Reshuffle Kabinet, Akankah Menjadi Solusi bagi Perbaikan Negeri?

resuffle kabinet

"Reshuffle kabinet kerap dipandang sebagai jalan yang mendatangkan kesempatan bagi parpol untuk berkuasa.reshuffle kabinet kerap pula menjadi ajang politik balas budi tanpa mengukur kinerja dan latar belakang menteri yang akan ditunjuk."


Oleh. Miliani Ahmad

NarasiPost.Com-Isu perombakan kabinet atau reshuffle kabinet oleh Presideh Joko Widodo makin santer terdengar. Tak pasti kapan kabar tersebut bisa tereksekusi. Akan tetapi, banyak pihak sudah berspekulasi siapa yang akan meraih kursi.

Isu perombakan ini pertama kali diungkapkan oleh Ali Mochtar Ngabalin. Dalam pernyataanya, Tenaga Ahli Utama KSP ini, di awal pekan lalu menyebut bahwa Presiden Joko Widodo akan melakukan reshuffle kabinet dalam waktu dekat. Menurutnya, dalam reshuffle kabinet ini presiden memiliki independensi untuk mengambil keputusan yang tepat. (kompas.tv, 20/04/2021)

Teka-teki Siapa yang akan Terpilih

Gonjang-ganjing reshuffle kabinet memang telah menimbulkan aura panas pasca disetujuinya pembentukan Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta pembentukan Kementerian Investasi. Perubahan nomenklatur ini dipastikan akan memiliki konsekuensi masuknya nama-nama baru dalam jajaran kabinet Joko Widodo.

Tak hanya itu, reshuffle kabinet ini pun diproyeksikan akan menyasar menteri-menteri yang dianggap ‘bermasalah’ di lingkar istana. Jeirry Sumampow, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi Indonesia) menyebut imbas peleburan Kemenristek ke Kemendikbud diyakini juga akan menyasar kementerian lainnya. Tak hanya menteri yang kementeriannya dianggap bermasalah, tapi juga menyasar pada para menteri yang memiliki kinerja buruk dan tak setia menjalankan perintah presiden. (sindonews.com, 21/04/2021)

Di lain pihak, kasak-kusuk siapa yang akan terpilih masih menjadi spekulasi. Apalagi sebelum perombakan terjadi didapati kabar bahwa Presiden Jokowi telah menerima kunjungan Rafsel Ali, menantunya Wapres Ma’ruf Amin. Selain itu, muncul pula nama baru seperti Abdul Mu’ti yang disebut-sebut akan menggantikan Mendikbud, Nadim Makarim. Ada pula Bahlil Lahadalia, Asman Abnur, dan Brodjonegoro. Meskipun telah banyak nama yang diisukan, namun presiden belum meminta pertimbangan pada Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres). (tribunnews.com, 16/04/2021)

Reshuffle Kabinet Tak Berdampak pada Penyelesaian Masalah Bangsa

Perombakan kabinet sudah berulang terjadi pada rezim Jokowi. Reshuffle yang terjadi, seperti biasa mencuatkan opini adanya berbagai kepentingan yang melandasinya. Belum apa-apa, kali ini bola panas reshuffle kabinet nyatanya telah menimbulkan berbagai manuver politik di antara parpol yang ada. Secara vulgar, Gede Pasek Suardika, selaku Sekretaris Jenderal Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) meminta kepada Jokowi untuk lebih memerhatikan kader partainya. Menurutnya, selama ini partainya selalu mengikuti dan menuruti segala kebijakan Jokowi dan berada dalam satu frekuensi yang sama. (inews.id, 21/04/2021).

Tak beda jauh, PAN pun bersikap serupa. Menurut Guspardi Gaus, PAN siap memberikan kontribusi jika Presiden Jokowi meminta untuk bergabung dalam kabinet. Di pos manapun dan siapapun kader partainya yang ditunjuk, PAN siap untuk mendukung Jokowi. (kompas.com, 20/04/2021)

Beginilah tabiat kekuasaan yang sering diperebutkan dalam sistem demokrasi. Reshuffle kabinet kerap dipandang sebagai jalan yang mendatangkan kesempatan bagi parpol untuk berkuasa. Partai-partai seakan berlomba untuk saling merapat kepada penguasa. Berupaya memasang muka dan berharap mendapat jatah. Semua akan mengaku merekalah yang paling setia. Namun pada praktiknya tak ada loyalitas abadi dalam demokrasi.

Kecondongan partai untuk merapat memang tak lepas dari beberapa faktor yang melatarbelakangi. Di antaranya mahalnya biaya kontestasi politik yang telah mereka lewati saat pemilihan. Untuk menutupi semua biaya itu memang tak mudah. Apalagi hanya mengandalkan gaji para kader. Partai butuh nyawa untuk tetap bisa bertahan. Modallah yang menjadi kekuatan utamanya. Maka adanya reshuffle kabinet seolah menjadi angin surga untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah.
Selain itu pula, reshuffle kabinet kerap pula menjadi ajang politik balas budi tanpa mengukur kinerja dan latar belakang menteri yang akan ditunjuk. Hal demikian sebagaimana juga diamini oleh pengamat politik, Pangi Syarwi Chaniago. Dirinya mengingatkan agar perombakan kabinet mestilah mengutamakan basis kinerja bukan sharing power. Menurutnya, perlu ada dasar penentuan dalam melakukan atau tidak melakukan reshuffle. Bukan asumsi, suka atau tidak suka, apalagi persepsi. Harus jelas alat ukurnya. Maka, selama reshuffle masih menggunakan basis balas budi, selama itu pula kita jangan berharap akan adanya perbaikan kinerja dalam pemerintahan. (voi.id, 15/04/2021)

Dari sini makin jelas politik kepentingan dalam reshuffle kabinet bukanlah isapan jempol semata. Praktik yang demikian tentu tak akan mampu memberikan jaminan bagi perbaikan bangsa. Meskipun kerap dikatakan bahwa menteri yang terpilih adalah sosok terbaik untuk bangsa, akan tetapi pada faktanya mereka adalah sosok yang loyal terhadap partainya dan juga tahtanya. Mereka akan bekerja sesuai dengan apa yang digariskan oleh partainya. Selama memberi maslahat, mereka akan loyal terhadap penguasa meskipun kadangkala mengkhianati kepentingan rakyatnya.

Kita bisa berkaca pada kasus sahnya UU Omnibus Law di tahun 2020 lalu. Secara mayoritas parpol-parpol dan juga para menteri memberikan dukungan lahirnya UU tersebut. Meskipun teriakan penolakan masyarakat nyaring terdengar, bahkan menimbulkan banyak huru-hara, tetap saja para pejabat yang duduk di dewan terhormat serta kabinet tak bergeming.

Apalagi jika dikaitkan kinerja mereka pada kondisi pandemi saat ini. Masyarakat seakan apatis berharap pada kinerja pejabat. Mereka menganggap kinerja yang ada tak fokus pada penyelesaian masalah wabah. Paprol dan juga para menteri terlalu sibuk dengan lobi-lobi politik, kisruh politik dan juga persiapan parpol untuk maju pada kontestasi politik di tahun 2024.

Selain itu, reshuffle kabinet pun tetap memiliki kerangka utama, yaitu menjaga eksistensi kekuasaan penguasa. Orang-orang yang terpilih adalah mereka siap menjaga tahta. Apalagi dalam sistem perpolitikan demokrasi kapitalisme, amat penting menyiapkan orang-orang yang satu jalan dalam memenuhi segala kepentingan para kapital. Tak peduli meskipun background mereka tak mumpuni menjalankan kekuasaan. Tak peduli apakah mereka negarawan atau bukan. Terpenting mereka adalah orang-orang yang siap menjalankan semua kebijakan yang dilandasi kepentingan kapitalisme.

Rakyat Butuh Sistem Ideal untuk Meri'ayah

Sejatinya, rakyat membutuhkan jalan perubahan yang hakiki, tak sekadar ganti formasi.
Sebab siapa pun yang terpilih tetap tak akan mampu membawa perubahan selama asas sistem sekularisme demokrasi masih dipakai untuk menjadi pijakan pengelolaan negara. Pada asas ini, segala kebijakan yang berjalan akan selalu berporos pada kepentingan parpol dan pihak tertentu bukan kepentingan rakyatnya.

Bagi demokrasi, keberadaan rakyat hanyalah penyumbang suara pada saat kontestasi politik. Iming-iming janji amat sulit terealisasi karena dasar memerintah bukanlah ri'ayah, tetapi politik maslahat semata. Ibarat mengisap batang tebu, jika sudah habis manisnya sepah pun akan dibuang. Begitulah gambaran kondisi rakyat yang kerap termanipulasi mantra sakti demokrasi. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat nyatanya hanya jargon kosong yang selamanya tak pernah terbukti.

Rakyat sering gigit jari. Saat mereka percaya akan pilihannya dalam masa kontestasi, lagi-lagi mereka terkhianati. Apalagi demokrasi merupakan kendaraan yang digunakan untuk melanggengkan eksistensi kapitalisme. Wajar, karena pada sistem ini terjadi simbiosis mutualisme antara parpol dengan para kapital.

Sudah menjadi rahasia umum jika ingin memenangkan kontestasi, kantong parpol dan individu kontestan mestilah tebal. Hanya saja, setebal-tebalnya kantong parpol atau individu partai tetap tak akan mampu menutup kebutuhan pembiayaan kontestasi. Pada akhirnya, para kapital lah yang menjadi penyokong utama dalam mengantarkan individu dari papol meraih singgasananya.

Inilah yang menjadi muara dalam menentukan siapa-siapa yang layak untuk memerintah. Politik akan berjalan semata demi mengakomodasi kepentingan mereka yang punya jasa. Alih-alih mampu menjadi solusi bagi permasalahan bangsa, politik demikian hanya akan menghasilkan keculasan, saling telikung di antara parpol, dan pastinya rakyatlah yang harus menjadi korbannya.

Berbeda dengan Islam. Dalam Islam perkara memilih individu untuk duduk pada kursi pemerintahan tak dilandaskan pada asas maslahat. Akan tetapi, individu yang dipilih mestilah memiliki kredibilitas, kompetensi, amanah dan tentunya siap menjalankan kekuasaan berdasarkan syariah Islam.

Apalagi dalam memilih penguasa, ada syarat-syarat tertentu yang mesti terpenuhi. Dalam kitab Ajhizatu ad-Daulah al-Khilafah disebutkan ada tujuh syarat sah (in’iqod) dalam memilih penguasa, yaitu, muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, mampu dan merdeka. Jika tak memenuhi salah satunya maka gugurlah ia sebagai calon penguasa.

Politik yang dijalankan dalam memilih penguasa pun bukanlah politik transaksional. Dalam Islam, penguasa ada semata-mata untuk menegakkan kalimat Allah. Mereka para penguasa tak akan pernah mau berkongsi dengan pihak manapun untuk mendapatkan maslahat. Hal demikian dikarenakan perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela yang harus dihindari.

Tak hanya tercela, menerima bantuan dari pihak-pihak yang mempunyai maksud tertentu terhadap kekuasaan merupakan sebuah bentuk pengkhianatan. Baik itu pengkianatan terhadap jabatan, rakyat atau yang paling mengerikan adalah berkhianat kepada Allah. Maka dengan pemahaman yang demikian, penguasa memiliki indepedensi dalam meri'ayah rakyatnya. Mereka tak akan disetir atau pula dikendalikan pihak lain. Inilah konteks merdeka sebagaimana yang disebutkan dalam syarat in’iqod.

Kesemuanya ini hanya akan mampu diwujudkan dalam sebuah sistem politik yang bernafaskan Islam dan memiliki visi meri'ayah. Akidah dan ketakwaanlah yang menjadi pondasi dalam mengelola negara. Politik negara yang demikian dahulu pernah ada. Dijalankan pada masa Rasulullah Saw. dan para khalifah sesudahnya dalam sebuah institusi yang bernama khilafah Islamiyah.

Institusi politik ini terbukti ampuh menjalankan fungsi pengurusan terhadap rakyatnya. Motif penguasa memerintah disebabkan adanya keinginan untuk menjaga umat dengan syariah. Tak terbetik sedikitpun dalam benak mereka untuk menggunakan kekuasaannya sebagai jalan mereguk maslahat bagi dirinya atau pula keluarganya.

Begitulah Islam mampu melahirkan para pemimpin yang amanah, tak silau akan tahta, bahkan menjadi garda terdepan dalam memenuhi kepentingan rakyatnya. Mereka ibarat pengembala yang selalu disibukkan untuk memperhatikan urusan rakyatnya.

الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ…


Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR. Imam Bukhari dan Imam Ahmad).

Oleh karena itu, jika rakyat menginginkan perbaikan dalam kehidupan bangsa, sudah selayaknya mereka mengalihkan cara pandangnya. Tak cukup hanya fokus pada pergantian orang dalam kekuasaan. Akan tetapi akar masalahnya yang semestinya dibenahi, yakni sistem yang diterapkan hari ini. Caranya dengan apa? Tentunya mengembalikan sistem kekuasaan tersebut berdasarkan aturan Allah sebagaimana yang dicontohkan oleh Kanjeng Nabi dan para khalifah sesudahnya dalam sebuah sistem yang bernama khilafah islamiyah.
Tidakkah kita rindu hidup dalam naungannya?
Wallahua’lam bish-showwab[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Previous
Bergembira dan Semangat Mengisi Ramadhan
Next
Guru Sejati untuk Sang Buah Hati
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram