Budaya Korupsi di Tubuh PNS, Sampai Kapan?

korupsi

Dengan tingginya kasus korupsi di negeri ini sesungguhnya menunjukkan kebobrokan sistem yang diterapkan. Karena korupsi yang terjadi bukan semata-mata disebabkan oleh kerusakan atas individu pelakunya, melainkan juga kerusakan sistem kehidupan yang menaunginya


Oleh.Hana Annisa Afriliani, S.S
(Aktivis Muslimah dan Penulis Buku)

NarasiPost.Com-Memalukan! Itulah kiranya kata yang pas untuk menggambarkan mental para pejabat dan pegawai pemerintahan di sistem demokrasi hari ini. Ya, mental korup seolah sudah menjadi sesuatu yang biasa bahkan membudaya di negeri ini.

Baru-baru ini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Menpan RB) Tjahjo Kumolo menyatakan bawah masih banyak PNS atau ASN yang terjerat korupsi. Sebagaimana dilansir oleh Merdeka.com (18/04/2021), Tjahjo menyebut setiap bulan Kemenpan RB memecat secara tidak hormat para PNS yang korup, yakni hampir 20 hingga 30 persen.

Hal tersebut semestinya menjadi tamparan keras bagi pemerintah karena telah melahirkan para koruptor bahkan di tubuh pemerintahan sendiri.

Sekularisme Rahim Para Koruptor

Korupsi sudah menjadi hal yang jamak terjadi di negeri ini. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2020 menempati peringkat 102 dari 180 negara yang disurvei. Adapun di tingkat ASEAN, Indonesia berada di peringkat lima dengan skor 37, yakni berada di bawah Singapura yang memeroleh skor IPK 85, Brunei Darussalam (60), Malaysia (51) dan Timor Leste (40). Adapun skor tersebut didasarkan pada indikator skor 0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih.

Dengan tingginya kasus korupsi di negeri ini sesungguhnya menunjukkan kebobrokan sistem yang diterapkan. Karena korupsi yang terjadi bukan semata-mata disebabkan oleh kerusakan atas individu pelakunya, melainkan juga kerusakan sistem kehidupan yang menaunginya. Ya, korupsi telah berlangsung sistemik, makanya sangat sulit diberantas.

Betapa tidak, kapitalisme sekuler yang diterapkan hari ini telah menjadikan materi sebagai standar kebahagiaan bagi individu. Maka, tak heran jika banyak orang yang mati-matian mengejar materi, tak peduli meski harus dengan jalan haram, termasuk korupsi.

Jabatan seringkali dimanfaatkan untuk memperkaya diri, termasuk jabatan yang semestinya didedikasikan sebagai wujud pengabdian kepada rakyat, seperti PNS atau ASN. Buktinya, banyak PNS yang terlibat kasus korupsi, padahal mereka berstatus pegawai negara. Sungguh ironis!

Beginilah ketika naungan hidup kita adalah sistem rusak dan merusak, jelas akan menjadi rahim bagi lahirnya para koruptor. Sudahlah dipicu oleh dorongan kebutuhan hidup yang melangit sebagai ekses penerapan sistem kapitalisme yang menjerat leher rakyat, juga dipantik oleh ambisi mengejar materi. Jika sudah begitu, keimanan terkikis. Agama hanya tinggal nama, aturannya tergadai nafsu dunia. Di sinilah sekularisme bekerja, mengebiri agama sebatas urusan ibadah ritual saja, sementara urusan lainnya agama dicampakkan.

Akibatnya, praktik korupsi tumbuh subur. Tak ada lagi perasaan takut dosa, yang ada hanyalah strategi bagaimana mencari celah mengambil keuntungan dari jabatan yang ada.

Ditambah lagi, dalam sistem hari ini, tak ada sanksi yang dapat membuat efek jera bagi para koruptor. Bahkan banyak koruptor kelas kakap yang lolos dari jerat hukum. Begitulah hakikatnya kapitalisme, hukum pun bisa diperjualbelikan.

Khilafah Akhiri Praktik Korupsi

Lain halnya dengan khilafah, institusi pemersatu umat yang menerapkan syariat Islam secara kafah, praktik korupsi takkan mungkin dibiarkan lestari. Khilafah memiliki cara preventif dan kuratif dalam menyikapi permasalahan korupsi. Secara preventif (pencegahan), khilafah akan menjaga akidah umat agar menghujam kuat di dalam jiwa, dimulai dari sistem pendidikan yang berbasis akidah islamiyah sehingga output pendidikan adalah generasi yang tak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki kepribadian Islam. Sehingga ketika mereka terjun ke masyarakat, berbaur dalam dunia kerja, kepribadian. Islam itulah yang akan menjadi penghiasnya. Mereka tak akan mudah menggadaikan akhiratnya demi nafsu dunia yang fana.

Demi menjaga akidah umat, khilafah juga akan memfilter media massa atau tayangan-tayangan yang dapat merusak akidah. Sebegitu pentingnya akidah Islam bagi seorang muslim, karena akidah itulah yang akan menjadi rem bagi perbuatan setiap individu. Sejatinya akidah islamiyah yang terhujam kokoh di dalam diri akan memacarkan ketakwaan hakiki pada seseorang. Dengan ketakwaan itulah, seseorang akan menakar perbuatannya berdasarkan timbangan hukum syarat, halal-haram. Dengan ketakwaan itu pula lah ia takkan berani mengambil sesuatu yang bukan haknya, yakni melakukan korupsi. Apalagi bagi seseorang yang berstatus pegawai pemerintahan, mereka telah diikat dengan akad ijaroh (kontak kerja) dengan negara, yang sekaligus juga diikat dengan hukum syariat dalam menjalankan pekerjaannya. Mereka harus amanah, tidak boleh menyimpang dari aturan yang ditetapkan.

Kemudian khilafah akan memberikan gaji yang layak kepada para pegawai pemerintahannya, sehingga mereka akan mampu memenuhi kebutuhan primer, sekunder bahkan tersiernya. Dengan begitu, mereka tak akan mencari pendapatan tambahan dari sana-sini.

Kemudian secara kuratif, jika tindak korupsi terlanjur terjadi, maka negara akan menjatuhkan sanksi tegas demi memberikan efek jera kepada pelakunya. Adapun sanksi yang diberikan adalah berupa penyitaan harta, stigmatisasi di tengah publik, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati.

Demikianlah kesempurnaan sistem Islam dalam memecahkan segala problematika umat. Dan hal tersebut bukan teori belaka, karena sudah terbukti secara historis. Penerapan sistem Islam secara kafah efektif menekan angka maksiat dan kriminalitas, bahkan menghilangkannya sama sekali. Berbeda dengan sistem sekuler kapitalis hari ini yang justru melanggengkan berbagai kemaksiatan dan kriminalitas. Maka, masihkah kita menaruh harapan pada sistem hari ini?[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Previous
Sekularisme Makin Suburkan Para Penista Agama
Next
Bergembira dan Semangat Mengisi Ramadhan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram