"Praktik politik uang akan terus marak dalam sistem politik sekuler yang oportunistik. Hal ini disebabkan karena landasan sistem politiknya jauh dari fondasi agama (sekuler). Sistem politik sekuler melahirkan cara pandang materi (uang) sebagai asas manfaatnya. Segala cara dihalalkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Dengan cara pandangnya itulah, para politikus mereka tidak pernah berpikir cara mengurus urusan umat."
Oleh. Rufaida Aslamiy
NarasiPost.Com-Anggaran biaya penyelenggaraan pemilu 2024 diperkirakan Rp110,4 triliun, masing-masing dialokasikan untuk Bawaslu senilai Rp33,8 triliun dan KPU senilai Rp76,6 triliun (cnbcindonesia.com, 10/04/2022). Kenaikan anggaran dana pemilu 2024 disinyalir menjadi nilai yang paling tinggi jika dibanding tiga pemilu sebelumnya. Kenaikannya mencapai 309 persen (Tempo.co.id, 12 april 2022). Sangat fantastis bukan?
Miris rasanya jika kondisi rakyat yang saat ini masih dirundung banyak kesulitan terutama masalah ekonomi akibat pandemi, sementara pemerintah jor-joran mengeluarkan dana untuk pemilu begitu fantastisnya. Harga-harga sejumlah barang masih terus merangkak naik sejak awal tahun, ditambah regulasi aturan yang justru banyak merugikan masyarakat. Apakah fantastisnya anggaran pemilu ini sesuatu yang bijak?
Sejumlah kalangan pun mengungkap pro kontranya besaran anggaran pemilu ini. Walaupun KPU mengusulkan untuk pemangkasan dari aspek infrastuktur dan APD, tapi ujung-ujungnya disarankan dialihkan ke Kementerian dan lembaga lainnya ataupun bisa dari pemerintah daerah masing-masing. Bukankah ini sama saja, karena hakikatnya tetap memakai dana dari rakyat. Padahal, kalaulah semua sepakat bisa saja upaya pemangkasan anggaran pemilu ini diberlakukan, apalagi dalam era digital seperti sekarang.
Hal ini senada dengan usul dari seorang pakar digital, Anthony Leong, yang mengusulkan jika pemilu mendatang sebetulnya bisa menggunakan sistem e-voting dengan mengoptimalisasi teknologi digitalisasi. Dia menganggap bahwa dengan e-voting pemilu akan lebih singkat waktu pelaksanaannya, cepat dan bisa mencegah terjadinya kecurangan pemilu sejak perhitungan di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Ini pun secara otomatis dapat memangkas biaya cetak surat suara dan pendistribusiannya. (industry.co.id, 27 Maret 2022)
Tampaknya jauh panggang dari api, karena dipastikan akan banyak penentangan, terutama mereka yang diuntungkan dengan besarnya anggaran tersebut. Selalu akan ada deal-deal politik untuk mengesahkan sebuah aturan, tidak terkecuali besarnya anggaran pemilu ini.
Masyarakat Dirundung Kepiluan
KPU berkilah bahwa besaran anggaran pemilu hanya 6 persen dari dana belanja APBN, jadi tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap proses konsolidasi fiskal. (bisnis.com, 10 April 2022) Benarkah demikian?
Saat ini kita masih fokus pada upaya pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi. Tentu setiap kebijakan apa pun akan berimbas terhadap persoalan yang mendera masyarakat. Anggaran pemilu 2024 yang membengkak dibanding pemilu sebelum-sebelumnya, semestinya jadi kajian ulang. Persoalan-persoalan kebangsaan, dari mulai adanya pengangguran, kemiskinan, budaya korup pejabat, kenaikan harga sembako, persoalan pendidikan, hingga kesehatan masih menjadi PR kita bersama saat ini.
Alasan lain bisa meningkatkan kualitas lembaga demokrasi, mewujudkan birokrasi yang netral, menjamin hak-hak politik, kebebasan sipil, pelaksanakan tahapan pemilu yang aman, dan sekaligus bisa menaikkan indeks demokrasi Indonesia, semuanya tampak tidak berkorelasi dengan kondisi masyakat yang lebih sejahtera dan berkeadilan. Pemilu puluhan kali diaksanakan, tapi pemilu justru menghasilkan perilaku pejabat yang korup dan politik tipu-tipu.
Pemilu nyatanya bukan sekadar menipu, ia tidak lebih jadi sekadar kendaraan politik untuk melanggengkan kekuasaan oligarki. Sementara masyarakat tetap dirundung kepiluan dan kehilangan kepercayaan. Inilah harga mahal yang harus ditanggung sistem demokrasi dewasa ini, selain memang boros anggaran, juga minim menghasilkan pemimpin yang amanah dan adil.
Masyarakat Hanya Sebatas Partisipan
Pemilu bagi rakyat tak ubahnya seperti politik kotor, karena tidak lepas dari money politic dan bagi-bagi kekuasaan saja. Pemilu pun hanya sebatas ajang tahunan yang berlaku seperti hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang, siapa yang bisa membeli itu semua, maka dialah pemenangnya. Inilah akibat masyarakat hanya dijadikan sebagai partisipan semata.
Masyarakat sebetulnya sudah mulai muak dengan semua itu. Partisipasi masyarakat dari tahun ke tahun justru mengalami penurunan. Maka, tidak aneh jika angka golput pun selalu tinggi dari waktu ke waktu, seiring penurunan kepercayaan masyarakat terhadap para petinggi negeri ini. Rakyat muak dengan tontonan yang disuguhkan para elite politik bangsa ini. Simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha seolah jadi lagu lama yang terus menyandera rakyat dalam politik kotor mereka.
Walaupun begitu, bisa kita lihat sekarang bahwa pemilu seolah jadi prosesi yang sakral bagi para politisi untuk bisa didaulat menjadi seorang pemimpin dalam sistem demokrasi. Sebagian mereka ada yang sudah merasakan manisnya sukses di pemilihan sebelumnya, ada juga yang masih sebatas bermimpi, mengundi nasib dan peruntungan di agenda pemilu tersebut. Para politisi hitam akhirnya memandang jabatan hanya sebatas ajang mata pencarian mereka. Pemilu adalah saat-saat mencekam yang bisa mengancam pundi-pundi uang bagi mereka yang terlibat di dalamnya. Sementara bagi mereka yang masih nganggur, ajang pemilu layaknya ajang pencarian lowongan pekerjaan. Para pengurus parpol, mereka pun akan sibuk memutar otak mencari strategi jitu untuk bisa memenangkan pemungutan suara dengan cara dan strategi apa pun, termasuk cara licik sekalipun. Para politisi akhirnya akan banyak menggandeng para pengusaha sebagai tim suksesnya.
Sindrom seperti inilah yang akan tampak setiap ada perhelatan akbar yang kita sebut sebagai “Pemilu”. Pemilu menjadi momentum yang paling rawan dan mendorong terbangunnya simbiosis mutualisme antara partai dan para pengusaha (sebagai pemilik modal). Inilah yang lantas melahirkan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme ketika mereka sudah menjabat. Proyek-proyek pembangunan akan jadi sasaran empuk para pengusaha ini. Pola hubungan inilah yang dalam jangka panjang bermetamorfosis menjadi hubungan balas budi dan tagih janji . Tentunya ini akan merugikan masyarakat secara umum.
Money politic (Praktik Politik Uang) adalah Hal Biasa
Praktik politik uang akan terus marak dalam sistem politik sekuler yang oportunistik. Hal ini disebabkan karena landasan sistem politiknya jauh dari fondasi agama (sekuler). Sistem politik sekuler melahirkan cara pandang materi (uang) sebagai asas manfaatnya. Segala cara dihalalkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Dengan cara pandangnya itulah, para politikus mereka tidak pernah berpikir cara mengurus urusan umat. Mereka juga tidak akan pernah hadir di saat umat membutuhkan. Mereka hanya hadir ke hadapan umat saat mereka memiliki kepentingan politiknya. Maka, dari sisi akseptabilitas (penerimaan) dan elektabilitas (keterpilihan) mereka akan rendah.
Selama cara pandang, fondasi, dan standar sistem politik ini sekularisme, maka kultur money politic ini akan dianggap hal biasa dan terus menerus terjadi. Untuk menghentikannya, bukan sekadar reformasi, ganti pemimpin atau ganti parpol, melainkan ganti sistem yakni sistem Islam.
Islam Mampu Menghilangkan Money Politic
Islam memiliki seperangkat kebijakan yang bisa menutup celah pintu adanya money politic. Standar, fondasi, dan cara pandang sekuler harus dibuang jauh-jauh karena jelas menyengsarakan umat. Cara pandang ini harus diganti dengan cara pandang Islam yakni dengan memperhatikan aspek halal-haram. Akidah Islam akan menjadi fondasinya. Setiap individu akan didorong memiliki ketakwaan kepada Allah dalam seluruh aspek kehidupan. Sehingga ada yang namanya kontrol pribadi dalam diri mereka. Begitu pun masyarakatnya akan memiliki kontrol sosial yang tinggi dengan memperhatikan aspek amar makruf dan nahi mungkar bisa tetap berjalan. Sementara negara akan secara tegas memberlakukan hukum terhadap masyarakatnya tanpa pandang bulu.
Islam telah mengharamkan adanya praktik suap, penyuap (ar-rasyi), penerima suap (al-murtasyi), dan perantara/broker (ar-ra’is bainahuma). Islam pula melarang memberikan hadiah kepada penguasa. Dengan begitu, Islam sudah menutup celah berkembangnya praktik politik uang dalam sistem politiknya. Sehingga, tak ada praktik curang dan juga korupsi dalam Islam.
Terkait urusan administrasi dan birokrasi, maka dalam buku Abdul Qadim Zallum yang berjudul Nidzam al-Hukm fi al-Islam (hal.211-213), membeberkan ada tiga prinsip yang akan dijalankan dalam Islam: Pertama, birokrasi yang sederhana (basathah fi an-nidzam); Kedua, cepat proses dan penyelesaiannya (sur’ah fi injaz); Ketiga, ditangani oleh orang yang cakap dan bertakwa. Secara pasti, praktik seperti inilah yang memungkinkan Islam bisa menghapus praktik money politic dalam pelaksanannya.
Butuh Solusi Sistemis
Mekanisme pemilihan dalam sistem demokrasi, khususnya berkaca dari fakta pemilu ini, jelas tidak berkorelasi positif dengan perbaikan kondisi masyarakat. Wacana memperjuangkan nasib rakyat hanyalah lip service tanpa dibarengi implementasi yang nyata.
Sistem demokrasi memang sangat boros dan terbukti tidak mampu menyejahterakan masyarakat. Pemilu hanya bersifat ajang tahunan yang dijadikan sebagai kendaraan politik untuk mencapai kursi kekuasaan dan bisa dijadikan sarana untuk mengumpulkan pundi-pundi uang sebanyak mungkin. Pemimpin dan rakyat tak ubahnya seperti seorang tuan dan majikan. Dimana seorang pemimpin dia harus mendapat service yang bagus, meskipun masyarakat menderita sekali pun.
Memimpikan sebuah sistem yang kondusif dan mampu mewujudkan kemaslahatan hidup bukanlah sesuatu yang utopis. Semua akan bisa terwujud manakala mau kembali kepada aturan yang hakiki yang bersumber dari aturan Allah Swt (Islam). Islam dengan sistem negaranya, Khilafah tidak mengenal pembagian kekuasaan (separating of power), sebagaimana yang dikenalkan Montesque dalam negara demokrasi. Walaupun demikian kekuasaan tetap berada di tangan rakyat, sementara kedaulatan ada pada syarak. Meskipun seorang khalifah dibai’at oleh rakyatnya, namun rakyat bukan majikan bagi khalifah, dan khalifah juga bukan buruh rakyat. Akad antara penguasa dan rakyat bukanlah akad ijarah, melainkan akad untuk memerintah rakyat dengan hukum Allah. Selama khalifah tidak melakukan penyimpangan, maka tidak boleh diberhentikan. Tapi sebaliknya, jika melakukan melakukan penyimpangan maka akan diberhentikan oleh Mahkamah Madzalim bukan oleh rakyat.
Pemilu dalam Islam
Pemilu dalam Islam tidak dijadikan sebagai metode baku dalam mengangkat pemimpin, hanya sekadar uslub saja. Sementara metode bakunya adalah ba’iat. Dalam praktiknya akan mengedepankan prinsip keadilan, transparan, dan tidak boros biaya tentunya. Mengedepankan seluruh potensi untuk uslub sebagai sesuatu yang mubah dan meninggalkan yang wajib jelas suatu yang keliru dan tidak tepat. Semoga kita bisa kembali kepada aturan yang shahih (benar) yang sudah Allah tetapkan buat kita semua termasuk dalam hal memilih pemimpin ini dan secara nyata sudah dipraktikkan selam 13 abad lamanya tanpa melakukan pemborosan biaya dan tidak menjadikan rakyat pilu karenanya, itulah sistem Islam. Wallahu’alam[]