Dari Ibnu Abbas ra berkata sesungguhnya Nabi Saw bersabda; “kaum muslim berserikat dalam tiga hal yaitu; air, rumput (pohon), api (bahan bakar), dan harganya haram. Abu Said berkata: maksudnya: air yang mengalir. ”
(HR Ibnu Majah).
Oleh. Miliani Ahmad
NarasiPost.Com-Berdasarkan data BP Statistical Review of World Energy 2015, potensi cadangan gas yang dimiliki Indonesia luar biasa melimpah. Di kawasan Asia Pasifik, Indonesia menduduki urutan ketiga setelah Australia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam hal jumlah cadangan gas yang dimilki. Dalam wilayah eksplorasinya, terdapat beberapa lokasi yang memiliki potensi gas tinggi seperti Arun di Aceh, Bontang, Natuna dan Tangguh di Papua.
Dengan keberlimpahan ini seharusnya mampu memberi banyak manfaat bagi penduduk seluruh lapisan masyarakat. Pada penggunaannya, gas alam banyak dimanfaatkan sebagai bahan bakar industri, pembangkit listrik, bahan bakar kendaraan, serta membantu mempermudah aktivitas memasak dalam rumah tangga. Tak heran, masyarakat memang bisa dikatakan amat bergantung pada sumber daya alam ini karena mudah dalam pemakaiannya dan bersih dari polusi.
Pada sektor rumah tangga, konversi penggunaan minyak tanah ke gas sudah lama berjalan. Alasannya, karena cadangan minyak bumi yang semakin menipis. Namun, pada saat masyarakat sudah mulai nyaman dan terbiasa menggunaakan gas tersiar kabar bahwa pemerintah akan melaksanakan program konversi 1 juta kompor gas ke induksi.
Dilansir dari liputan6.com (31/03), PLN tengah menggencarkan program konversi satu juta kompor gas ke kompor induksi dengan tujuan untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi.
Akankah Kompor Induksi Mudah Terealisasi?
Wacana pengalihan energi LPG ke listrik bukanlah sebuah wacana baru. Wacana ini sudah mencuat sejak 2017 lalu. Harapannya, dengan semakin meningkatnya penggunaan kompor induksi, maka Indonesia bisa menurunkan angka impor LPG. Namun di balik itu semua, realisasi pelaksaan migrasi kompor induksi ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, berikut alasannya:
Pertama, alasan ekonomi. Pemakaian kompor induksi hanya bisa dijalankan pada masyarakat yang memiliki daya tinggi pada meteran listriknya. Kompor induksi tidak bisa dipakai pada meteran listrik berdaya rendah seperti 450 VA. Di Indonesia, berdasarkan data PLN Persero jumlah pelanggan listrik 450 VA mencapai 20 juta pelanggan. Untuk pelanggan kategori ini tentu mereka harus meningkatkan daya listriknya jika kebijakan ini tetap harus dipaksakan. Hal demikian tentu akan menambah beban. Apalagi ada kecenderungan tarif listrik yang terus naik.
Kedua, ancaman 'byar pet'. Permasalahan 'byar pet' di Indonesia sudah menjadi rahasia umum. Terbaru, Ketua Komisi VI DPR Faisol Riza dalam akun instagramnya @faisol8418 menyebut bahwa situasi listrik negeri ini kian memprihatinkan akibat ketidakstabilan pasokan batubara.
Pernyataan ini semestinya menjadi catatan bahwa problem supply batubara masih menjadi kendala dalam menjamin kestabilan pasokan untuk pembangkit listrik. Faktor cuaca dan bentangan alam yang berbeda bisa menjadi hambatan terjadinya keberlangsungan pengiriman secara kontinyu. Kasus banjir yang terjadi di Kalsel beberapa waktu lalu telah mengakibatkan pasokan batu bara semakin menipis di sejumlah PLTU.
Pertanyaannya, jika migrasi ke kompor induksi betul-betul terealisasi di seluruh wilayah, apakah negara akan mampu menjamin keamanan supply listrik bagi masyarakat, mengingat jumlah konsumsi listrik akan semakin tinggi? Apalagi ketergantungan sebagian pembangkit listrik di negeri ini masih sangat tinggi terhadap batu bara yang dalam pendistribusiannya membutuhkan waktu yang lama.
Ketiga, kondisi sulitnya kehidupan di masa pandemi. Kebijakan ini dirasakan tak berkorelasi dengan urgensitas penanganan pandemi. Yang ada justru menjadi kontradiktif. Bagaimana tidak, semestinya pada situasi pandemi seperti saat ini lahir kebijakan yang pro terhadap kondisi ekonomi msyarakat. Rakyat membutuhkan kemudahanan akses gas untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Demikian pula agar tarif listrik bisa dijangkau. Namun, dengan wacana lahirnya kebijakan migrasi ke kompor induksi justru yang terbayang subsidi gas akan hilang dan biaya tagihan listrik akan semakin membengkak.
Apalagi untuk penggunaan kompor induksi tidak semua masakan serta alat masak bisa dimasak dan digunakan di atasnya. Ada spesifikasi tertentu untuk peralatan masaknya, seperti harus menggunakan bahan stainless steel dan beralas datar tidak seperti kuali. Tentu hal ini akan menambah kerepotan tersendiri bagi masyarakat yang terbiasa memasak dalam jumlah yang banyak.
Anomali Negeri Lumbung Energi
Di lain pihak, upaya mendorong konversi ini tak lepas dari upaya pemerintah untuk melakukan pengurangan subsidi gas terhadap masyarakat. Menurut Sekretaris Jendral Kementerian ESDM, Ego Syahrial, negara akan dapat berhemat sebesar 81,7 triliiun dalam lima tahun jika total 16,98 juta pelanggan listrik 1.300 VA memakai kompor induksi. Selain masalah penghematan anggaran subsidi, kebijakan ini pun digunakan untuk menekan ketergantungan impor LPG Indonesia. Tercatat angka impor LPG Indonesia di tahun 2019 senilai USD2.590 juta atau mencapai 5,71 juta metrik ton. Sedangkan LPG yang berasal dari domestik hanya mencapai 2,06 juta Metrik Ton (www.esdm.go.id).
Peribahasa tikus mati di lumbung pangan nyatanya memang bisa disematkan pada wilayah-wilayah yang memiliki sumber daya melimpah namun tak memberi dampak sejahtera bagi rakyatnya. Permasalahan pengelolaan dan distribusi kekayaan memang kerap dialami oleh banyak bangsa yang tak memiliki panduan sahih dalam pengaturannya. Sebut saja salah satunya pengelolaan gas alam yang ada di Indonesia.
Kendati gas alam termasuk kekayaan yang melimpah, namun hal tersebut tak mampu menjamin permintaan gas di dalam negeri. Kita bisa menyaksikan begitu banyak masyarakat yang kesulitan untuk mendapatkan gas LPG 3 kg. Pada sektor industri pun kerap pula terjadi kekurangan supply. Sebut saja PLN yang terpaksa mengonversi bahan bakunya ke energi fosil seperti batubara disebabkan adanya kekurangan supply gas dari Perusahaan Gas Negara (PGN).
Usut punya usut, faktor kekurangan supply ini bisa disebabkan karena cacat pengelolaan pada sektor hulunya yang lebih banyak dilimpahkan kepada perusahaan asing. Sekitar 87% produksi gas alam di Indonesia diproduksi oleh Conoco Philips, BP Tangguh, Exxon Mobil Oil Indonesia, Total E&P Indonesia, dan CNOOC Limited. Sementara Pertamina selaku Badan Usaha Milik Negara hanya memproduksi sisanya sebesar 13%. Perusahaan-perusahaan asing tersebut hanya mau berinvestasi jika kran ekspor terhadap komoditi ini dibuka oleh negara. (www.indonesia-investments.com)
Tentu ini menjadi anomali. Satu sisi impor LPG negeri ini sangat tinggi namun di sisi lain jumlah keberlimpahan cadangan LPG justru berada di tangan swasta. Sungguh sangat disayangkan, alih-alih pemerintah membuat kebijakan untuk mengelola keberlimpahan LPG dalam negeri, justru pencabutan subsidi dianggap menjadi solusi. Miris sudah. Penguasaan sumber daya oleh swasta nyatanya telah memberi setumpuk derita pada masyarakat. Harta kekayaan yang semestinya bisa memberi rasa bahagia semakin sirna akibat tata kelola yang salah. Semua ini tak berlepas dari sistem kapitalisme yang menjadi induk pengelolaan ekonomi negara.
Dalam sistem kapitalisme adalah sangat wajar jika suatu negara memberikan keleluasan bagi swasta untuk mengelola (baca : menjarah) sumber daya alam yang ada. Hal ini tak berlepas dari asasnya yaitu sekularisme. Asas batil ini telah menempatkan akal manusia memiliki posisi yang tinggi dalam membuat aturan sekaligus menjadikan perhitungan maslahat sebagai pijakannya. Kebijakan akan lahir menurut takaran seberapa besar keuntungan yang akan didapat untuk kantong-kantong individu tertentu. Meskipun itu akan mengorbankan kepentingan rakyat seperti lahirnya UU Minerba dan UU Cilaka. Kedua UU ini telah memberi akses bagi para kapital swasta untuk semakin mudah menjamah dan menghisap semua kekayaan negara.
Islam Menawarkan Solusi
Kondisi demikian justru amat berkebalikan dengan sistem pengelolaan negara (khilafah) yang dilandasi oleh ideologi Islam. Negara telah memetakan semua aset sumber daya alamnya sebagai sebuah aset yang mutlak menjadi milik rakyat.
Dari Ibnu Abbas ra berkata sesungguhnya Nabi Saw bersabda; “kaum muslim berserikat dalam tiga hal yaitu; air, rumput (pohon), api (bahan bakar), dan harganya haram. Abu Said berkata: maksudnya: air yang mengalir. ”
(HR Ibnu Majah).
Berdasarkan hadist di atas, negara dalam pandangan syariat tak memiliki izin untuk memberikan aset-aset ini kepada individu atau pun korporasi dalam pengelolaannya. Termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam berupa gas. Negara wajib menyiapkan semua prasarana pendukung untuk mengeksplorsasi dan mengeksploitasinya. Begitupula kilang-kilang produksinya.
Dengan kekuatan tangan negara, hasil sumber daya alam bisa dimaksimalkan untuk memenuhi semua kebutuhan rakyatnya. Termasuk akan sangat mudah bagi negara memberikan hasil sumber daya alam secara langsung berupa gas dengan menyalurkannya melalui pipa-pipa ke rumah warga dengan harga murah bahkan gratis. Begitupula, sumber daya gas alam yang dihasilkan akan sangat mampu menopang supply energi bagi beroperasinya pembangkit listrik. Infrastruktur penopang energi listrik akan banyak dibangun untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Kemaksimalan produksinya akan cukup mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Rakyat tak perlu merasa was-was dengan tarif listriknya, karena dalam hal ini Islam telah mengharamkan atas negara mengomersilkan harganya kepada rakyatnya.
Begitupula rakyat, tak perlu was-was dengan acaman 'byar pet'. Untuk mengatasi ini negara wajib memastikan pendistribusian gas alam ke sumber-sumber pembangkit listrik dipastikan secara cepat tanpa membutuhkan waktu yang lama. Hal itu bisa dilakukan dengan negara membangun instalasi pipa-pipa penyaluran baik di jalur darat maupun lautan.
Selain itu, masyarakat pun tak perlu dibingungkan dengan migrasi ke kompor induksi. Negara justru akan memfasilitasi berbagai kemudahan bagi rakyatnya untuk memakai ataupun tidak memakai kompor induksi. Hal demikian dikarenakan pemilihan jenis kompor termasuk perkara mubah. Jika masyarakat masih tetap ingin menggunakan kompor gas, semua itu dipersilakan saja. Toh, pipa-pipa gas sudah terpasang di rumah-rumah. Pun jika masyarakat ingin menggunakan kompor induksi, itu juga tak jadi masalah. Karena listrik telah disediakan oleh negara secara mudah tanpa ada kekhawatiran mahalnya biaya penggunaan.
Jika semuanya sudah tercukupi, barulah komoditi gas tersebut bisa diekspor keluar negara dengan harga komersil. Tapi perlu diingat, keuntungan yang dihasilkan negara dalam proses ekspor ini harus dikembalikan lagi kepada rakyat, semisal dalam bentuk pemenuhan pelayanan kesehatan, pendidikan, infrasturuktur dan yang lainnya.
Inilah kesempurnaan dan keagungan Islam dalam mengatur kebutuhan hajat hidup warganya. Sekaligus mengatur tata kelola ekonomi dan sumber daya alamnya. Semuanya ini amat mungkin bisa diwujudkan jika umat bersama-sama bersatu untuk mengembalikannya. Tidakkah kita rindu hidup dalam naungannya?
Wallahua’alam bish-showwab[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]