Krisis Utang Negara, Kapankah Rakyat Sejahtera ?

Krisis utang negara

Krisis utang akan menjadikan sebuah negara terpuruk dan tergadaikan. Rakyat pun akan terkena imbasnya hingga jauh dari sejahtera.

Oleh. Sabrina Az-Zahra
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Utang telah melanda negeri ini. Menurut Kementerian Keuangan (Kemenkeu), utang pemerintah pada Januari 2024 meningkat sebesar 108,4 triliun rupiah dari 8.144,69 triliun rupiah pada Desember 2023. Dalam hal rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), rasio tersebut berada di level 38,75% pada Januari 2024, masih di bawah batas aman 60%.

Laporan Kemenkeu yang diterbitkan dalam Buku APBN KiTA pada Selasa (26/2) menyatakan, "Rasio utang ini juga serta lebih baik dari yang telah ditetapkan melalui Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah 2024-2027 di kisaran 40 persen." (Jakarta, CNN Indonesia).

Ketika Kementerian Keuangan atau Kemenkeu menyebutkan utang pemerintah sebesar Rp8.253 triliun per 31 Januari 2024 masih dalam rasio aman, karena berada di bawah ambang batas 60 persen dari produk domestik bruto atau PDB. Para ekonom justru berpendapat sebaliknya.

Sebagaimana menurut ekonom dari Bright Institute, Awalil Rizky mengatakan "Batas atas 60 persen dalam UU tentang Keuangan Negara mestinya tidak ditafsirkan sebagai batas aman kondisi utang, melainkan yang tidak boleh dilampaui."

Menurut paparan sebelumnya kita ketahui, rasio utang pemerintah per akhir Januari kemarin setara dengan 38,75 persen dari PDB. Ini berbeda dengan krisis ekonomi sebelumnya pada tahun 1998, ketika rasio utang pemerintah meningkat, mencapai 37,92 persen pada tahun 1997, dan 61,74 persen pada tahun 1998. "Rasio pada akhir 1997 bahkan lebih rendah dari akhir 2023 ini," tutur Awalil.

Bhima Yudhistira, ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), menyatakan hal yang sama. Dia berpendapat bahwa pemerintah tidak seharusnya terjebak dalam keadaan di mana rasio utangnya di bawah 60 persen.

Dia menyatakan bahwa pemerintah berencana menaikkan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2025, yang dikenal sebagai APBN. Dalam sidang kabinet yang diadakan Senin kemarin, defisit APBN diproyeksikan berada di antara 2,45 dan 2,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). (Jakarta, TEMPO.CO)

Sementara itu, kenaikan utang tidak sebanding dengan pendapatan dari pajak dan PNBP tahun ini. Dia menyatakan bahwa penurunan PNB jelas merupakan akibat dari ketergantungan Indonesia pada pergerakan harga komoditas.

Oversupply nikel yang menyebabkan penurunan harganya adalah contohnya. Permintaan juga menurun di negara-negara tujuan ekspor. Selain itu, Bhima menyatakan bahwa belanja negara untuk proyek infrastruktur sangat agresif.

Belum lagi tanggung jawab BUMN Karya, yang sebagian utangnya dibayar oleh negara. "Praktik utang ugal-ugalan tanpa solusi untuk rem utang bakal menghambat pertumbuhan ekonomi," tutur Bhima.

Menurut analisis Bhima, setiap orang akan menanggung beban utang pemerintah 30,5 juta rupiah jika utang pemerintah itu ditanggung oleh tiap warga negara Indonesia. Bahkan Bima memperkirakan, beban utang yang ditanggung warga kemungkinan meningkat menjadi 40 juta rupiah. Sebab pemerintah lebih masif postur belanjanya dalam beberapa tahun ke depan. (Jakarta, TEMPO.CO)

Menyingkap Fakta dan Solusi Tuntas

Fakta di atas menunjukkan secara jelas bahwa suatu negara yang diatur oleh sistem kapitalisme salah satu pemasukan utamanya adalah utang. Utang ini sebenarnya membahayakan kedaulatan negara karena dapat mengarah pada dominasi asing atas negara atau penjajahan.

Sebagai contoh, Sri Lanka harus menyerahkan pelabuhan internasional Hambantota kepada Cina, yang merupakan efek dari proyek strategis, bukan kebijakan pengambilalihan.

Ini masih efek dari proyek strategis, belum kebijakan penghapusan subsidi dan kebijakan lain yang menyengsarakan rakyat. Apalagi utang saat ini, tentu dengan riba.

Padahal riba adalah perkara yang tidak bisa dihapus. Ini adalah perkara yang Allah Swt. haramkan. Namun, beginilah nasib negara kapitalisme. Utang adalah satu keniscayaan, bahkan menjadi salah satu cara yang wajar dalam membangun negara dengan dalih masih dalam batas aman.

Sangat berbeda dengan negara yang menggunakan sistem Islam. Sistem Islam memiliki sistem ekonomi dan politik yang unik yang akan membuat sebuah negara menjadi negara berdaulat, mandiri, dan adidaya.

Politik Islam berkaitan dengan mengatur urusan rakyat, sementara ekonomi Islam berbicara tentang menjamin kesejahteraan masyarakat. Keduanya harus dilakukan dengan cara yang diatur oleh syariat Islam.

Jika sistem ini dan sistem Islam lainnya diterapkan, insyaallah, negara ini akan menjadi negara yang berdaulat, mandiri, dan adidaya. Bukti penerapan sistem Islam oleh negara telah ada selama kurang lebih 1.300 tahun. Negara tersebut bernama Daulah Khilafah.

Pengaturan Utang Negara Dalam Islam

Dalam hal utang, terutama yang dilakukan oleh negara, Islam mengatakan bahwa utang hanya boleh dilakukan untuk keperluan mendesak dan bahwa jika utang ditangguhkan, akan terjadi kerusakan dan kebinasaan bagi masyarakat.

Sebagai contoh, membangun jembatan di wilayah terisolir perairan, membangun layanan kesehatan di wilayah terpencil, dan hal-hal seperti itu. Namun, hal-hal yang dapat ditangguhkan harus diawasi.

Harta dimiliki oleh negara. Renovasi gedung pemerintahan, biaya pemeliharaan taman kota, dan sebagainya adalah contohnya. Aturan ini menghalangi negara untuk menambah utang.

Karena negara Islam memiliki sistem keuangan yang kuat dan stabil, utang adalah cara terakhir untuk mengeluarkan biaya. Mekanisme ini dapat menghasilkan surplus keuangan negara bahkan dalam situasi normal.

Sistem pemasukan negara Islam telah dijelaskan pada kitab Ajhizah Ad-Daulah Al-Khilafah. Baitulmal memiliki tiga tempat untuk memasukkan uang. Pertama, dan terpenting, pos kepemilikan negara.

Harta pos ini berasal dari harta negara, seperti ganimah, anfal, fai, khumus, kharaj, dan status tanah, seperti tanah unwah, usyriyah, as-sawafi, tanah milik negara, tanah milik umum, dan tanah-tanah yang dilindungi. Selain pemasukan tetap negara dari properti ini, ada juga pemasukan tidak tetap dari dharibah atau pajak.

Dalam hal dharibah atau pajak, perlu diketahui bahwa mereka sangat berbeda dari pajak dalam sistem kapitalisme. Dharibah hanya diberikan ketika kas baitulmal kurang atau kosong, atau ketika negara membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhan rakyat.

https://narasipost.com/opini/01/2024/petaka-kapitalisme-utang-negara-meroket/

Dengan kata lain, dharibah hanya bersifat sementara atau temporer. sampai anggaran negara menjadi cukup. Kaum muslimin yang memiliki banyak harta hanya akan dimintai dharibah setelah kebutuhan mereka dan keluarga mereka terpenuhi, sementara warga kafir zimi Daulah tidak akan dimintai dharibah.

Kedua, pos kepemilikan umum. Berfungsi sebagai pengelolaan sumber daya alam mencakup sumber daya alam tambang (misalnya, emas, batu bara, gas alam, nikel, dan sebagainya); sumber daya alam hutan; dan sumber daya alam perairan (misalnya, danau, laut, selat, sungai, dan sebagainya).

Selanjutnya, pos zakat. Zakat, shadaqah, infak, dan wakaf kaum muslimin adalah sumber kekayaan. Masing-masing pos baitulmal ini memiliki alur pengeluaran unik yang tidak boleh ditukar.

Misalnya, jika negara ingin membangun infrastruktur publik, mereka tidak boleh mengambil uang dari harta zakat karena harta zakat hanya diberikan untuk digunakan bagi golongan yang telah diperintahkan untuk menerimanya. Sebaliknya, mereka hanya dapat mengambil uang dari pos kepemilikan negara dan pos kepemilikan umum jika mereka ingin membangun infrastruktur.

Mekanisme seperti ini membuat keuangan negara kuat dan stabil, bahkan dapat menciptakan surplus. Salah satu contohnya adalah pada masa Khilafah Harun al-Rashid.

Menurut Najibah Badi, pada masa Khalifah Harun al-Rashid keuangan negara mengalami surplus sebesar 900 juta dinar. Negara tidak boleh mengambil utang ribawi bahkan jika kondisi kas baitulmal tidak ada dan negara harus berutang.

Karena utang ribawi tidak hanya haram, tetapi juga dapat menimbulkan dharar atau mengancam kedaulatan negara. Sehingga Daulah Khilafah tidak bergantung dengan negara lain. Negara pun akan bebas dari utang dan menjadi negara independen.
Wallahu a’lam bi ash-showab. []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Sabrina Az-Zahra Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Mengakhiri Hidup Akibat Utang? No Way!
Next
Menyoal Pengaturan Pengeras Suara Masjid
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

3 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback
9 hours ago

[…] Baca: Krisis Utang Negara, Kapankah Rakyat Sejahtera? […]

trackback
3 days ago

[…] Baca: Krisis Utang Negara, Kapankah Rakyat Sejahtera? […]

Firda Umayah
Firda Umayah
6 months ago

Gak heran kalau utang negara malah makin banyak. Lah wong utang dijadikan salah satu pemasukan utama. Begini nih kalau sistem kapitalisme yang diterapkan.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram