"Aksi mahasiswa patut diapresiasi, meski demikian tuntutan para mahasiswa perlu untuk dianalisis apakah persoalan selesai ketika semua tuntutan dipenuhi. Atau mungkinkah pergantian kepemimpinan bisa menjadi jaminan kehidupan yang lebih baik? Mahasiswa seharusnya tidak berhenti pada tuntutan penundaan pemilu dan revisi UU IKN, atau pergantian presiden, tetapi lebih mengakar pada membongkar kebobrokan sistem politik demokrasi."
Oleh. Novianti
NarasiPost.Com-Setelah sekian lama gerakan mahasiswa tidak terdengar, akhirnya para calon pemimpin masa depan ini bersuara. Tanggal 11 April 2022, Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia atau BEM SI 2022 melakukan aksi demo menggeruduk rumah rakyat di kompleks DPR, Senayan. Peserta aksi adalah para mahasiswa yang berasal dari perguruan tinggi negeri dan kampus swasta. (kompas.com, 11/04/2022)
Ada enam tuntutan yang disuarakan. Pertama, menuntut presiden bersikap tegas menolak serta menyampaikan pernyataan sikap terhadap penundaan pemilu 2024 dan jabatan tiga periode karena mengkhianati konstitusi. Kedua, menuntut dan mendesak presiden menunda dan mengkaji ulang UU IKN serta pasal-pasal bermasalah serta dampak yang ditimbulkan dari aspek lingkungan, hukum, sosial ekologi, dan kebencanaan. Ketiga, mendesak menstabilkan harga bahan pokok dan ketersediaan bahan pokok di masyarakat. Keempat, mengharap presiden mengusut tuntas mafia minyak goreng dan mengevaluasi kinerja menteri yang terkait. Kelima, menuntut penyelesaian konflik agraria. Keenam, meminta presiden dan wakil presiden berkomitmen penuh dalam menuntaskan janji kampanye di akhir masa jabatannya.
Aksi ini adalah angin segar di tengah kejumudan rakyat terhadap dominasi para oligarki yang dengan rakus merampas negeri besar ini. Mahasiswa bersuara demi orang tua, kerabat, sahabat, petani, pengasong, dan orang-orang kecil yang makin tercekik namun hanya bisa diam.
Meski sempat hibernasi sekian lama serta dikabarkan masuk angin, aksi ini menunjukkan bahwa Indonesia masih punya harapan. Mahasiswa adalah elemen informal penggerak perubahan di era kapan pun. Mereka memang dituntut untuk kritis dan memahami dinamika politik yang terjadi. Sudah seharusnya mahasiswa mulai menunjukkan jati dirinya sebagai penggerak perubahan karena kondisi negara ini sudah sangat meresahkan. Berbagai kebijakan membuat rakyat berkali-kali mengelus dada, rakyat kian terimpit dalam kondisi yang tidak kunjung membaik.
Dalam wawancaranya di kanal Pusat Kajian Analisis Data (PKAD), Affandi Ismail Hasan, ketua PB HMI mengatakan bahwa aksi mahasiswa ini didasarkan pada pencermatan terhadap berbagai kebijakan dan janji-janji Jokowi sejak 2014 yang banyak belum terealisasi. Keterpurukan sudah terjadi di berbagai dimensi dan harus ditata ulang. Jokowi harus turun sebagai kepala negara karena dipandang sudah tidak mampu mengelola negara.
Dalam pandangannya, ada persoalan utama yang mencabik-cabik perjalanan negara ini. Pertama adalah oligarki yang sudah menjerat negara sehingga tidak lagi independen dalam membuat kebijakan. Oligarki sudah mencengkeram terlalu kuat dan menunggangi rezim penguasa saat ini. Kedua, korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merongrong kekuatan negara dan akhirnya keadilan sulit diwujudkan karena berpihak pada yang memiliki kekuasaan, jabatan, dan uang.
Saatnya Mahasiswa Bangkit
Aksi 11 April ini bisa menjadi pemantik untuk mengembalikan mahasiswa pada perannya sebagai agen perubahan. Mahasiswa sudah lama ditunggu-tunggu karena sekian lama bungkam di tengah-tengah karut marut negara. Aksi ini berhasil memecah kesunyian panjang serta memunculkan harapan masa depan yang lebih baik.
Pengerdilan potensi mahasiswa memang sudah terjadi bahkan dirancang karena sistem pendidikan yang diterapkan memproyeksikan mahasiswa hanya untuk menempati tempat-tempat yang disediakan korporasi. Mereka dipandang sebagai sekrup-sekrup yang memutarkan mesin-mesin penghasil uang bagi industri. Alhasil, mahasiswa ideal dalam pandangan pemerintah adalah mereka yang kesehariannya berkutat dalam kegiatan akademik. Fokus pada kegiatan pembelajaran dan mengabaikan fakta yang terjadi di tengah masyarakat. Bahkan bahasa kurikulum sekarang yaitu prototipe, kosakata yang lekat dengan bahasa industri.
Tak heran, mahasiswa menjadi bak menara gading yang sedikit memahami realitas akibat tidak peduli terhadap persoalan sosial di tengah masyarakat. Tidak memiliki visi misi besar, lebih sibuk dengan urusannya sendiri. Wajarlah karena memang mereka tidak pernah diisi oleh narasi-narasi yang membangkitkan semangat untuk memperjuangkan nilai-nilai yang menjangkau batas melebihi dimensi dunia.
Aksi 11 April membuktikan bahwa mahasiswa masih memiliki taring. Hal ini dipicu bisa akibat kesumpekkan mereka sebagai anak-anak dari para orang tua yang mengalami dampak langsung dari kebijakan pemerintah. Dalam kehidupan kesehariannya, beban mereka bertambah karena mahalnya berbagai kebutuhan hidup.
Mencermati Tuntutan Mahasiswa
Aksi mahasiswa patut diapresiasi, meski demikian tuntutan para mahasiswa perlu untuk dianalisis apakah persoalan selesai ketika semua tuntutan dipenuhi. Atau mungkinkah pergantian kepemimpinan bisa menjadi jaminan kehidupan yang lebih baik?
Mahasiswa seharusnya tidak berhenti pada tuntutan penundaan pemilu dan revisi UU IKN, atau pergantian presiden, tetapi lebih mengakar pada membongkar kebobrokan sistem politik demokrasi. Pergantian rezim sudah beberapa kali terjadi sejak kemerdekaan, namun gagal menyejahterakan rakyat. Semua rezim yang terpilih melalui sistem demokrasi, mengelola ekonominya menggunakan sistem liberal kapitalis. Setiap rezim hanya bermain retorika untuk menenangkan masyarakat sesaat. Tidak ada solusi praktis dari negara sehingga cita-cita keadilan dan kesejahteraan gagal diwujudkan meski negara sudah melewati 2/3 abad kemerdekaannya.
Mahasiswa seharusnya membaca bahwa berbagai persoalan bukan diakibatkan oleh rezim saat ini saja, tetapi karena hal yang lebih fundamental. Sistem politik demokrasilah yang sejak awal membuka karpet merah bagi para oligarki sehingga bisa melakukan kooptasi terhadap struktur pemerintahan. Sistem demokrasi yang berbiaya mahal di mana pun dan kapan pun harus ditopang oligarki yang kemudian dengan powernya mengarahkan kebijakan agar berpihak pada kepentingan mereka sebagai bentuk balas budi.
Negara ini sudah sangat membutuhkan solusi yang bisa menuntaskan persoalan hingga ke akar-akarnya. Tawaran solusi ala kapitalis yang merupakan derivatif dari sistem demokrasi sudah tidak mempan, berganti-ganti usulan tapi hanya tambal sulam bahkan justru makin menyengsarakan.
Rasulullah Pionir Pergerakan Perubahan Sistem
Rasulullah adalah teladan yang berhasil mengubah wajah di jazirah Arab bahkan kemudian mengubah tatanan dunia. Beliau berhasil membangun tatanan sosial yang memperkenalkan nilai-nilai keadilan, semua manusia memiliki kedudukan yang setara kecuali karena ketakwaannnya di hadapan Allah Swt.
Manusia dengan berbagai perbedaan, mulai dari suku, bahasa, budaya mampu disatukan dalam sebuah wilayah yang luas dan bertahan lama. Kuncinya adalah karena kehidupan bernegara diwarnai oleh dimensi spiritual sehingga para penguasa yang memegang amanah, terdorong untuk meningkatkan produktivitas dan efektivitas dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai pelayan rakyat. Semua urusan rakyat diatur oleh syariat Islam dan kaum muslimin dipersatukan oleh akidah Islam sehingga memiliki tujuan dan perasaan yang sama. Baik rakyat maupun pemimpin memiliki standar kebenaran yang mengcu pada ketetapan Allah Swt, sehingga ketika terjadi perbedaan pendapat dikembalikan pada hukum syarak.
Karenanya, seharusnya para mahasiswa merujuk pada metode Rasulullah dalam melakukan perubahan. Perjuangan dakwah beliau sejak awal adalah tidak hanya mengenalkan tata cara hubungan manusia dengan Allah melainkan mengganti sistem jahiliah yang diproduksi akal manusia dengan sistem yang berlandaskan pada idiologi Islam. Mahasiswa jangan berhenti pada tuntutan pragmatis, melainkan menggunakan momentum untuk perubahan strategis. Menuntut pergantian sistem dan menawarkan sistem alternatif yang paripurna dari Allah Swt serta menjamin kemaslahatan bagi umat manusia.[]