Skor PPH Naik, Apa Kabar Akses Pangan?

Skor PPH Naik, apa kabarnya pangan?

Skor PPH meningkat tidak seharusnya membuat negara puas, karena banyak hasil riset tentang kondisi masyarakat masih menjadi PR pemerintah.

Oleh. Harne Tsabbita
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Seakan hanya pelipur lara bagi masyarakat. Di tengah kenaikan bahan sembako termasuk beras, Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengatakan bahwa skor Pola Pangan Harapan (PPH) mengalami peningkatan pada 2023 yakni mencapai 94,1 dari total 100. Capaian ini lebih besar dibanding tahun 2022 yang hanya sebesar 92,9. (badanpangan.go.id)

Namun, apakah artinya ini semua jika realitasnya tidak seperti yang diharapkan bagi masyarakat? Sebab yang terjadi justru masyarakat sulit dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka. Apalagi di tengah impitan ekonomi dan meningkatnya harga kebutuhan pokok.

Adapun Pola Pangan Harapan (PPH) merupakan indikator tingkat kualitas konsumsi masyarakat. Dengan skor PPH ini juga akan menjadi acuan bagi pemerintah baik di pusat maupun daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dalam menilai kualitas konsumsi pangan masyarakat. Jadi PPH adalah suatu metode untuk menilai jumlah dan komposisi atau ketersediaan pangan di wilayah tertentu secara nasional maupun daerah.

Aneh tapi Nyata

Adalah keanehan, jika skor PPH naik tetapi akses rakyat terhadap makanan tidak terwujud dengan baik, apalagi dengan naiknya harga sembako terutama beras. Publik yang menilai rasanya tidak mungkin bisa terjadi, sebab fakta yang ada justru masyarakat mengeluh karena sulitnya mendapatkan makanan yang layak untuk dikonsumsi. Rata-rata menilai karena harga yang melambung tinggi sementara pendapatan tidak sebanding.

Hal ini bisa dilihat bahwa masih banyaknya jumlah penduduk miskin di Indonesia. Pada Maret 2023, jumlah penduduk miskin mencapai 25,90 juta jiwa atau 9,36 persen. Tercatat pula pendapatan yang berada pada garis kemiskinan sebesar Rp550.458,-/kapita/bulan atau sekitar Rp18.348,-/kapita/hari. Begitu pun rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki anggota sebanyak 4,71 orang. Dengan demikian, besarnya garis kemiskinan rumah tangga rata-rata sebesar Rp2.592.657,-/rumah tangga miskin/bulan atau sekitar Rp86.421,-/rumah tangga miskin/hari. (bps.go.id, 17/7/2023)

Bisa dibayangkan apa yang bisa diperoleh dengan uang tersebut? Sementara PPH erat kaitannya dengan konsep pangan Beragam, Bergizi, Seimbang, dan Aman (B2SA). Namun, dengan keterbatasan biaya yang dimiliki tentu sulit bagi masyarakat memenuhi standar makanan yang ditetapkan agar membentuk kondisi keluarga yang sehat. Artinya, perlu memenuhi kebutuhan karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan vitamin dalam konsumsi sehari-hari. Bagaimana dengan kondisi keluarga yang terdiri dari 6 atau 7 bahkan lebih? Belum lagi dengan kebutuhan lainnya seperti biaya pendidikan, kesehatan, transportasi, dan lainnya. Tentu sulit bagi masyarakat untuk mengakses makanan yang sehat dari segi kualitas dan kuantitasnya.

Baca juga: https://narasipost.com/opini/02/2024/ilusi-stabilisasi-pangan/

Dari data Global Food Security Index (GFSI) tercatat Indeks Ketahanan Pangan di Indonesia sendiri masih tergolong di bawah rata-rata dunia, yakni 60,2 di bawah rata-rata global sebesar 62,2 bahkan rata-rata Asia Pasifik sebesar 63,4. GFSI mengukur dari empat indikator besar yaitu keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi dan keamanan makanan (quality and safety), dan ketahanan sumber daya alam (natural resources and resilience).

Di sisi lain, tingginya angka stunting juga masih terjadi. Sebanyak 6,3 juta anak usia dini atau balita alami stunting. Saat ini prevalensi stunting di Indonesia mencapai 21,6 persen. Termasuk provinsi yang dengan skor PPH melebihi target RPJMN 2023 yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta (memiliki prevalensi stunting 16,4%), Nusa Tenggara Barat (memiliki prevalensi stunting 32,7%), Jawa Tengah (memiliki prevalensi stunting 20,8%) dan Sumatera Selatan (memiliki prevalensi stunting 18,6%).

Dengan tingginya angka stunting dan kemiskinan di Indonesia, menjadi bukti bahwa naiknya skor PPH hanyalah pencitraan. Apa yang menjadi riset dan penelitian sama sekali tidak memberikan perubahan yang lebih baik pada kebijakan negara atas kepentingan rakyatnya. Apresiasi-apresiasi yang diberikan hanya hiburan sesaat, sementara rakyat tetap dengan kesusahan hidupnya tapi negara tetap abai atas mereka.

Perbaiki Akses Pangan Rakyat

Seharusnya dengan naiknya skor PPH ini bisa berkorelasi positif atas kemudahan rakyat dalam mendapatkan makanan yang beragam, bergizi, seimbang, dan aman (B2SA) tersebut. Bukan sebaliknya, di tengah realitas bergejolaknya harga kebutuhan pokok rakyat malah mendapatkan kabar seakan Indonesia telah berhasil memenuhi kualitas dan kuantitas pangan rakyatnya. Jelas ini akan menjadi jalan hilangnya kepercayaan rakyat pada pemerintah.

Berbicara masalah pangan bukan hanya sekadar pemenuhan ketersediaannya dalam cakupan nasional ataupun daerah. Melainkan negara memastikan tersampaikannya di tangan rakyat secara individu per individu, sebab inilah yang menjadi permasalahan utamanya. Terjadinya kemiskinan dan stunting akibat sulitnya masyarakat mendapatkan makanan yang sehat dan layak. Bukan semata ada atau tidak adanya makanan tersebut di tengah masyarakat. Semua ini berkaitan dengan persoalan rantai distribusi.

Memang dalam sistem ekonomi kapitalisme paradigma yang dibangun untuk mengidentifikasi negara tersebut sudah tumbuh dari sisi perekonomian adalah dengan ketersediaan atas barang-barang ekonomi, termasuk pangan masyarakat. Wajar jika negara hanya menghitung terkait ketersediaannya saja sementara pendistribusiannya dikelola oleh swasta melalui korporasi. Sudah barang tentu korporasi akan mengambil keuntungan dari bisnisnya ini, hingga sampailah barang-barang tersebut di tangan masyarakat dengan harga yang tinggi. Akibatnya masyarakat terhalangi mendapatkan akses pangan yang sehat dan layak.

Seharusnya negara tidak merasa puas dengan naiknya skor PPH ini. Karena masih banyak hasil riset dan penelitian berkaitan dengan kondisi masyarakat yang menjadi PR bagi pemerintah. Adapun tujuan dilakukannya berbagai riset ini sebaiknya untuk kepentingan rakyat dalam rangka memperbaiki kebijakan yang keliru dan mengubah cara pandang dalam memahami suatu persoalan. Bukan hanya sajian data, tapi tidak berpengaruh dalam kehidupan masyarakat untuk menjadi lebih sejahtera.

Ubah Paradigma Kapitalisme

Sangat bertolak belakang apa yang dilakukan oleh sistem kapitalisme dengan sistem Islam. Islam menetapkan negara wajib menjamin kebutuhan pokok bagi seluruh rakyatnya secara individu per individu dan memastikan distribusi berjalan dengan baik. Semua pengelolaan kebutuhan pokok rakyat ada pada tanggung jawab khalifah, bukan pada swasta. Khalifah diangkat sebagai pelayan, pelindung, dan penanggung jawab atas urusan rakyatnya. Sabda Rasulullah saw.:

"Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Al-Bukhari)

Islam menetapkan kedaulatan dan ketahanan pangan negara menjadi kewajiban untuk diwujudkan. Oleh karena itu, negara Islam (Khilafah) akan menerapkan hukum pertanahan dengan tegas agar produksi pangan bisa dilakukan dengan optimal. Negara akan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi atas lahan pertanian sehingga upaya penyediaan pangan baik dari segi kuantitas dan kualitas akan tetap terjamin. Berikut dengan kemudahan bagi rakyat dalam mengaksesnya, negara akan memastikan tidak adanya kecurangan dalam praktik perdagangan di pasar. Untuk itu, negara akan mengangkat kadi hisbah dalam melakukan pengawasan atas hal demikian.

Adapun negara dalam institusi Khilafah akan memberikan jaminan pemenuhan pangan bagi masyarakat.

Pertama, dengan memampukan para lelaki untuk mencari nafkah, sehingga memudahkan bagi mereka untuk bekerja. Negara akan menyiapkan pendidikan, pelatihan skill, dan membuka lowongan pekerjaan bagi mereka.

Kedua, memberikan bantuan kepada anggota masyarakat yang tidak mampu, baik karena sakit, cacat, lemah, atau sebagainya.

Begitulah Islam yang menjaga rakyatnya dengan sungguh-sungguh. Tdak sedikit pun mengabaikan apa yang menjadi hak rakyat termasuk dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka, sebab itu adalah kebutuhan urgen yang harus segera dipenuhi untuk melanjutkan kehidupan manusia. Hanya Islam satu-satunya yang kita butuhkan dan akan mampu mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Wallahu a'lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Harne Tsabbita Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Invest In Women, Kemajuan atau Kemalangan?
Next
Nak, Jadilah Pribadi yang Jujur
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

3 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Sartinah
Sartinah
8 months ago

Agak aneh hitung-hitungannya ya. Tapi seberapa pun naik skor PPH, rakyat tetap hidup dalam kesulitan. Berarti hitung-hitungannya hanya bagus di atas kertas?

Firda Umayah
Firda Umayah
8 months ago

Memang aneh. Nilai PPH ditingkatkan tetapi faktanya justru masyarakat makin sulit untuk mendapatkan akses pangan

Dewi Kusuma
Dewi Kusuma
8 months ago

Pangan selalu membuat ribet jika tak terpenuhi dengan benar

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram