"Penyelesaian masalah minyak goreng ini tak boleh berhenti pada penangkapan 4 orang tersangka saja, terus cari dalang di balik kekisruhan ini, dan ‘sapu bersih’ para pengkhianat dari kalangan penguasa. Tak lupa ganti sistem yang cacat ini dengan sistem penuh rahmat."
Oleh. Tsuwaibah Al-Aslamiyah
(Wakil RedPel NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Terciduk! Publik akhirnya tahu siapa pihak yang bertanggung jawab terhadap kelangkaan dan mahalnya minyak goreng di negeri kaya sawit ini. Namun, jangan senang dulu sebab penangkapan itu tak secara otomatis menurunkan harga minyak goreng. Diduga, masih ada kekuatan oligarki di dalam lingkaran istana yang belum terungkap. Belum lagi persoalan sistem saat ini yang menjadi akar masalah dari persoalan multidimensi yang merundung ibu pertiwi.
Dilansir dari Katadata.com (20/4/2022) bahwa Kejagung telah menetapkan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen PLN Kemendag) Indrasari Wisnu Wardhana sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya yakni minyak goreng selama Januari 2021-Maret 2022.
Persoalan minyak goreng ini memang tak bisa dianggap sepele, masyarakat sudah terlanjur terkuras uang, waktu, tenaga bahkan nyawanya demi memenuhi kebutuhan harian ini. Tega nian, penguasa yang seharusnya melayani rakyat justru berkhianat. Lancarkan urusan korporasi, namun bikin rakyat pucat pasi hingga mati.
Lantas, siapa saja aktor di balik kasus minyak goreng ini? Betulkah penguasa negeri ini mengidap narcissictic megalomania? Solusi apa yang paling jitu atasi krisis minyak goreng ini?
Permainan Oligarki
Selain Indrasari, ada tiga tersangka lain dari pihak swasta yakni Stanley MA selaku Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau; Master Parulian Tumanggor selaku Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia; dan Togar Sitanggang selaku General Manager PT Musim Mas.
Para tersangka melakukan pelanggaran hukum dengan melakukan kongkalikong agar penerbitan izin PE CPO bisa keluar, tanpa perlu memenuhi syarat aturan pemerintah. Kemudian menjual produk dengan harga yang tidak sesuai dengan harga penjualan di dalam negeri. Selain itu, tidak mendistribusikan minyak goreng ke dalam negeri sebesar 20% dari total ekspor sebagaimana kewajiban dalam Domestic Market Obligation (DMO).
Nahas, pelanggaran itu mengakibatkan timbulnya kerugian pada perekonomian negara dan menyulitkan kehidupan rakyat, yakni mahal dan langkanya minyak goreng. Sehingga, terjadi penurunan konsumsi rumah tangga dan industri kecil yang mengandalkan minyak goreng.
Kasus mafia minyak goreng ini mendapat sorotan dari Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi). Sekjen Ikappi Reynaldi menilai kasus ini ibarat fenomena ‘maling teriak maling’. Masih lekat dalam ingatan saat RDP (Rapat Dengar Pendapat) Mendag Muhammad Lutfi menyatakan ada dugaan mafia minyak goreng, namun faktanya sang maling itu adalah anak buahnya sendiri. Institusi Kemendag tercoreng akibat ulah tangan mereka sendiri (Suara.com, 20/4/2022).
Tuntutan lanjutan dari publik bergulir, apakah mungkin ‘sang menteri’ tidak tersangkut bahkan tidak tahu menahu terkait aksi mafia ini? Direktur Gerakan Perubahan Musim Abi pun mulai menyoroti keterlibatan Menteri Marves Luhut Binsar Panjaitan dan Kaesang. Pasalnya, keduanya memiliki kedekatan dengan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor.
Sebagaimana dimaklumi, Bos Wilmar ini menjadi sponsor klub sepak bola Persis Solo milik Kaesang Pangarep. Diduga aliran dananya berasal dari dana KKN. Ini pun perlu diusut. Tak hanya dekat dengan putra penguasa negeri ini, tersangka disinyalir ada hubungan erat dengan Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Masyarakat mengendus ini dari foto yang sempat viral di media sosial. Diduga kuat menjadi bukti riil praktik KKN antara keluarga Jokowi, LBP, dan pihak swasta (Wartaekonomi.co.id, 23/4/2022).
Semestinya, mereka semua yang terlibat dalam kasus ini ikut diperiksa Kejagung beserta Kepolisian, tanpa terkecuali. Sebagai bentuk keadilan pada masyarakat. Khususnya bagi ibu-ibu yang sempat diduga melakukan panic buying (penimbunan) dan sindiran-sindiran lainnya, faktanya justru bapak-bapak penguasa dan pengusaha pelakunya. Miris.
Masyarakat berharap para mafia minyak goreng ini dipeloroti dan disita hartanya sebagaimana para crazy rich diadili. Publik sudah jengah menyaksikan para konglomerat yang menguasai pasar kerap kali tak tersentuh hukum. Justru pedagang kecil dan warga yang sering dirazia dan dijatuhi sanksi hukum.
Narcissictic Megalomania
Menarik sekali pernyataan dari Ketua Majelis Syuro Partai Ummat Amien Rais, melihat problematik negara yang semakin rumit serta pengkhianatan penguasa terhadap rakyatnya, beliau menilai para penguasa negeri ini telah mengidap narcissictic megalomania. Indikatornya adalah lenyapnya sense of crisis, sense of urgency, dan sense of reality. Sehingga, mereka berperilaku ugal-ugalan, eksesif, dan ekstremis (Wartaekonomi.co.id, 19/4/2022).
Apa itu narcissictic megalomania? Istilah ini disematkan atas suatu gangguan kejiwaan yang ditandai dengan fantasi haus kekuasaan. Megalomania atau narsisme, ini menjadi penyakit jiwa yang cukup mewabah di negeri ini, bukan hanya menimpa masyarakat biasa tapi juga penguasa.
Ahli klinis, Steve Bressert menjelaskan bahwa orang yang menginap penyakit jiwa ini memiliki gejala sebagai berikut, yakni mempunyai kekaguman yang luar biasa pada dirinya sendiri, walhasil lebih mengutamakan kepentingan pribadi di atas segalanya; minim empati pada orang lain; fantasi kekuasaan yang tak terbatas; sombong dan iri melihat prestasi orang lain; cenderung mengeksploitasi orang lain (Egindo.com, 19/3/2021).
Jika seorang individu mengidap megalomania, dia akan merusak pola interaksi dengan orang lain di lingkungannya. Namun, jika penguasa yang mengidap megalomania, sangat berbahaya! Sebab, spektrum daya rusaknya luar biasa. Interaksi antara penguasa dan rakyat akan terguncang dan persoalan semakin meruncing.
Pasalnya, meski penguasa dinilai publik tidak becus mengurus rakyat dan negara, bahkan rakyat tak lagi menghendaki kepemimpinannya berlanjut. Namun, penguasa ini tetap kukuh mempertahankan kekuasaannya dan berlagak tak berdosa. Alih-alih berintrospeksi dan memperbaiki kinerja, yang ada justru mencari 1001 cara untuk melanggengkan kekuasaan.
Penguasa Berkhianat, Sistem Cacat
Akar persoalan negeri ini bukan terletak pada penguasanya semata. Namun, pada sistem yang melahirkan berbagai kebijakan yang dijalankan penguasa. Diakui atau tidak, negeri ini telah mendekap kapitalisme sebagai sistem kehidupan termasuk bermasyarakat dan bernegara.
Persekongkolan antara penguasa dan pengusaha menjadi suatu hal yang lumrah dalam pemerintahan korporatokrasi yang bernapaskan oligarki. Inilah wujud lain dari kapitalisme. Kondisi di mana pemerintah tak lagi menjadi pelayan terbaik bagi rakyat (memenuhi kebutuhan publik), tapi justru mencari celah untuk meraup untung walaupun harus menzalimi rakyat.
Polemik minyak goreng sudah cukup lama terjadi, namun mengapa ditangani dengan sangat lambat? Kembali, rakyat yang jadi korban sekaligus objek penderita.
Tak lama setelah penangkapan para mafia, Presiden Jokowi mengumumkan bahwa sejak Kamis (28/4/2022) pemerintah akan melakukan pelarangan ekspor CPO dan minyak goreng. Hal ini dilakukan agar harga minyak kembali stabil dan suplai melimpah (Cnnindonesia.com, 23/4/2022).
Namun, apakah penangkapan dan kebijakan ini efektif dalam menurunkan harga minyak dan membuat suplainya berlimpah? Sepertinya akan sulit, mengingat negara korporatokrasi tidak akan membiarkan negara berdikari, jeratan korporasi terus membelit kaki dan tangan penguasa saat ini.
Oleh karena itu, akar persoalan minyak goreng ini sebenarnya perihal pemerintah yang telah lama membiarkan proses produksi hingga distribusi komoditas apa pun diserahkan pada pihak swasta. Tak ada lagi prinsip pelayanan tulus bagi masyarakat dari pemerintah, yang ada justru berlomba-lomba dalam mencari cuan.
Bayangkan saja, mafia yang ditangkap baru-baru ini adalah korporat swasta yang menguasai 46% pasar minyak goreng. Inilah salah satu bukti pengelolaan kebutuhan rakyat tidak lagi dikelola negara secara mandiri. Negara tak bertaji di hadapan korporasi. Inilah konsekuensi dari negara yang berparadigma sekuler kapitalistik, negara seolah lepas tangan dan malah berbisnis dengan rakyat.
Oleh karena itu, penyelesaian masalah minyak goreng ini tak boleh berhenti pada penangkapan 4 orang tersangka saja, terus cari dalang di balik kekisruhan ini, dan ‘sapu bersih’ para pengkhianat dari kalangan penguasa. Tak lupa ganti sistem yang melahirkan berbagai kebijakan zalim yang kontra rakyat ini dengan sistem buatan Allah yang menghadirkan kebijakan adil dan membawa rahmat.
Khilafah Libas Pengkhianat Hadirkan Rahmat
Sungguh, Islam bukan sekadar agama tapi juga ideologi. Akidah Islam memancarkan aturan paripurna, selalu prima diterapkan dalam berbagai masa dan suasana. Pemimpinnya pun tergolong penguasa yang amanah, adil, dan sangat besar rasa takutnya pada Sang Penggenggam Semesta. Sistem pemerintahan yang sejalan dengan aturan Islam ini dinamakan Khilafah.
Islam piawai menata urusan perdagangan, pun menjamin ketersediaan kebutuhan pokok khalayak ramai. Khilafah bertanggung jawab atas pengelolaannya, mulai dari produksi hingga distribusinya ke seluruh masyarakat.
Tak ada ruang bagi praktik kecurangan semisal mengurangi kadar timbangan, menipu konsumen, dan memonopoli harga. Termasuk juga melakukan penimbunan pada komoditas yang dibutuhkan masyarakat agar harganya melesat, dengan tujuan meraup untung besar bagi produsen dan pedagang.
Begitu pula dengan praktik kartel (monopoli pasar) yang hanya menguntungkan korporasi, mereka dengan seenaknya mempermainkan harga. Sementara itu, rakyat tak berdaya dan terpaksa membeli dari mereka. Jelas saja, ini sebuah kezaliman hakiki. Oleh karena itu, Islam dengan tegas mengharamkan kartel. Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang memengaruhi harga bahan makanan kaum muslim sehingga menjadi mahal, merupakan hak Allah untuk menempatkan dirinya ke dalam tempat yang besar di neraka nanti pada hari kiamat (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Dalam kondisi seperti ini, negara harus bersikap tegas, berani memberantas praktik kartel hingga ke akarnya. Jika terbukti ada yang melanggar, maka Khilafah akan menjatuhkan sanksi berat berupa ta'zir, kemudian dipaksa untuk menawarkan dan menjual barangnya kepada para konsumen dengan harga pasar (dalam kondisi normal), bahkan selanjutnya boleh saja Khilafah melarang mereka untuk berdagang dalam jangka waktu tertentu. Ini hukuman yang pantas bagi korporasi atau pedagang besar, balasan atas kezaliman yang telah mereka perbuat.
Begitu pula dengan penguasa yang berkhianat, akan diberi hukuman berat. Rasulullah saw. bersabda, "Khianat terbesar adalah bila seorang penguasa memperdagangkan rakyatnya" (HR. At-Tabrani).
Berkaitan dengan ekspor, Khilafah tidak akan gegabah menggelontorkan komoditas ke luar negeri, sementara masyarakat dalam negeri masih kekurangan. Khilafah akan memprioritaskan kebutuhan dalam negeri. Bahkan, semua kebijakan yang akan menimbulkan kemudaratan bagi rakyat akan dienyahkan. Sebab, hal itu termasuk kemungkaran yang nyata. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan yang membahayakan orang lain” (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daraquthni).
Khatimah
Kisah penangkapan mafia minyak goreng ini bukan akhir dari cerita kenestapaan rakyat. Sebab, dalam gurita kapitalisme tidak secara otomatis hal tersebut akan menstabilkan harga dan mengubah nasib rakyat jadi lebih baik. Hanya Khilafah yang bernyali untuk memberangus kartel dan para pengkhianat dari kalangan penguasa oligarki. Khilafah merupakan masa depan umat Islam dan dunia yang sangat dirindukan kehadirannya. Oleh karena itu, mari kita berjuang untuk menyongsong tegaknya kembali Khilafah wa’dullah.
Wallahu’alam bi ash-shawwab.[]