"Semangat pengembangan teknologi dalam kapitalisme, seperti kepemilikan teknologi canggih berbasiskan AI dan IoT dalam bidang militer digunakan untuk memperkukuh arogansi serta meningkatkan daya saing antarnegara."
Oleh. drh. Lailatus Sa'diyah
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Ketua Umum ASIOTI Teguh Prasetya menjelaskan, pengembangan teknologi Artificial Intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT) semakin masif, terutama untuk menunjang industri di masa depan karena dinilai meningkatkan kualitas kontrol dan pendapatan (jpn.com, 02/04/2022).
Lalu bagaimana jika pengembangan industri militer berbasiskan teknologi AI dan IoT? Akankah mewujudkan kemaslahatan umat?
Jadi Perlombaan
Profesor Emiritus bidang AI dan Robotika dari Universitas Sheffield di Inggris, Noel Sharkey menyampaikan, sejak pertengahan tahun 2000, Departemen Pertahanan AS telah menjadi pelopor perlombaan senjata dengan teknologi kecerdasan buatan dengan mengembangkan senjata otonom untuk semua cabang angkatan bersenjata. Begitu juga negara Cina telah mengklaim berhasil mengembangkan senjata otonom. Menurut Menteri Pertahanan AS Mark Esper, Cina sudah mengekspor senjata berbasis AI ke Timur Tengah (okezone.com, 30/03/2022).
Tak mau kalah, Turki dan Rusia pun turut mengembangkan senjata berbasis AI untuk memperkuat persenjataan militernya. Mereka yang telah menggunakannya menyebutkan, senjata otonom penuh mampu memberikan keuntungan militer seperti reaksi yang lebih cepat dan mengurangi adanya paparan langsung terhadap pasukan di medan perang.
Pro dan Kontra
Pengembangan persenjataan menggunakan kecerdasan buatan ini, dikenal sebagai senjata otonom atau autonomous weapon system. Namun, saat ini pengembangan senjata menggunakan AI dan IoT menuai berbagai polemik. Hal ini disebabkan senjata yang memiliki kemampuan Artificial Intelligence dapat bekerja sendiri tanpa perlu dioperasikan manusia, sehingga bisa berdampak sangat mematikan.
Berdasarkan rilis Scientific American, Rabu (30/3/2022), Profesor Emiritus bidang AI dan Robotika dari Universitas Sheffield di Inggris, Noel Sharkey, menegaskan penggunaan senjata otonom merupakan bahaya yang unik bagi umat manusia (okezone.com, 30/03/2022).
Selaras dengan apa yang telah disampaikan Sharkey, beberapa tahun terakhir ini, ribuan ilmuwan dan pimpinan bidang komputasi serta pembelajaran mesin (machine learning), termasuk di dalamnya Deep Mind Google telah memutuskan untuk menghentikan penggunaan senjata otonom penuh ini. Mereka meminta PBB untuk bersikap tegas untuk melarangnya. Karena telah terbukti menimbulkan penderitaan pada pihak yang menjadi sasaran (okezone.com, 30/03/2022).
Ada 30 negara yang telah menuntut larangan langsung atas senjata yang sepenuhnya bersifat otonom. Sebagian besar negara tersebut juga menginginkan adanya peraturan yang jelas berkaitan dengan pengembangan dan penggunaan senjata berbasis AI ini. Namun sayangnya, keinginan ini ditolak oleh beberapa negara seperti AS, Israel, Australia dan Rusia.
Inilah persaingan pengembangan senjata dalam bidang militer, negara-negara yang memiliki ambisi sebagai negara adidaya, akan terus berusaha untuk mengembangkan persenjataan militer guna memperkukuh pengaruhnya di berbagai belahan dunia.
Pengembangan Industri Militer ala Kapitalisme
Sekalipun penerapan AI pada bidang militer telah diprotes dan dilarang di berbagai negara, faktanya Israel tidak mengindahkan larangan tersebut. Hingga kini Israel terus menggelontorkan dana yang besar untuk mengembangkan senjata berbasiskan AI ini. Begitu juga di negara Rusia dan Amerika Serikat, terus memperbarui teknologi berbasiskan AI dan IoT pada bidang militer.
Penggunaan AI dan IoT bisa digunakan untuk mempersiapkan senjata hardware alat utama sistem pertahanan (alutsista) agar memiliki kekuatan yang lebih dahsyat. Selain itu, teknologi AI dan IoT juga diambil dan dikembangkan oleh militer dalam bentuk administrasi dan perangkat lunak. Beberapa contoh penggunaan teknologi AI di bidang militer oleh Israel : untuk perekrutan seleksi tentara baru, penyimpanan administrasi digital, memelihara alutsista, perawatan suku cadang dan untuk memperbaiki kapal selam, sebagai sistem rudal spike LR II AI, kemudian teknologi berbasiskan AI juga digunakan untuk membangun jaringan aliansi perang serta pembuatan sistem kendali Tank Markus Merkava (MK) IV Barak dan Tank Carmel yang kini masih dikembangkan. Rencananya tank berbasiskan teknologi AI ini akan diperkenalkan kecanggihan tank pada dunia di tahun 2022.
Mengikuti kemajuan teknologi dalam bidang militer adalah suatu keniscayaan. Namun, dalam kapitalisme perkembangan teknologi terus dipacu dengan mengabaikan kemaslahatan umat manusia dalam penggunaannya. Hal ini selaras dengan tujuan kapitalisme dalam perang. Yaitu hanya sekadar untuk memperkukuh dan mempertahankan negara jajahan dalam cengkeramannya. Tanpa berpikir kerusakan dan banyaknya korban dari masyarakat sipil yang ditimbulkan akibat perang tersebut.
Misalkan AS, sebagai pengemban ideologi kapitalisme, mendapatkan kemenangan dalam perang adalah salah satu cara ampuh untuk membuat daerah jajahannya bertekuk lutut di hadapannya. Menjadikan pimpinan negara yang kalah sebagai boneka, sehingga mereka bebas menjarah sumber daya alam untuk kepentingannya. Maka, memiliki senjata yang canggih adalah suatu keharusan. Selain itu, semangat pengembangan teknologi dalam kapitalisme, seperti kepemilikan teknologi canggih berbasiskan AI dan IoT dalam bidang militer juga digunakan untuk memperkukuh arogansi serta meningkatkan daya saing antarnegara. Inilah gambaran pemanfaatan teknologi perang dalam kapitalisme, sama sekali bukan untuk mewujudkan kemaslahatan umat secara umum.
Konsep Pemanfaatan Teknologi dalam Bidang Militer Menurut Islam
Lain ideologi, lain pula pandangan atas kehidupan. Untuk mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, maka tidak ada pilihan lain untuk menyebarluaskan penerapan Islam ke seluruh penjuru dunia yaitu dengan dakwah. Jihad adalah salah satu metode dakwah yang dilakukan secara fisik dan militer. Jihad yang dimaksudkan baik defensif maupun ofensif. Jihad atau perang yang dilakukan oleh Khilafah bukanlah dengan tujuan merusak atau menjajah negara tujuan. Namun, justru untuk menghantarkan negara tersebut pada kemuliaan hidup dengan penerapan Islam. Mengubah darul kufur menjadi darul Islam semata-mata untuk meraih rida Allah ta'ala.
Maka kecakapan dalam teknologi pun akan menjadi perhatian khusus khalifah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 60 : "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi, dan dari kuda-kuda yang ditambatkan (untuk persiapan perang) yang dengan itu kalian menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian dan orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya, (tetapi) Allah mengetahuinya". Ayat inilah yang menjadi landasan pengembangan industri militer dalam Khilafah. Di mana industri militer harus senantiasa meningkatkan kecanggihan persenjataan. Namun dalam penggunaannya, harus tetap sesuai hukum syarak yaitu tidak boleh digunakan untuk membunuh warga sipil ataupun merusak alam.
Dalam kitab Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah industri-industri yang berhubungan dengan industri berat dan industri persenjataan, boleh dimiliki individu karena termasuk komoditas kepemilikan individual. Akan tetapi, industri semacam ini memerlukan modal yang sangat besar, sehingga sangat sulit dipenuhi oleh perorangan. Di samping itu, persenjataan seperti ini tidak dikategorikan sebagai senjata perorangan yang dimiliki oleh individu, seperti pada masa Rasulullah dan para khalifah setelahnya. Namun, persenjataan ini adalah milik negara. Negaralah yang harus mengadakan karena merupakan kewajiban negara melakukan pengurusan urusan rakyat. Apalagi dalam kondisi persenjataan mulai berkembang dan semakin canggih serta dampak penggunaannya cenderung menakutkan, ini menjadi tanggung jawab penuh daulah. Atas dasar itu, negara berkewajiban mendirikan pabrik serta industri persenjataan. Namun, jika ada individu yang mampu, diperbolehkan mendirikan industri berat ini. Namun perlu diingat, sekalipun individu yang memiliki industri persenjataan untuk militer, semangat yang tertanam adalah untuk menguatkan eksistensi daulah Islam dan perwujudan ketakwaan kepada Allah ta'ala. Bukan orientasi materi berupa perolehan keuntungan yang besar.
Perhatian pada kemajuan persenjataan perang telah dicontohkan pada masa Rasulullah. Pada saat itu Beliau saw. mengirim sejumlah sahabat untuk berburu ilmu ke Cina. Kemudian mereka pulang dan membawa pengetahuan membuat mesiu. Serbuk mesiu di Cina biasa digunakan untuk membuat kembang api saat perayaan Imlek, yang saat itu belum dikenal di luar Cina.
Kemudian contoh perhatian Khilafah pada persenjataan perang adalah sebagaimana yang dituliskan Ibnu Khaldun, bahwa pada tahun 1274 meriam telah digunakan pada masa Abu Yaqub Yusuf untuk menaklukkan kota Sijilmasa. Namun, penggunaan meriam raksasa pertama kali yaitu saat penaklukan Konstantinopel pada tahun 1453 oleh tentara Muhammad Al-Fatih. Pasukan Muhammad Al-Fatih memiliki meriam dengan diameter 762 mm yang dapat melontarkan peluru batu ataupun mesiu hingga seberat 680 kg.
Inilah gambaran bagaimana teknologi dikembangkan dalam militer di bawah naungan daulah Islam. Tujuannya tidak lain adalah untuk memperkuat persenjataan pasukan militer untuk menjaga dan menyebarluaskan Islam demi mewujudkan kemaslahatan umat.
Wallahu'alam bishowab.[]