Tujuan dari pengembangan fungsi KUA untuk pernikahan semua agama dalam rangka mewujudkan kesetaraan.
Oleh. Mariyah Zawawi
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan Penulis Riak Literasi)
NarasiPost.Com-Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas kembali memberikan kejutan kepada umat Islam. Baru-baru ini, ia mengeluarkan satu kebijakan baru, yakni menjadikan Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai tempat pencatatan pernikahan semua agama. Tujuannya, agar data pernikahan dan perceraian dapat terintegrasi. (cnnindonesia.com,24/02/2024)
Respons Para Tokoh
Rencana ini pun mendapat respons beragam dari beberapa tokoh lintas agama. Marsudi Syuhud, Wakil Ketua Umum MUI Pusat, meminta Menag bermusyawarah dengan semua pemuka agama agar tidak ada salah paham. Menurutnya, di KUA harus disediakan petugas khusus untuk menikahkan muslim dan nonmuslim.
Sedangkan Agustinus Heri Wibowo, Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia menyatakan bahwa KUA lebih tepat menjadi tempat mencatatkan pernikahan semua agama. Namun, tempat pernikahan diserahkan ke agama masing-masing.
Hal senada disampaikan oleh Henrek Lokra, Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian (KP) Persekutuan Gereja-gereja Indonesia. Ia berpendapat bahwa sebaiknya rencana itu dipertimbangkan dengan matang. Hal itu karena dalam agama Kristen, pernikahan merupakan urusan privat yang dilaksanakan di gereja dengan pemberkatan dari gereja.
Sementara itu, Ace Hasan Syadzily, Wakil Ketua Komisi VIII DPR menyarankan agar pelaksanaan rencana itu didukung dengan SDM dan regulasi. Hal itu karena menurut UU Perkawinan, pernikahan dalam Islam harus mendapatkan legalitas negara dari KUA. Ace juga mengingatkan Menag bahwa tugas KUA selama ini bukan hanya mengurus pernikahan, tetapi juga urusan keagamaan lainnya, seperti, zakat, wakaf, haji, dan lain-lain. (cnnindonesia.com, 26/02/2024)
Sementara itu, Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid (HNW) mengkritisi kebijakan ini. Politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menyatakan bahwa rencana tersebut tidak mempunyai pijakan sejarah alias ahistoris. Selain itu juga dapat memicu disharmoni di antara pemeluk agama.
Menurut HNW, KUA adalah institusionalisasi jabatan penghulu. Hal ini telah dilakukan jauh sebelum kemerdekaan. Setelah kemerdekaan, pembagian kewenangan pencatatan nikah diatur melalui UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Di samping itu juga diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974. (cnnidonesia.com, 27/02/2024)
Tugas dan Fungsi KUA
KUA merupakan unit pelaksana teknis di Kementerian Agama (Kemenag) yang berada di bawah Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (BIMAS) Islam. Tugas dan fungsi lembaga ini ternyata tidak hanya sebagai tempat untuk mengurus pernikahan dan perceraian. Keputusan Menteri Agama No. 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan, menyebutkan tugas dan fungsi KUA adalah:
Pertama, menyelenggarakan statistik dan dokumentasi. Kedua, menyelenggarakan surat-menyurat, pengetikan, kearsipan, dan rumah tangga KUA kecamatan. Ketiga, melaksanakan pencatatan nikah dan rujuk.
Keempat, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, dan baitulmal. Di samping itu juga menangani ibadah sosial, kependudukan, serta pengembangan keluarga sakinah. Semua ini harus sesuai dengan kebijakan Dirjen Bimas Islam berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Tirani Minoritas?
Selama ini, pemeluk agama lain menikah di tempat ibadah mereka. Mereka yang beragama Kristen menikah di gereja dan mendapat akta nikah dari sana. Pemeluk agama Buddha menikah di wihara. Sementara itu, pemeluk agama Hindu menikah di pura.
Di Indonesia juga terdapat pemeluk Konghucu. Mereka menikah di Klenteng dan mendapatkan surat pemberkatan agama Konghucu yang disebut Li Yen. Setelah itu, mereka akan mendapatkan akta pernikahan dari Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia.
Para pemeluk agama selain Islam itu akan mendaftarkan pernikahan mereka di Disdukcapil (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) setelah mendapat akta nikah dari tempat pernikahan mereka masing-masing. Hal ini telah berlangsung lama. Mereka juga tidak pernah mempersoalkan hal itu. (cnnindonesia.com, 26/02/2024)
Hal ini sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang administrasi kependudukan. UU ini menetapkan bahwa pernikahan penduduk yang muslim dicatat KUA. Sedangkan pemeluk agama lain dicatat di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Lantas, mengapa Menag menetapkan KUA sebagai tempat menikah semua agama? Alasannya, kaum muslim di Indonesia adalah mayoritas. Oleh karena itu, mereka harus melindungi saudara-saudaranya yang minoritas.
Begitulah, umat Islam di Indonesia sering dipaksa untuk mengalah dengan alasan menjaga hak minoritas. Namun, hak mereka sendiri sering diabaikan. Hal ini sudah lama terjadi.
Seperti yang dilakukan oleh Menag Fachrul Razi yang melarang penggunaan cadar dan celana cingkrang di instansi pemerintah. Ia juga menggagas sertifikasi penceramah. Ia juga yang melakukan perombakan pada 155 buku pelajaran agama Islam. Beberapa di antaranya karena berisi konten Khilafah. (cnnindonesia.com, 11/12/2019)
Agenda Moderasi Beragama
Apa yang dilakukan oleh Menag merupakan perwujudan dari agenda moderasi beragama di Indonesia. Hal itu terungkap dari pernyataannya yang mengatakan bahwa pengembangan fungsi KUA untuk pernikahan semua agama dalam rangka mewujudkan kesetaraan. Ia tidak menginginkan adanya perbedaan perlakuan terhadap umat beragama lain. Oleh karena itu, KUA akan menjadi sentra pelayanan keagamaan semua agama.
Sekularisasi Global
Ide moderasi beragama muncul dari Daniel Pipes, pendiri Middle East Forum. Pada tahun 2004, ia menulis artikel yang berjudul, RAND Corporation and Fixing Islam. Melalui artikel tersebut, ia berharap agar Cheryl Benard, peneliti RAND Corporation dapat merumuskan sebuah strategi untuk memodifikasi ajaran Islam. Cheryl Benard kemudian menyebut strategi itu dengan istilah religious building.
Upaya memodifikasi ajaran Islam ini dilakukan agar umat Islam tunduk kepada AS. Mereka paham bahwa ajaran Islam yang murni tidak memberi kesempatan kepada nonmuslim untuk mengendalikan umat Islam, tanah, kekayaan, serta sumber daya mereka. Oleh karena itu, mereka berupaya memasukkan ide-ide Barat, seperti demokrasi, gender, HAM, dan sebagainya ke dalam pemikiran umat Islam.
Untuk menyukseskan program ini, disusunlah strategi yang terangkum dalam buku Building Moderate Muslim Network. Mereka kemudian menjadikan tokoh-tokoh Islam yang bercita-cita memodernkan Islam sebagai mitra yang akan bekerja dari dalam. Mereka inilah yang kemudian mengemban ide yang disebut Islam moderat ini agar lebih diterima oleh umat Islam.
Tak cukup dengan menggandeng tokoh-tokoh Islam, penyebaran ide moderasi beragama itu kemudian dilakukan oleh pemerintah. Di Indonesia, program ini telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020–2024. Presiden Jokowi kemudian memberi amanah khusus kepada Kementerian Agama untuk menyukseskan program ini sekaligus sebagai program prioritas Kemenag 2021.
Untuk menjaga keberlangsungan program ini, pemerintah telah mengeluarkan Perpres Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama. Melalui Perpres ini, umat Islam diharapkan akan memiliki komitmen kebangsaan, toleransi, serta antikekerasan. Di samping itu, mereka juga akan lebih ramah terhadap budaya lain serta memiliki nilai-nilai sekularisme yang kuat.
Memiliki komitmen kebangsaan mengharuskan umat Islam meninggalkan ketaatan terhadap hukum syarak. Sebagai gantinya, mereka harus tunduk terhadap aturan buatan manusia yang sesuai dengan konsep demokrasi. Hal ini menunjukkan adanya upaya sekularisasi terhadap pemikiran umat Islam. (muslimahnews.net, 10/10/2023)
Nonmuslim dalam Sistem Islam
Islam adalah rahmat bagi semuanya, baik muslim maupun nonmuslim, sesuai dengan surah Al-Anbiya [21]: 107.
وَمَآ أرْسَلْنَاكَ إلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
Artinya: “Dan Kami tidak mengutusmu, kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. ketika beliau menjadi pemimpin di Daulah Islam yang pertama. Hal itu pula yang dilakukan oleh para khalifah yang menggantikan beliau.
Ketika Rasulullah saw. dan para khalifah berhasil membebaskan suatu wilayah, mereka tidak memaksa penduduk wilayah itu untuk memeluk Islam. Mereka juga tidak diusir dari negeri itu selama mereka tunduk terhadap aturan Islam. Mereka itu disebut kafir zimi.
Tidak ada perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang nonmuslim. Mereka berhak mendapatkan perlindungan dan penjagaan dari negara, baik dalam kehidupan, harta, maupun akal. Mereka juga mendapatkan hak untuk memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karena itu, mereka yang tidak mampu berhak mendapatkan bantuan dari baitulmal.
Mereka juga berhak mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan. Mereka juga boleh melakukan muamalah dengan kaum muslim sesuai dengan aturan syarak. Demikian pula, mereka juga mendapat perlindungan dalam hal keyakinan dan kehormatan mereka.
Dalam urusan makanan, pakaian khas keagamaan, serta ibadah, mereka dibiarkan untuk mengikuti tata cara agama mereka. Namun, semua itu hanya boleh dilakukan di ruang privat. Mereka tidak boleh mempertontonkannya di ruang publik. Hal ini untuk menerapkan sabda Rasulullah saw. dalam hadis riwayat Bukhari.
الْإسْلَامُ يَعْلُو وَلَا يُعْلىَ عَلَيْهِ
Artinya: “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.”
Dari sini dapat disimpulkan bahwa dalam sistem Islam, asas kehidupan bernegara dan bermasyarakat adalah akidah Islam. Segala aspek kehidupan harus berdasarkan asas ini. Kaum muslim dapat menjalankan aturan Islam secara kaffah. Meskipun demikian, hak umat beragama lain tetap dijaga.
Wallaahu a’lam bi ash-shawaab. []
Atas nama moderasi beragama semua dilakukan. Kini, KUA yang jadi sasarannya. Makin sekuler saja negeri ini. Astagfirullah.
Semoga sekularisasi itu akan segera berakhir
Agenda moderasi beragama sepertinya sudah dirancang sangat terstruktur. Di semua aspek sudah menyusup program-program moderasi, dari instansi pemerintahan, pendidikan, dll. Memang betul sih, kepemimpinan oleh sistem yang rusak akan melahirkan pejabat yang buruk pula.
Betul sekali
Menteri paling ngadi-ngadi, senang buat kebijakan kontoversi..Jika saja non muslim tahu bagaimana penjagaan Syariat Islam pada mereka, bakal mendukung penerapannya. Hanya termakan isu radikalisme, terorisme, akhirnya jadi takut pada ajaran Islam.
Efek luar biasa dari propaganda islamofobia
Di tulisan ini terjawab, meski tersirat, alasan mengapa maunya 3 periode atau "menetapkan" pengganti yg bakal melanjutkan program-programnya, yaitu di masa kepemimpinannya ini seluruh program moderasi beragama melenggang serupa jalan tol.
Astaghfirullah
Ya, sesuai arahan