"Banyak kalangan masyarakat yang mengartikan toleransi tidak pada tempatnya. Bahkan dalam praktiknya justru menabrak nilai-nilai agama itu sendiri padahal toleransi bukan melebur antar peribadatan agama satu dengan lainnya."
Oleh: Dini Azra
NarasiPost.Com-Sikap toleransi saling menghargai sesama menjadi keniscayaan di tengah kehidupan bermasyarakat yang majemuk. Hal ini sudah berlangsung sejak berdirinya negeri bernama Indonesia, bahkan sebelumnya. Sebab, tanpa adanya toleransi tidak mungkin masyarakat negeri ini bisa terus hidup rukun dalam kedamaian, dan tetap bersatu dalam kesatuan bangsa. Walaupun keragaman itu mencakup suku, budaya, warna kulit, hingga keyakinan beragama namun rakyat dapat hidup berdampingan dan saling menghormati.
Namun, beberapa tahun belakangan, isu intoleransi mulai dimunculkan seolah ada bahaya yang mengancam kerukunan umat beragama di negeri ini. Dan sayangnya, tuduhan intoleransi selalu diarahkan kepada umat Islam sebagai pemeluk agama mayoritas. Umat Islam dituntut untuk bersikap toleran ketika umat agama lain menjalankan ibadah. Dalam berdakwah tidak boleh merendahkan menyinggung umat agama lain, hingga tidak boleh menyebut kata kafir. Tapi sebaliknya, ketika umat sedang beribadah puasa misalnya, umat Islam malah diminta menghormati yang tidak berpuasa. Begitupula simbol Islam, ajaran Islam, dan ulamanya sering dinista secara nyata.
Sementara para pemimpin negeri ini hanya melihat dari satu sisi, bagaimana agar kaum minoritas (nonmuslim) merasa dihargai. Seperti yang baru-baru ini disampaikan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, dia ingin agar di setiap acara yang diadakan Kemenag agar memberi kesempatan pada agama lain untuk mengisi doa, tidak hanya doa agama Islam. Hal itu dia sampaikan saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) secara luring dan daring.
“Pagi hari ini saya senang Rakernas dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an. Ini memberikan pencerahan sekaligus penyegaran untuk kita semua. Tapi akan lebih indah kalau doanya diberikan kesempatan semua agama untuk memberikan doa," kata Yaqut, Senin. Antara.news.(5/4/2021)
Menurutnya, hal ini sebagai otokritik bagi Kemenag yang diharapkan menjadi rumah bagi semua agama. Kemenag harus menjunjung tinggi moderasi beragama, sehingga dalam pelaksanaannya tidak boleh berseberangan. Pembacaan doa satu agama tertentu menurutnya seperti acara keormasan saja.
Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid turut menjelaskan terkait pernyataan Menag Yakut. Bahwasanya doa semua agama akan dibacakan secara umum di Kementerian agama, untuk internal bukan untuk semua kegiatan masyarakat sehingga tidak perlu dipermasalahkan. (Viva.co.id.5/4)
Masalahnya bukan internal Kemenag atau untuk semua kegiatan masyarakat, namun apakah ini sesuai dengan syariat Islam atau malah menyalahi akidah Islam? Penting untuk diperhatikan, karena Kementerian Agama akan menjadi cermin bagi masyarakat. Sudah semestinya Menteri Agama yang notabene beragama Islam selalu merepresentasikan diri sebagai teladan umat. Menunjukkan jati diri sebagai pemimpin umat Islam tanpa mencederai rasa toleransi dan keberagaman, sangat bisa dilakukan. Namun, kebijakan ini malah mengarah pada liberalisasi dan sinkretisme agama. Sehingga memicu sikap kritis dari kalangan ulama dan umat Islam pada umumnya.
Ketua MUI KH.Cholil Nafis menjelaskan terkait doa semua agama yang diusulkan Menag. Menurutnya umat Islam tidak boleh berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa ta'ala. Dilansir dari kanal YouTube nya Cholil Nafis Official, Kamis(15/4), dia mengatakan bahwa sekarang banyak kalangan masyarakat yang mengartikan toleransi tidak pada tempatnya. Bahkan dalam praktiknya justru menabrak nilai-nilai agama itu sendiri. Menurutnya, toleransi bukan melebur antar peribadatan agama satu dengan lainnya.
“Yang beragama Islam, mari kita mengamini doa yang saya pimpin, yang lain silahkan berdoa menurut keyakinannya masing-masing, di tempat yang sama. Kami tidak minta mereka mengaminkan doa saya. Jadi jangan saling senggol, jangan saling mencela, kita hargai masing-masing,” katanya.
Makna Bhineka tunggal Ika itu dengan entitas masing-masing tetapi tidak saling mengganggu, tidak boleh saling merendahkan, membiarkan orang beribadah sesuai keyakinannya masing-masing. Itulah bagaimana Bhineka Tunggal Ika mengajarkan perbedaan dalam satu kesatuan NKRI. Karena berbeda itulah disebut Bhineka, jika dipaksa untuk melebur jadi satu, bukan Bhineka lagi namanya.
Maka, sikap dari Menteri Agama tersebut patut dipertanyakan sebab sebagai pemimpin umat beragama yang selayaknya diikuti oleh warga negara, harus jelas ke mana arah kebijakannya. Tidak seharusnya Menteri Agama yang seorang muslim menunjukkan sikap inferior terhadap agamanya sendiri. Sehingga dengan dalih toleransi dan moderasi selalu mencari muka di depan agama lain. Misalnya saja, ketika ada tokoh IGI memprotes isi dari buku agama terbitan Kemenag yang dianggap menghina agama Nasrani, dia langsung respek. Padahal memang benar ajaran Islam dengan agama lain saling bertentangan.
Sedangkan kepada umat Islam, Allah azza wajalla telah member gelar “Khoiru ummah" yang artinya umat terbaik di antara semua manusia. Hal ini seharusnya menjadi landasan bagi setiap muslim, merasa percaya diri dan bangga terhadap agamanya. Yaitu dengan berusaha menerapkan semua ajaran Islam, dengan keyakinan bahwa syariat Islam yang diturunkan Allah ta'ala dan disampaikan oleh Rasul-Nya adalah ajaran yang sempurna. Di dalamnya juga sudah mencakup ajaran tentang sikap toleransi secara proporsional. Tidak lebih dan tidak kurang.
Jangan sampai sebagai orang beriman meragukan dan merasa kurang terhadap kesempurnaan Islam. Sehingga menganggap perlu menimbang pendapat-pendapat dari luar Islam yang tidak sejalan dengan akidah Islam.
Fenomena seperti ini memang sedang marak terjadi di tengah umat, yakni seorang muslim lebih memilih mencari rida orang-orang kafir, dengan bersikap lembut terhadap mereka. Mendukung aktivitas ibadah, bahkan keyakinan mereka. Namun terhadap sesama muslim, mereka bisa bertindak kasar, hanya karena berbeda pandangan politik dan masalah furu'iyah.
Sudah seharusnya umat menyadari, inilah realita hidup di sistem kapitalis yang berasas sekularisme. Agama tidak dimaksudkan untuk mengatur seluruh tatanan hidup manusia, tapi justru dipisahkan dari kehidupan. Syariat hanya diambil sebagian yang dianggap menguntungkan, dan tidak mengusik kekuasaan politik. Oleh karena itu, hanya dengan penerapan sistem Islam, liberalisasi agama bisa dihentikan. Wallahu a'lam bishawab.[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]