah yang diangkat senantiasa memiliki satu koridor sistem pemerintahan yang sama. Yakni dengan menerapkan prinsip syar’i berupa kedaulatan di tangan syarak.
Bukti historis memperlihatkan betapa setiap masa kekhilafahan hingga 14 abad lamanya, semuanya melegislasi hukum berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah semata. Sementara hari ini, bagaimana mungkin dipandang sebagai hasil ijtihad, jika produk hukum yang diberlakukan oleh sistem pemerintahan yang ada justru menafikan syariat. Contohnya, adalah ketika negeri-negeri muslim yang hari ini tidak menganut sistem pemerintahan yang dicontohkan Nabi, maka bisa dilihat syariat-syariat Allah diabaikan, dijauhkan hingga dikriminalisasi. Dalam hal ini semisal riba dan miras dipandang legal, sementara Allah menetapkannya haram. Kewajiban jihad, dakwah, dan beberapa syariat lain kerap dikriminalisasi. Dalam perkara lain bahwa aturan-aturan Allah hanya diposisikan sebagai pilihan, bukan satu-satunya rujukan. Semisal syariat salat, puasa, zakat, berjilbab bagi muslimah dan seterusnya.
Ketiga, perihal pandangan yang bersangkutan ketika mengungkapkan bahwa yang terpenting dalam mencontoh Nabi itu adalah mengambil substansi ajarannya dan meraih maqashid asy-syar’i (tujuan diberlakukannya syariat), bukan sistem atau formal simboliknya. Ini tentu pandangan batil dan membahayakan. Bagamana tidak, hal tersebut akan mengarahkan umat berpemikiran liberal, asalkan dirasa sudah teraih maqashid asy-syar’i.
Sementara tataran cara, metode, standar dan prinsip peraihannya dikembalikan pada selera masing-masing. Padahal Islam memiliki prinsip bahwa sebuah perkara dikatakan ihsanul ‘amal (perbuatan baik) bukan hanya dilihat dari tujuannya (maqashid) saja, melainkan juga dari sisi tata cara pelaksanaannya. Dimana semua wajib mengikuti apa yang Allah perintahkan dan dicontohkan Nabi-Nya.
Kembali pada pandangan Prof. Mahfud, maka muncul pertanyaan, jika mendirikan negara seperti Nabi itu haram, lantas yang halal apa, Pak?
Bentuk Dukungan pada Sistem Pemerintahan Sekuler Liberal
Sudah sangat jelas, pernyataan Menkopolhukam dan pandangan-pandangan sejenisnya memperlihatkan sebagai bentuk dukungan pada sistem pemerintahan sekuler dan liberal. Mereka beralasan bahwa sistem pemerintah seperti Nabi tidak mungkin diikuti, tidak relevan dengan zaman atau alasan-alasan sejenis lainnya.
Sistem sekuler tentu akan mengarahkan penganutnya untuk berpikir bahwa ranah agama hanyalah ibadah ritual semata. Adapun persoalan dunia, termasuk mendirikan negara dan sistem pemerintahan dikembalikan pada manusia dalam menentukan pilihannya. Jadilah hukum-hukum Allah terkait urusan dunia dipinggirkan.
Adapun pandangan liberal sesungguhnya merupakan pemikiran kufur dimana hari ini sudah benar-benar meracuni umat. Ia telah berhasil mendorong sebagian umat untuk mengedepankan hawa nafsunya dalam menentukan standar kebaikan dan kebenaran, bukan lagi disandarkan pada wahyu Allah.
Mereka pun pada akhirnya terus terkungkung pemikiran sekuler dan liberal. Hingga pada akhirnya secara sadar atau tidak, lambat laun menjelma menjadi pribadi-pribadi penentang ajaran agamanya.
Negara Islam Itu Wajib dan Dibutuhkan Umat
Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka sebagai muslim tentu sebuah hal urgent menyadari kesalahan mendasar pandangan ini. Sekalipun pandangan nyeleneh dan bertabur kebatilan tersebut keluar dari lisan seseorang yang dipandang terhormat di mata masyarakat. Jika batil, maka wajiblah bagi setiap mukmin untuk meluruskannya dan memahamkan pada umat letak kebatilannya. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya amar makruf nahi mungkar, wujud dari kasih sayang antarmukmin.
Semua muslim tentu menghendaki setiap perilaku, perkataan, dan ketetapan Nabi Muhammad saw. menjadi teladan yang wajib diikuti (Al-Qur’an surah Al-Ahzab ayat 21). Termasuk juga dalam perkara mendirikan negara Islam. Itu karena semua yang dicontohkan Rasulullah berasal dari Allah Swt.
Didirikannya negara yang dicontohkan oleh Nabi saw. adalah dalam rangka menjawab perintah Allah Swt. Selain itu, juga sebagai metode baku dalam menegakkan semua syariat-Nya. Al-Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin menjelaskan bahwa agama dan kekuasaan (negara) itu seperti saudara kembar. Agama diibaratkan pondasi sebagai pengokoh bangunan keislaman. Adapun kekuasaan (negara) bertindak sebagai penjaga agar ajaran-Nya dapat ditegakkan sempurna.
Di sisi lain bahwa setiap ajaran-Nya hanya bisa tegak sempurna dengan adanya peran negara. Dimana negara tersebut bukanlah negara sekuler seperti yang saat ini diberlakukan, melainkan negara yang benar-benar dicontohkan oleh uswah dan qudwah umat, yakni Nabi saw, mulai dari bagaimana membangunnya hingga prinsip-prinsip dasar pemerintahannya.
Fakta sejarah membuktikan bahwa negara yang dibentuk Nabi di Madinah itu mampu menyolusikan semua persoalan kehidupan masyarakat yang heterogen. Ditambah maqashid asy-syar’i pun bisa diraih secara gemilang. Tentunya dengan berasas pada hukum-hukum syariat yang kaffah (sempurna). Kemudian sepeninggal Nabi, para Sahabat yang tak diragukan lagi kualitas iman dan takwanya berkumpul di Tsaqifah bani Sa’idah. Mereka berdiskusi terkait perumusan sistem pemerintahan dan pemimpin pengganti setelah Rasul wafat. Cita-cita mereka bulat, menjadikan ajaran yang dibawa Nabi tetap terselengara dan umat terurusi semua urusannya dengan asas syariat semata. Pada akhirnya disepakatilah institusi pengganti itu dinamai khilafah dengan khalifah sebagai pemimpinnya. Inilah ijmak sahabat pertama sesudah Nabi wafat. Kedudukan ijmak sahabat adalah dalil syar’i yang qath’i (kuat), sebagaimana banyaknya pujian Allah yang ditujukan pada para Sahabat. Salah satunya terdapat dalam Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 100, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah ….”
Rasulullah saw. pun memuji para sahabat sebagai generasi terbaik dari umatnya (HR Bukhari Muslim). Bahkan dalam satu hadis beliau ungkapkan, “Wajib atas kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.” (HR.Amhad dan Abu Dawud)
Kesimpulannya bahwa mendirikan negara seperti Nabi itu adalah perkara yang wajib dan sangat dibutuhkan umat.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]