"Kebolehan mudik lebaran dengan prasyarat yang diungkapkan pemerintah tentu memberatkan. Selain itu, ada rasa ketidakadilan dalam kebijakan yang diberlakukan bagi kaum muslim yang hendak silaturahmi ke kampung halaman."
Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Tradisi yang identik dengan lebaran Idul Fitri adalah tradisi mudik. Kaum muslim perantau ataupun yang tinggal di luar kota akan pulang kampung, bersilaturahmi ke sanak keluarga di kampung halaman. Namun, kebijakan mudik lebaran dibatasi dan dibuat regulasi yang ketat tersebab negeri ini diselimuti pandemi. Kebijakan pelarangan mudik ataupun pengetatan aturan mudik di tanggal tertentu dilakukan demi memutus rantai penyebaran virus corona.
Sebuah Balada
Syahdan, di tahun ketiga pandemi, negeri ini telah banyak melakukan perhelatan akbar, bahkan ajang MotoGP berkelas internasional juga telah digelar tanpa aturan yang ketat dalam situasi pandemi yang belum sepenuhnya pergi. Kini mencuat wacana kebolehan mudik lebaran, tentu menjadi kabar gembira bagi kaum muslim di seluruh pelosok nusantara. Bayangan mudik yang merupakan tradisi penuh kebaikan ini akan dilakoni dengan senang hati.
Namun, wacana kebolehan terkait mudik membuat masyarakat menggantung ribuan pertanyaan. Sebab, di tengah lampu hijau kebolehan mudik, balada kebijakan mengalun di setiap benak masyarakat. Sejumlah syarat agar masyarakat bisa mudik telah diumumkan oleh pemerintah. Salah satu syaratnya mewajibkan para pemudik telah merampungkan dua dosis vaksin Covid-19 dan booster.
Masyarakat yang hendak mudik dan telah merampungkan dua dosis vaksin Covid-19 plus booster, maka mereka bebas hambatan untuk melaksanakan mudik. Jika mereka hanya vaksin dua dosis, maka harus melampirkan hasil negatif rapid antigen. Sementara bagi masyarakat yang hanya hanya vaksin satu dosis, maka mereka harus melampirkan hasil negatif tes PCR. Prasyarat ini menuai protes masyarakat. Sebab, pemerintah telah menghapus syarat negatif Covid-19 melalui PCR maupun rapid test antigen bagi Pelaku Perjalanan Dalam Negeri (PPDN). Hal itu diberlakukan sejak 8 Maret 2022 (CNNIndonesia.com, 26/3/2022).
Balada kebijakan mudik lebaran ini seakan menjadi sebuah inkonsistensi kebijakan yang diwacanakan. Segenap alasan bahwa pergerakan mudik akan memobilisasi massa yang besar bisa memicu risiko tinggi pada kasus Covid-19. Lantas vaksin booster dijadikan syarat dan dianggap akan mengurangi sebaran virus corona ini.
Hawa pandemi seolah telah sepenuhnya pergi dari negeri ini setelah pernyataan dihapusnya syarat negatif tes PCR ataupun rapid tes antigen bagi pelaku perjalanan dalam negeri. Terlebih, penegakan protokol kesehatan seperti penggunaan masker, menjaga jarak, ataupun menghindari kerumunan telah banyak ditinggalkan masyarakat. Fenomena itu dibiarkan tanpa sanksi tegas dari pemerintah ataupun Satgas Covid-19. Masih segar dalam ingatan bagaimana berkumpulnya masyarakat saat imlek atau saat antre minyak goreng. Banyak atau sedikit jumlah kerumunan itu, tetap protokol kesehatan telah dilanggar.
Kebolehan mudik lebaran dengan prasyarat yang diungkapkan pemerintah tentu memberatkan. Selain itu, ada rasa ketidakadilan dalam kebijakan yang diberlakukan bagi kaum muslim yang hendak silaturahmi ke kampung halaman. Sungguh, balada kebijakan mudik lebaran semakin membuat masyarakat kehilangan rasa percaya pada pemangku kebijakan.
Inkonsistensi pernyataan ataupun kebijakan yang terlontar adalah hal wajar terjadi dalam sistem kapitalisme saat ini. Meski ada dalih demi mobilitas yang kondusif dan tidak terjadi sebaran Covid-19, tetap saja sistem ini menggiring negara untuk melepas perlindungan mudik bagi masyarakat, khususnya bagi kaum muslim yang merayakan lebaran dan melakukan mudik. Jaminan kesehatan dan keamanan yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah terhadap rakyat seakan ditinggalkan agar tak menambah beban negara.
Pastinya tes PCR ataupun rapid antigen tidaklah gratis saat masyarakat hendak mudik. Meski murah, hal itu akan menjadi ladang bisnis bagi para pemilik modal di tengah mobilitas masyarakat yang tinggi. Alasan mengurangi risiko seakan tampak sebagai tameng dari upaya kaum kapital dalam meraup keuntungan, apalagi kaum muslim adalah penduduk mayoritas di negeri ini. Jumlah keuntungan yang tak sedikit jika pagelaran tes PCR dan rapid antigen diburu oleh masyarakat yang belum dosis lengkap plus booster.
Solusi Mudik di Tengah Wabah yang Melanda
Kapitalisme akan terus mendorong pemerintah membuat kebijakan yang kadang inkonsisten demi meraih keuntungan materi. Padahal, jika memang wabah masih melanda, seharusnya pemerintah menahan dulu adanya mobilisasi masyarakat, apa pun itu tanpa syarat tertentu. Namun, lockdown wilayah total adalah hal yang tak mungkin dilakukan oleh pandangan kapitalisme. Buktinya banyak masyarakat dalam dan luar negeri yang mondar-mandir di tengah pandemi.
Padahal, sebagai penguasa muslim harusnya mampu melihat dengan jernih solusi yang tepat dan akurat dalam menangani pandemi. Selain protokol kesehatan, vaksinasi, dan pengadaan alat kesehatan yang memadai, negara seharusnya melakukan karantina wilayah total demi memutus sebaran wabah sehingga tidak berkepanjangan. Memisahkan yang sakit dan yang sehat sedari awal gejala harus dilakukan. Segala pemenuhan kebutuhan mereka dijamin oleh negara secara gratis.
Hal itu pernah dilakukan oleh Rasulullah saat terjadi wabah. Sebuah hadis riwayat Imam Bukhari menjelaskan,"Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu."
Karantina wilayah total juga pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Islam memiliki mekanisme yang tepat dan solutif dalam memutus mata rantai sebaran wabah hanya dengan lockdown total. Segala kebutuhan kesehatan dan pangan akan dijamin oleh negara. Rakyat yang terdampak wabah tak akan dibiarkan menderita dalam intaian penyakit dan tak akan dibiarkan mati kelaparan.
Masyarakat yang terdampak wabah harus bersabar tidak melakukan interaksi dengan kolega ataupun keluarga yang tidak terdampak wabah sampai wabahnya benar-benar reda. Masyarakat juga harus bersabar untuk mudik bersua keluarga tercinta sampai wabah benar-benar hilang dari wilayah terdampak. Islam akan mendorong negara dan masyarakat saling bersinergi menjaga diri dan tetap melaksanakan karantina total sebagai konsekuensi keimanan. Perkara nyawa sangatlah dijaga oleh Islam. Pemimpinlah yang harus amanah dan menerapkan tata laksana mekanisme penanganan wabah sesuai syariat Islam.
Namun, mekanisme penerapan karantina wilayah total jauh panggang dari api. Asas manfaat dengan proyeksi perolehan keuntungan materi akan membuka celah bagi pemodal dan penguasa yang memiliki ambisi untuk menjadikan bidang kesehatan sebagai gurita bisnisnya. Sungguh, saatnya kaum muslim, terutama penguasa muslim mencampakkan sistem kapitalisme dari kehidupan lalu kembali pada aturan Islam.
Wallahu a'lam.[]