Pengaturan pengeras suara masjid adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Negara mengaturnya sesuai dengan koridor syariat sehingga syiar Islam bisa menggema ke seluruh penjuru alam
Oleh. Deena Noor
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sebelum Ramadan datang, rupanya pemerintah telah mengeluarkan surat edaran terkait penggunaan pengeras suara masjid. Surat edaran ini berupaya mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan musala selama Ramadan, Hari Raya Idulfitri, dan Iduladha 2024.
Surat Edaran Menteri Agama RI Nomor 1 Tahun 2024 tentang Panduan Penyelenggaraan Ibadah Ramadan dan Hari Raya Idulfitri Tahun 1445 H/2024 M telah ditandatangani pada 26 Februari 2024 lalu. Surat Edaran (SE) Menag ini menganjurkan masyarakat untuk tetap memedomani Surat Edaran Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Berdasarkan SE Menag ini, penggunaan pengeras suara tidak boleh lebih dari 100 desibel.
Sementara itu, dalam pelaksanaan Salat Tarawih, ceramah/kajian Ramadan, dan tadarus Al-Qur’an menggunakan pengeras suara dalam. Melalui surat edaran ini, Kemenag juga mengimbau agar ceramah agama selama Ramadan menjunjung tinggi ukhuah islamiah dan tidak bermuatan politik praktis. (kompastv.com, 7/3/2024)
Seperti apa respons terkait surat edaran dari Menag tersebut? Perlukah pengeras suara masjid untuk diatur? Betulkah regulasi pengeras suara masjid ini untuk kemaslahatan bersama? Bagaimana Islam mengatur tentang pengeras suara di masjid?
Pro dan Kontra pada Aturan Pengeras Suara Masjid
Berbagai respons muncul menanggapi SE Menag tersebut. Ada yang menganggapnya tepat untuk menjaga toleransi masyarakat Indonesia yang beragam. Namun, ada pula yang menganggapnya sebagai bentuk pembatasan terhadap syiar Islam.
Gus Yahya, Ketum PBNU, termasuk yang setuju dengan SE Menag tersebut. Menurutnya, aturan ini sudah dibuat dengan perencanaan yang matang terkait maksud dan tujuannya. Ia mengimbau semua untuk menyikapinya dengan rasional karena SE Menag tersebut untuk kemaslahatan lingkungan secara menyeluruh. Ia juga menyampaikan bahwa masyarakat yang merasa keberatan bisa membuka forum diskusi. Gus Yahya juga mengingatkan agar tidak memanfaatkan isu ini untuk menyerang pemerintah dan membuat perkara. (kumparan.com, 9/3/2024)
Respons positif juga datang dari Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jusuf Kalla. Ia mengatakan bahwa pengaturan pengeras suara masjid sudah diterapkan oleh DMI sejak lama. DMI mengatur agar sound hanya keluar saat azan atau di awal-awal pengajian (5-10 menit awal). Intinya adalah untuk menjaga kesyahduan masjid dan tidak mengganggu masyarakat umum.
Hal senada juga disampaikan oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti. Pihaknya mengapresiasi dan memahami aturan yang dikeluarkan oleh Menag tersebut. Menurutnya, syiar Ramadan tidak bisa diukur dari sound yang keras, tetapi dari kekhidmatan ibadah yang ikhlas. (cnnindonesia.com, 10/3/2024)
Respons berbeda ditunjukkan oleh Direktur Pamong Institue, Wahyudi Al-Maroky, M.si. Ia menilai bahwa SE Menag tersebut tidak produktif terhadap kedamaian umat dan terhadap sikap dalam menyambut Ramadan. Ada kesan bahwa surat edaran terkait pengeras suara masjid tersebut membatasi, mengekang, dan tidak menunjukkan tradisi Ramadan dalam masyarakat yang berbhineka. Menurutnya, surat edaran tersebut wujud islamofobia terhadap ajaran Islam dan syiar-syiarnya. (muslimahnews.net, 10/3/2024)
Wewenang Negara Mengatur Pengeras Suara Masjid
Pengaturan pengeras suara masjid dan musala merupakan urusan administratif negara yang boleh saja dilakukan. Mengatur pengeras suara masjid termasuk kewenangan negara. Jika memang dirasa perlu dan mendesak, negara bisa saja mengeluarkan aturan dan kebijakan terkait hal itu.
Negara berwenang mengupayakan berbagai cara guna menciptakan kehidupan yang baik dan harmonis di tengah masyarakat. Perkara teknis ini sifatnya tidak tetap dan bisa berubah di masa mendatang. Cara bisa bergantung pada kondisi dan kebutuhan. Jika pengaturan pengeras suara ternyata tidak efektif misalnya, negara bisa saja meniadakan aturan tersebut atau menggantinya dengan aturan lain.
Namun, aturan tidak asal dibuat begitu saja sehingga masyarakat bukan kelinci percobaan untuk menguji aturan. Sebelum mengeluarkan suatu aturan atau kebijakan, negara harus mengkaji dengan teliti dan penuh pertimbangan. Dengan begitu, aturan bisa menjangkau tujuan yang diinginkan.
Pengeras Suara Masjid dalam Aturan Sekuler
Pengeras suara masjid merupakan salah satu sarana syiar agama Islam. Dengan adanya pengeras suara, syiar Islam bisa berkumandang. Bukan hanya untuk mengingatkan umat Islam kepada ajaran agamanya, tetapi juga untuk memperlihatkan keindahan Islam kepada seluruh umat manusia.
Namun, hal ini tidak sesuai dengan tatanan kehidupan sekularisme. Dalam sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan, segala hal yang berkaitan dengan agama cenderung dipinggirkan. Agama tidak boleh berada di ruang publik. Agama cukup berada di ruang privat saja. Meski kenyataannya untuk menjalankan agama di ranah pribadi juga tak mudah.
Sekularisme tidak menginginkan agama muncul dan mengatur kehidupan. Karena itulah, keberadaan pengeras suara masjid sebagai sarana syiar agama perlu diatur agar tidak terlalu menonjol. Bahkan kalau bisa ia dihilangkan meski secara perlahan. Jika umat diam saja, maka tidak menutup kemungkinan syiar Islam menjadi kian dibatasi hingga akhirnya benar-benar tiada nantinya.
Pengeras Suara Masjid dan Islamofobia
Dalam sistem yang sekuler ini, tak heran jika syiar agama dipandang mengganggu ketertiban, keharmonisan, dan toleransi di tengah masyarakat yang majemuk. Azan diatur. Pengeras suara masjid dibatasi. Inilah wujud islamofobia.
Para pengusung sekularisme khawatir syiar Islam akan terus berkembang jika sarana-sarana penyiarannya tidak dikontrol. Hal ini akan mengganggu eksistensi sistem yang mereka dukung tersebut.
Mereka lalu melancarkan islamofobia dengan mengangkat isu intoleransi. Islam digambarkan intoleran dan tidak peduli terhadap kehidupan beragama umat yang lain. Umat Islam seperti dikesankan seenaknya saja memakai pengeras suara dalam menjalankan ibadahnya.
Mereka berupaya menunjukkan Islam dengan citra yang jelek. Mirisnya, umat Islam sendiri ikut termakan dengan islamofobia sehingga menjauhi agamanya.
Adanya surat edaran tersebut juga seakan ingin menunjukkan bahwa Islam memang tidak toleran dan semena-mena. Syiar Islam seperti azan, selawatan, ataupun bacaan Al-Qur’an dianggap mengganggu karena bising sehingga harus ditertibkan. Bisa dikatakan jika surat edaran tersebut merupakan bentuk islamofobia.
Pengeras Suara Masjid dan Moderasi Beragama
Di sisi lain, pengaturan pengeras suara juga tidak bisa dilepaskan dari implementasi proyek moderasi beragama. Coba perhatikan. Sebelum adanya proyek moderasi beragama, syiar Islam dari masjid tidak pernah dipermasalahkan atau diutak-atik. Masyarakat juga saling menghormati agama dan keyakinan orang lain. Toleransi beragama pun berjalan di tengah masyarakat.
Namun, sejak adanya moderasi beragama, ajaran Islam direduksi dan syiar Islam berupaya dibatasi. Umat Islam ‘diatur’ agar jangan sampai terlalu mendalami agamanya. Beragama cukup yang tengah-tengah saja demi menjaga toleransi.
Selain itu, surat edaran menteri tersebut berpotensi menimbulkan ketidakharmonisan. Bahkan, konflik bisa muncul karena adanya perbedaan dalam menerjemahkannya di lapangan. Padahal, SE Menag tersebut sifatnya edukasi karena bukan produk UU.
Pengaturan penggunaan pengeras suara masjid berupaya untuk meredupkan syiar Islam dengan dalih mewujudkan harmonisasi dan toleransi. Ini adalah moderasi beragama yang sejatinya merupakan sekularisasi. Tujuannya agar umat Islam menjadi umat yang moderat dengan menjauhkan agama dari kehidupan.
Sekularisme Biang Masalah
Masalah sesungguhnya tidak terletak pada penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. Namun, pada penerapan sekularisme dalam kehidupan. Inilah biang masalahnya. Pemisahan agama dari kehidupan ini yang menjadikan manusia berbuat seenaknya, termasuk dalam membuat aturan.
Di era sekularisme hari ini, kebijakan dan aturan yang dibuat negara tidak dilandaskan pada prinsip agama. Agama dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Akibatnya, aturan tersebut akan bertentangan dengan agama dan membawa dampak buruk pada kehidupan umat di segala sisi.
Negara yang menganut sekularisme cenderung abai terhadap urusan rakyatnya. Termasuk dalam urusan akidah dan ibadah, negara tidak mengurusi. Orang mau salat atau tidak, negara juga tidak ambil pusing. Umat Islam menjadi tidak peduli pada agamanya, apalagi mau menjalankan ajarannya.
Penerapan sekularisme inilah yang memunculkan islamofobia dan moderasi beragama yang berbahaya bagi umat Islam. Selain itu, sekularisme juga meniadakan peran negara sebagai pelindung dan pelayan umat.
Aturan untuk Kemaslahatan
Ketika Islam menjadi dasar negara, maka aturan dan kebijakannya juga akan selalu berpijak pada syariat Islam. Aturan yang dibuat adalah demi kemaslahatan umat. Negara akan mengupayakan segala cara untuk mewujudkannya.
Dengan Islam, negara akan mampu menjalankan perannya sebagai pelayan rakyat. Negara akan bekerja untuk mewujudkan kehidupan rakyat yang sejahtera dan harmonis. Tidak hanya menjamin kebutuhan pokok rakyatnya, tetapi negara juga memperhatikan urusan akidah dan ibadah.
Penerapan Islam secara menyeluruh akan memungkinkan negara untuk melindungi rakyatnya dari segala hal yang membahayakan akidah. Negara akan memberangus budaya dan pemikiran yang rusak dan merusak hingga ke akar-akarnya.
Adapun berkaitan dengan pengaturan administratif, negara mengaturnya sesuai dengan ketentuan syariat. Pengaturan pengeras suara masjid adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Negara mengaturnya sesuai dengan koridor syariat sehingga syiar Islam bisa menggema ke seluruh penjuru alam, sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Hajj ayat 32:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
Artinya: “Demikianlah (perintah Allah). Siapa saja yang menggaungkan syiar-syiar Allah, sungguh hal demikian muncul dari ketakwaan kalbu.”
Ketika ada keluhan mengenai pengeras suara yang terlalu nyaring atau mengganggu, negara menerimanya dan mencari jalan keluar yang adil bagi semua pihak. Namun, dengan pengaturan yang sesuai syariat, semestinya tidak ada yang mengeluh atau komplain tentang hal tersebut. Syariat Islam yang komprehensif mampu menjangkau setiap urusan umat manusia dan mengaturnya dengan baik.
Khatimah
Penerapan syariat Islam pasti akan membawa maslahat bagi setiap insan. Syariat Islam hanya bisa diterapkan secara kaffah oleh negara dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiah. Karena itu, memperjuangkannya agar tegak kembali adalah sebuah tugas mulia demi meraih kehidupan yang diridai-Nya.
Wallahu a’lam bishshawwab. []
Isu lama yang kembali digaungkan. Tujuannya tidak lain untuk membatasi syiar Islam. Karena sistem sekuler tidak akan pernah berpihak kepada dakwah Islam.