Bersiap, Rusia Luluhlantakkan Jantung Eropa jika Swedia-Finlandia Gabung NATO!

"Secara geopolitik, posisi negara Baltik, Swedia, Finlandia, dan Ukraina ini menjadi ‘pekarangan Rusia’. Sehingga, jika semua negara ini jatuh dalam dekapan NATO yang pro AS maka ibarat memelihara musuh dalam pagar. Cepat atau lambat Rusia akan terkepung dengan dominasi AS."

Oleh. Tsuwaibah al-Aslamiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Kondisi Rusia-Ukraina makin memanas. Konfrontasi keduanya memantik kecemasan negara tetangganya, Swedia dan Finlandia. Tak ayal, meletuslah turbulensi politik tentang konflik negara nonblok militer. Hal tersebut menjadi daya dorong kedua negara itu untuk bergabung dengan NATO. Wacana itu disambut Rusia dengan sebuah ancaman, Eropa bakal diguyur rudal dan bersimbah nuklir jika hal tersebut terealisasi.

Dilansir dari Liputan6.com (17/4/20222), Finlandia dan Swedia mengajukan keanggotaan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Hal tersebut dilakukan sebagai respons dari invasi Rusia kepada Ukraina yang belum juga padam. Mereka takut nasib negeri mereka sama dengan Ukraina. Rusia meradang, bahkan mengancam akan menghujani Eropa dengan rudal.

Lantas, bagaimanakah geopolitik dua negara sekitar Laut Baltik itu? Jika jadi tergabung, siapa pihak yang paling diuntungkan? Bagaimana sikap kaum muslim dan masyarakat Eropa menghadapi situasi ini?

Geopolitik Swedia, Finlandia, dan Laut Baltik

Negara Baltik terdiri dari negara-negara Eropa timur laut yakni Lithuania, Latvia, dan Estonia. Ketiga negara ini berdekatan dengan Pantai Timur Laut Baltik serta memiliki kesamaan dalam sejarah dan warisan kebudayaan, itulah alasannya mengapa dinamakan negara Baltik. Dahulu mereka di bawah kekuasaan Uni Soviet, bahkan populasi orang Rusia pun banyak di kawasan ini. Mereka merupakan anggota Uni Eropa dan NATO. Sedangkan, dua negara tetangga lainnya yakni Swedia dan Finlandia tidak tergabung pada NATO, walau keduanya termasuk Uni Eropa.

Terkait Finlandia, negara ini harus berbagi perbatasan sepanjang 1.300 km dengan Rusia. Negeri seribu danau ini merdeka pada 1917 dan pernah terjun ke medan perang melawan Rusia dalam Perang Dunia II. Konsekuensinya Finlandia harus merelakan beberapa wilayahnya kepada negeri Beruang Merah itu. Terkait hubungannya dengan AS dan NATO, mereka sudah lama menjalin kerja sama sesuai dengan Pasal Lima.

Sementara itu, Swedia tidak harus berbagi perbatasan dengan Rusia sebagaimana Finlandia, namun sengketa pulau strategis Gottland yang dimiliki Swedia di Laut Baltik ini dapat menyeret negeri Viking ini pada kenestapaan jika konflik sampai meletus. Perlu diketahui, Swedia pernah absen dari peperangan selama 200 tahun. Negara ini hanya fokus mengeksekusi kebijakan luar negerinya yakni menancapkan demokrasi dan perlucutan senjata nuklir.

Secara geopolitik, posisi negara Baltik, Swedia, Finlandia, dan Ukraina ini menjadi ‘pekarangan Rusia’. Sehingga, jika semua negara ini jatuh dalam dekapan NATO yang pro AS maka ibarat memelihara musuh dalam pagar. Cepat atau lambat Rusia akan terkepung dengan dominasi AS.

Menyingkap Wajah Asli NATO

NATO (North Atlantic Treaty Organization) atau Pakta Pertahanan Atlantik Utara merupakan suatu organisasi aliansi militer antarnegara yakni 2 negara dari Amerika Utara, 27 negara Eropa, dan 1 negara Eurasia yang bertujuan untuk menjaga keamanan bersama. Pakta ini berdiri pasca-Perang Dunia II pada 4 April 1949 sebagai bentuk dukungan terhadap Persetujuan Atlantik Utara yang ditandatangani di Washington DC, AS. Saat itu terjadi persaingan antara Blok Barat dengan Uni Soviet, sementara kondisi militer Barat dalam kondisi lemah. Untuk mengantisipasi serangan dari Uni Soviet maka Barat menghimpun kekuatan militer dengan membentuk NATO.

Seiring waktu, mulai terkuak wajah asli NATO, ternyata bukan sekadar ingin melindungi negara anggotanya dari serangan militer. Namun, ada permainan aktor penting di baliknya, yakni AS. Bila kita amati berjalannya isu internasional, ternyata AS menjadikan NATO sebagai alat intervensi, berlagak bak preman yang menjaga kawasan pasar AS. Oleh karena itu, AS dapat dengan mudah mengendalikan harga bahan baku (sumber daya alam) dan harga produk industri sejalan dengan politik ekonomi AS, yakni melakukan eksploitasi besar-besaran untuk mengeruk sumber daya alam negeri jajahan, menjadikannya sumber bahan baku sekaligus pasar produk industri AS. Jika sudah begitu, lantas siapakah pihak yang memiliki otoritas dalam mengendalikan harga dengan jaminan keamanan dari NATO? Tentu saja, AS dalangnya.

Bukan hanya itu, sejatinya keberadaan NATO ini bukan semata mewaspadai Uni Soviet dan menjadi eksekutor kebijakan imperialisme AS, bahkan Islam pun dijadikan sasaran empuk. Kapitalisme yang diadopsi AS, merasa terancam dengan keberadaan Sosialisme (Rusia dan Cina) dan Islam.

Ambisi AS untuk meluluhlantakkan Uni Soviet dan mencengkeram semua negara eks Uni Soviet belum padam. Rusia, menjadi saingan terberat di kawasan ini. Rusia telah berulang kali mengatakan ekspansi NATO itu bagai duri baginya, sementara NATO bersikeras mempertahankan aliansi itu sebagai bentuk defensif.

Invasi Rusia kepada Ukraina masih berlangsung, hal tersebut dipicu keputusan Ukraina menjalin ‘hubungan terlarang' bahkan dipinang menjadi anggota NATO. Kini, menyusul Swedia dan Finlandia melakukan hal serupa. Maka, bukan tidak mungkin Rusia akan meledakkan kawasan Baltik sebagai jantung Eropa. Pasalnya, Rusia telah menanamkan senjata nuklir dan rudal hipersonik di Kaliningrad (sebuah wilayah enclave Rusia di antara Polandia dengan Lithuania). Banyak pihak memprediksi ini bakal jadi pemicu meletusnya Perang Dunia III (nextren.grid.id, 15/4/2022).

Penting diketahui, bahwa Rusia memang unggul dalam militer bahkan menguasai persenjataan hulu ledak nuklir terbesar di dunia. Di dunia ini, setidaknya ada tiga negara yakni AS, Rusia, dan Cina yang menjadi pemimpin global dalam teknologi rudal hipersonik.

Siapa yang Diuntungkan?

Turbulensi politik militer global ini ibarat the game of nation alias permainan negara-negara besar. Lantas, siapa yang tega memainkannya demi meraup keuntungan besar? Tentu saja sang negara adidaya Barat. AS sengaja memelihara konflik demi mempertahankan eksistensinya.

AS sengaja membangun opini bahwa Rusia merupakan ancaman dunia khususnya negara-negara Eropa. Hal ini demi mengisolasi Rusia dari dunia internasional dan mengintervensinya dengan sejumlah sanksi ekonomi. Kemudian dipasanglah NATO sebagai ‘juru selamat’, hal ini dilakukan demi mengukuhkan eksistensi dan legitimasi NATO (baca: AS) sebagai payung keamanan Eropa. Bahkan, strategi ini bukan hanya dilancarkan di Eropa, tetapi kawasan Timur Tengah, semenanjung Korea, konflik perbatasan Filipina-Malaysia dan negeri muslim lainnya.

AS sengaja menciptakan ketegangan di kawasan Baltik untuk melemahkan Rusia dan negara-negara di kawasan itu. Hal itu dilakukan AS demi memudahkan penetrasi wilayah dan mengintensifkan pengaruhnya di negara-negara eks Uni Soviet. AS juga akan terus mengibaskan api konfrontasi militer agar tercipta market senjata. AS siap menjual senjata kepada siapa pun yang hendak melawan Rusia.

NATO (baca: AS) tidak sungguh-sungguh mencintai Ukraina, Swedia, maupun Finlandia. Tawarannya untuk meminang mereka masuk ke dalam Pakta ini dan komitmen untuk menjadi satu tubuh hanya manuver gimmick demi memuluskan kepentingan AS semata. Ketiga negara ini tidak selayaknya bergabung dengan NATO ataupun sekadar menjadi mitra koalisi strategis NATO. Sebab, dapat dipastikan mereka akan diperalat AS untuk mengontrol negara-negara kawasan demi memeloroti kekuasaan Rusia atas negara-negara kawasan eks Uni Soviet.

Ideologi kapitalisme memang rusak dan merusak. Kerakusan ideologi inilah yang menyebabkan pecahnya perang di berbagai belahan dunia dan menyayatkan nestapa bagi umat manusia. Ambisinya terus membuncah hingga titik darah penghabisan.

Namun demikian, jangan dikira Rusia adalah korban dan pihak yang terzalimi. Bahkan, Rusia pun memiliki track record kelam terkait kemanusiaan, keserakahan, dan pembantaian pada kaum muslim. Walaupun AS dan Rusia saling berkonfrontasi, namun ada masanya mereka justru bergandengan tangan dalam melibas musuh bersama mereka, yakni Islam.

Belum hilang dari ingatan kita, bagaimana AS dan Rusia berkolaborasi dalam mendukung rezim Syiah Nushairiyah Bashar Assad untuk meluluhlantakan kaum muslim di sana. AS datang bak polisi dunia, melegitimasi genosida dengan dalih terorisme. Lalu Rusia datang lengkap dengan pasukan militer dan jet tempur guna membumihanguskan kaum muslim di negara yang dijuluki sekeping surga di tanah Arab itu.

Keberpihakan Kaum Muslim

Kaum muslim tidak sepantasnya berpihak pada kubu mana pun, baik itu Rusia, NATO, ataupun AS. Sebab, ketiganya sama-sama negara kafir imperialisme yang sepanjang sejarahnya terus mengintensifkan gempuran kepada kaum muslim. Mereka tak layak dibela. Sebaliknya, kita harus sekuat tenaga menghadirkan kembali perisai umat yakni Khilafah Islamiah.

Saatnya kaum muslim bersinergi untuk menentukan nuktoh irtikaz (titik sentral) bagi kelahiran Khilafah. Sebab, dengan hadirnya Khilafah, kaum muslim akan mampu menyempurnakan keimanannya dengan menerapkan seluruhnya syariat Islam dalam kancah kehidupannya. Bukan hanya itu, ukhuwah Islamiyah pun akan kembali terajut dan bersiap untuk menjalankan misi penting ke luar yakni mengemban dakwah dan jihad ke seluruh penjuru dunia.

Sungguh, inilah yang akan mampu mengantarkan Islam dan kaum muslim pada puncak kegemilangan, menjadi negara adidaya sekaligus kiblat dunia. Sebagaimana dahulu kekhilafahan Islam pernah berjaya selama 13 abad lamanya. Usia yang terbilang lama, untuk ukuran ideologi dengan wilayah yang besar. Bayangkan saja kekuasaannya melingkupi dua pertiga dunia yakni seluruh hamparan Timur Tengah, sebagian Afrika dan Asia Tengah, kawasan sebelah timur hingga Cina, kawasan sebelah barat hingga Andalusia (Spanyol), Prancis bagian selatan, serta Eropa Timur (Hungaria, Albania, Serbia, Yunani, Beograd, Bulgaria, dan semua kepulauan di Laut Tengah).

Eropa dalam Dekapan Khilafah

Eropa pra-Islam diselimuti kegelapan, kebodohan, dan tirani penguasanya. Namun, seiring dengan masuknya Islam ke benua Biru ini kondisinya perlahan berubah. Futtuhat (pembebasan) yang dilakukan Khilafah atas Persia pada abad ke-7 menjadi jalan pembuka bagi perkembangan Islam di benua Eropa. Pada tahun 711 M terjadi gelombang besar pertama masuknya Islam ke Eropa, setelah pembebasan Semenanjung Iberia, Andalusia oleh Thariq bin Ziyad pada masa Khalifah Walid bin Abdul Malik. Setelah peristiwa bersejarah itu, peradaban Islam berkembang pesat di wilayah Spanyol di bawah pemerintahan Dinasti Umayyah.

Keberadaan Islam dan Khilafah di Eropa menjadi pemantik perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan di sana. Bahkan, Eropa pernah menjadi pusat peradaban dunia dan mencapai puncak kegemilangan. Pun menjadi negara yang disegani dunia. Kesejahteraan, keamanan, kesehatan, kedamaian, dan melejitnya pendidikan dengan munculnya para ilmuwan Islam sebagai peletak dasar ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi gambaran betapa mapan dan bahagianya Eropa dalam naungan Khilafah Islamiah.

Sungguh mengejutkan testimoni dari seorang mantan presiden AS, Barrack Obama terkait sumbangsih peradaban Islam terhadap dunia. Pada 5 Juli 2009, dia menyatakan, “Peradaban berutang besar pada Islam. Islamlah-di tempat seperti Universitas Al-Azhar- yang mengusung lentera ilmu selama berabad-abad serta membuka jalan bagi era Kebangkitan Kembali dan era Pencerahan di Eropa.” (Republika.co.id, 20/06/2009).

Lebih dari itu, sejarawan Barat W.E. Hocking pernah berkomentar, “Sungguh dapat dikatakan bahwa hingga pertengahan abad ke-13 (yakni sepanjang era kekhilafahan Islam) Islamlah pembawa segala apa yang tumbuh yang dapat dibanggakan oleh dunia Barat." (The Spirit of World Politics, 1932, hlm. 461).

Inilah bukti yang tak terbantahkan bahwasanya Khilafah mampu memancarkan cahaya Islam dan mempersembahkan kehidupan terbaik, mulia, dan penuh berkah bagi semesta alam. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. Al-A’raf ayat 96, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.”

Khatimah

Jelas sudah bahwa tegaknya Khilafah menjadi kewajiban dari Allah Swt. sekaligus kebutuhan umat manusia, bukan terbatas bagi muslim saja tapi juga nonmuslim. Imperialisme yang dilancarkan negara adidaya sang pengemban kapitalisme akan sirna, bahkan dienyahkan dari muka bumi ini. Berganti dengan terang benderangnya cahaya Islam yang menyinari peradaban manusia. Jadi, bagi siapa pun yang mendambakan kehidupan yang lebih baik dari sekarang, mari kita bersama-sama rapatkan barisan berjuang demi tegaknya Khilafah Islamiah. Allahu Akbar! Wallahu a’lam bi ash-shawwab. []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Tsuwaibah Al-Aslamiyah Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Kapitalisme Gagal Menjegal Pembegal
Next
Kesempurnaan Din Islam
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram