Kebiasaan minum manis akan tetap ada jika negara tidak bersungguh-sungguh mengaturnya.
Oleh. Dia Dwi Arista
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Ubah kebiasaan minum manis rakyat Indonesia bisa dikatakan gampang-gampang susah. Apalagi kebiasaan tersebut sudah mendarah daging. Akan butuh waktu bertahun-tahun jika negara tidak ikut serta mengambil peran.
Dengan kebiasaan ini, tak heran jika Indonesia dinobatkan menjadi negara dengan angka diabetes tertinggi kelima di dunia pada tahun 2021. Dan menurut databoks.katadata.co.id, Indonesia adalah negara dengan diabetes tipe 1 tertinggi se-ASEAN.
Minuman Manis
Minuman manis adalah minuman yang memiliki kadar gula tinggi di dalamnya. Dalam masyarakat hari ini, telah banyak bermunculan varian-varian minuman manis yang kekinian dengan tampilan menarik dan rasa yang adiktif hingga masyarakat terlena dan melupakan bahayanya.
Minuman manis ini juga sangat berbahaya bagi tubuh. Sebab, kebutuhan gula harian orang dewasa menurut American Heart Association (AHA) adalah 9 sendok teh untuk laki-laki, dan 6 sendok teh untuk perempuan.
Sedangkan, minuman manis yang dijual sering kali memiliki kandungan yang melebihi batas konsumsi harian. Belum lagi makanan lainnya yang juga tinggi kalori, menjadikan batas konsumsi gula harian masyarakat Indonesia meningkat pesat.
https://narasipost.com/syiar/03/2024/minuman-beralkohol-antara-gaya-hidup-dan-aturan-agama/
Hal ini tentu berpengaruh buruk pada kesehatan. Sebagaimana yang dilansir oleh hellosehat.com bahwa terlalu banyak mengonsumsi gula berisiko terhadap penyakit diabetes tipe 2, obesitas, penyakit jantung, karies gigi, perlemakan hati, hingga hipertensi.
Peran Negara
Dalam mengatasi persoalan konsumsi gula berlebihan ini, negara mencoba mengambil peran dengan memberlakukan cukai terhadap minuman berpemanis. Hal ini tertera pada Perpres 76/2023.
Sebagaimana negara kapitalis lainnya, dalam peraturan soal cukai minuman manis ini negara tak bisa lepas dari paradigma kapitalisme. Yakni mengambil untung sebanyaknya, meski diembel-embeli demi kesehatan masyarakat.
Bahkan, Kemenkeu telah menargetkan dana dari penerimaan cukai tersebut sebesar Rp4,39 triliun pada tahun pertama diimplementasikan, yakni tahun 2024.
Padahal, jika diteliti lebih lanjut, penerapan aturan ini tidaklah efektif. Seandainya pemerintah memang bersungguh-sungguh ingin memperbaiki kualitas kesehatan masyarakat dengan mengurangi bahkan meniadakan peredaran minuman manis, tentulah hal itu mudah dilakukan.
Alih-alih membuat peraturan dengan membayar cukai minuman manis, pemerintah bisa membuat peraturan larangan adanya minuman manis, atau setidaknya berapa persen kandungan gula dalam minuman tersebut yang tidak membahayakan peminumnya.
Dengan adanya aturan larangan atau batasan tersebut, mengubah kebiasaan minum manis masyarakat Indonesia akan lebih cepat dan efektif. Tak butuh waktu 5 hingga 10 tahun. Bisa jadi, dalam 1 tahun masyarakat bisa beralih kepada minuman yang lebih sehat.
Tentu hal ini pun perlu peran pemerintah juga dalam mengedukasi masyarakat secara menyeluruh tentang bahaya minuman berpemanis. Sebab, pemerintahlah yang mampu menggerakkan instrumen-instrumen pemerintahan untuk secara masif memberikan edukasi kepada masyarakat.
Namun, realitasnya yang dipilih pemerintah justru memberlakukan cukai kepada produk minuman manis. Sungguh jauh panggang dari api.
Paradigma Kapitalis
Pemilihan pemberlakuan cukai minuman manis tentu tak jauh dari paradigma kapitalis. Negara akan menggali potensi dari setiap sisi untuk bisa dikenakan biaya. Tak hanya dari pendidikan, ekonomi, bahkan kesehatan pun akan dibisniskan demi mendapat tambahan cuan.
Tak heran, sebab negara ini lebih sering mengalami besar pasak dari pada tiang. Ditambah nilai utang Indonesia yang fantastis hingga menyentuh lebih dari 8 ribu triliun rupiah. Maka, pendapatan negara yang terfokus pada pajak dan turunannya akan terus digenjot untuk menutupi pengeluaran.
Inilah gambaran negara yang menganut sistem kapitalisme. Rakyat hanya dijadikan objek, negara tak lagi berfungsi sebagai pengayom, malah lebih tepatnya sebagai pemalak.
Peran Negara Islam Menjaga Kesehatan Rakyat
Penerapan hukum syariat Islam dalam sebuah negara adalah perintah Allah Swt. Dalam surah Al-Maidah ayat 50, Allah secara jelas memerintahkan kaum muslimin untuk menerapkan hukum Allah (syariat)
Artinya: “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Penerapan syariat menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Ushul al-fiqh al-Islami menjelaskan tentang tujuan dari diberlakukannya syariat dalam kehidupan manusia (maqashid syariah).
Pun, menurut Asy-Syatiby maqashid syariah terdiri dari 5 unsur. Yakni:
- Menjaga agama
- Menjaga jiwa
- Menjaga akal
- Menjaga keturunan
- Menjaga harta
Dalam kaitannya dengan masalah minuman berpemanis, negara Islam berkewajiban untuk menjaga jiwa (hifz al-nafs) penduduknya.
Negara Islam akan menetapkan standar makanan yang halal dan tayib (baik) untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Mulai dari kesuburan tanahnya, kualitas benihnya, pengolahannya, hingga sampai pada konsumen/masyarakat dipastikan sesuai standar halal dan tayib.
Sehingga, makanan yang dikonsumsi tidak menjadi karsinogen yang bersifat toxic bagi tubuh. Akan tetapi, diharapkan makanan adalah sumber energi juga sebagai pengobatan. Sebab, makanan memiliki porsi terbesar pada penyakit yang timbul hari ini.
Negara juga akan berupaya meningkatkan keimanan dan kesejahteraan masyarakatnya, sehingga masyarakat jauh dari aktivitas menipu untuk memperoleh keuntungan lebih dengan menambahkan bahan-bahan berbahaya pada makanan dan minuman yang dijualnya.
Kesimpulan
Mengubah kebiasaan minuman manis di tengah masyarakat butuh peran negara. Bukan dengan memberlakukan cukai, namun membuat peraturan untuk membatasi atau melarang kadar gula produk tersebut.
Mengubah kebiasaan tidak akan berhasil dengan efektif ketika negara hanya berorientasi pada keuntungan semata tanpa adanya kesungguhan untuk menjadikan masyarakat lebih sehat. Hanya negara Islam (Khilafah) saja yang mampu menolak intimidasi dan iming-iming keuntungan dari beredarnya minuman berpemanis. Allahu a’lam bisshowaab. []
DM hampir menyerang seluruh keluarga di negeri ini. Jika sdh kena gak bisa sembuh tapi dg pola hidup sehat dan iman terjaga akan terkendali dan hidup tetap bahagia
So, keluarga besarku mengalaminya, jadi byk tahu.
Ibu sama bulekku juga mbak. Malah ibuku meninggal karena komplikasi diabet dan covid
Apalagi sekarang bulan puasa, yang manis-manis berseliweran Mbak Dia. Huu, godaan datang menyapa.
Aku suka sekali sama yang manis2.. sekarang mulai dikurang2i.. tp sulit sekali menahan godaannya.. yang manis banyak banget berseliweran..
Huhuhu, aq masih memakannya
Bulan Ramadan banyak sekali minuman manis yang dijual dan dikomsumsi masyarakat. Ini termasuk yang bisa menimbulkan bahaya juga kah?
Bener. Lihat kebutuhan kalori
Diabetes memang jadi momok di tengah masyarakat. Apalagi banyak orang yang minum apa pun yang disukai termasuk yang manis-manis tanpa peduli bahayanya bagi kesehatan.
Benar mbak, di sekitarku banyak sekali yg mengidap. Pun, ibuku juga komorbid diabetes saat covid dulu.
Hari ini negara justru lepas tangan dalam hal riayah terhadap kehidupan rakyatnya. Apalagi dalam ranah konsumsi, dan inilah apabila negara tidak diatur dengan aturan Allah. Jadinya semua hal dijadikan sumber cuan terlepas itu akan merugikan kesehatan rakyat.
Inilah negara kapitalis
Indonesia memiliki persoalan serius dalam diabetes. Usia penderitanya makin muda. salah satu penyebabnya dengan mudahnya anak-anak mendapatkan yang manis-manis di antaranya dari jajanan makanan. Mengapa anak-anak suka? Murah dan kandungan gula tinggi yang bisa menimbulkan kecanduan. Memang seharusnya peran negara dalam mengawasi peredaran makanan jajanan manis dan di sisi lain membantu para pedagang dari sisi modal dan pengetahuan. Tetapi dalam sistem kapitalis, penguasanya sibuk sendiri, boro-boro mikirin yang kaya gini. Meski sudah ada peraturannya, pengawasannya lemah. Yang manis-manis tetap berseliweran di depan mata dan menggoda.
Bener mbak, minuman dan makanan manis itu adiktif