Forest city menjadi konsep bagi calon Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. IKN digadang-gadang menjadi kota bebas emisi karbon.
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Rempaka Literasiku/Bianglala Aksara)
NarasiPost.Com-Forest city atau kota hutan menjadi konsep bagi calon Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. IKN digadang-gadang menjadi kota maju dan bebas emisi karbon. Oleh karena itu, semua yang menghasilkan banyak emisi karbon akan dilarang. Salah satunya adalah mobil dinas. Sudah menjadi rahasia umum jika mobil dinas menjadi salah satu "jatah" yang diberikan oleh negara kepada para pejabat. Namun, kebijakan pemberian mobil dinas tampaknya tidak akan berlaku bagi para pejabat yang kelak bermigrasi ke IKN.
Kebijakan tersebut dijelaskan oleh Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Otorita IKN, Silvia Halim, dalam sebuah agenda bertajuk Indonesia Architecture Exhibition & Conference di ICE BSD, Tangerang, pada Kamis (22/2) lalu. Silvia menyebut, pejabat pemerintah yang akan dinas di IKN tidak akan mendapatkan jatah mobil dinas resmi, kecuali presiden dan menteri. Sebagai gantinya, mobilitas para pejabat akan diarahkan untuk memanfaatkan transportasi umum. (cnnindonesia.com, 24/2/2024)
Lantas, mengapa pemerintah tak memberi kendaraan dinas bagi para pejabat IKN? Apakah kebijakan tersebut tepat dan berdampak pada efisiensi energi? Bagaimana pula pandangan Islam tentang pembangunan infrastruktur yang ramah lingkungan?
Forest City IKN, Menjaga Ekosistem Hutan?
Forest city merupakan konsep kota hutan yang berkelanjutan yang berada dalam kawasan hutan. Meskipun berada di lingkungan hutan, pembangunannya akan tetap menjaga ekosistem hutan agar tidak terjadi kerusakan alam. Konsep tersebut sedang diwujudkan sebagai komitmen pemerintah untuk menjadikan IKN sebagai kota ramah lingkungan dengan 80 persen transportasi publik dan 100 persen kendaraan listrik.
Kepala Otorita IKN, Bambang Susantono, mengatakan bahwa pemerintah sedang mengembangkan satu sistem transportasi yang berkelanjutan dengan membangun moda transportasi darat, laut, dan udara yang berbasis listrik. Rencana pembangunan transportasi "hijau" tersebut demi mewujudkan impian sebagai kota net zero emission pada 2045 mendatang.
Selain itu, IKN juga dirancang sebagai kota 10 menit yang menitikberatkan pada Transit Oriented Development (TOD). TOD sendiri merupakan konsep pembangunan yang saling terhubung antara perumahan, perkantoran, dan pemberhentian transportasi umum untuk memudahkan mobilisasi masyarakat (detik.com, 23/2/2024).
IKN pun nantinya akan memberikan prioritas pada beberapa mobilisasi warga, sebagaimana dinyatakan oleh Presiden Jokowi. Jokowi menyebut, nantinya prioritas utama di IKN adalah para pejalan kaki, disusul pesepeda, dan pengguna transportasi umum. Presiden pun melarang penggunaan kendaraan berbasis mesin atau konvensional di IKN. Lantas, apakah kebijakan ini akan efektif dan berpengaruh terhadap efisiensi energi?
Efektivitas Kebijakan dan Efisiensi Energi di IKN
Mengganti energi fosil dengan energi yang ramah lingkungan memang seharusnya segera dilakukan demi menjaga kelestarian lingkungan. Salah satu langkah pemerintah adalah dengan tidak memberi kendaraan dinas kepada para pejabat. Sayangnya, kebijakan tersebut telah memicu kritik dari beberapa pihak. Salah satunya dari pemerhati otomotif, Munawar Chalil. Chalil menyebut, tujuan Jokowi mewujudkan IKN bebas emisi tidak sesuai dengan apa yang dilakukan pemerintah dalam membangun IKN yang dianggap telah merusak hutan. Di sisi lain, Chalil pun mengatakan bahwa kebijakan pelarangan mobil berbasis mesin atau konvensional dinilai kurang tepat saat ini.
Pasalnya, harga kendaraan listrik saat ini masih terbilang mahal dan belum sepenuhnya terjangkau oleh seluruh kalangan. Sebagai informasi, mobil listrik berkapasitas lima orang penumpang yang paling murah saat ini adalah Hyundai Ioniq Electric dan Kona Elektric yang dibanderol sekitar Rp600 juta. Harga tersebut tentu masih sangat mahal dan belum bisa dijangkau oleh semua orang. Oleh karena itu, menurut Munawar, sebaiknya penggunaan kendaraan listrik dilakukan oleh instansi pemerintahan terlebih dahulu. (cnnindonesia.com, 25/2/2022)
Memang benar bahwa penggunaan kendaraan listrik lebih ramah lingkungan dan hemat energi ketimbang kendaraan berbasis mesin. Peneliti dari Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov, bahkan menyebut bahwa penggunaan kendaraan listrik secara masif dapat mengurangi subsidi energi yang sangat memberatkan APBN. Sebagai gambaran penghematan APBN adalah simulasi yang dilakukan oleh INDEF. INDEF mengumpamakan, penjualan 600.000 unit motor listrik dan 100.000 unit mobil listrik saja memiliki potensi penghematan dalam bentuk kompensasi energi sebesar Rp700 miliar pada APBN. (kontan.co.id, 15/2/2024)
Namun, seharusnya kita tidak hanya melihat persoalan ini dari satu sisi saja. Efek-efek lain dari penggunaan kendaraan listrik pun tidak boleh dilupakan, seperti terjadinya lonjakan penggunaan energi listrik. Misalnya, ketika kendaraan listrik di dalam negeri mudah didapatkan maka akan meningkatkan permintaan energi listrik. Energi listrik yang dibutuhkan tidak hanya untuk mengisi baterai kendaraan listrik, tetapi dalam produksi baterainya pun memerlukan energi yang cukup besar.
Sayangnya, sumber energi listrik yang diandalkan Indonesia masih berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang tinggi emisi. Persentase penggunaan energi fosil sendiri sebesar 71 persen pada 2021. Hal ini berdasarkan laporan Climate Transparency Report: Comparing G20 Climate Action 2022. Meskipun pemerintah telah menargetkan penggunaan energi baru dan terbarukan sebesar 25 persen pada 2045 mendatang, tetapi tak bisa dimungkiri bahwa ketergantungan pada energi fosil masih sangat tinggi.
Jika terjadi peningkatan permintaan kendaraan listrik yang pasokan energinya berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil, ini menunjukkan bahwa penggunaan kendaraan listrik tidak serta-merta mampu memperbaiki kualitas udara. Pasalnya, meski kendaraan listriknya ramah lingkungan, tetapi PLTU batu bara yang menyuplai energi untuk mobil listrik justru masih menghasilkan polusi.
Di sisi lain, meskipun kendaraan listrik disebut mampu menurunkan beban subsidi dari APBN, tetapi pada saat yang sama justru menaikkan konsumsi energi karena melonjaknya permintaan kendaraan listrik. Ini sama saja jika pemerintah sedang melakukan perbaikan lingkungan di satu sisi, tetapi merusaknya di sisi yang lain.
IKN dan Delusi Pembangunan Ramah Lingkungan
Sejak awal, IKN memang dirancang menjadi kota ramah lingkungan. Berbagai kebijakan untuk mendukung terwujudnya kota impian tersebut pun dilakukan oleh pemerintah. Sayangnya, upaya membangun kota ramah lingkungan tersebut tidak sejalan dengan langkah pemerintah saat menyediakan lahan.
IKN dibangun di atas lahan seluas 256 ribu hektare. Lahan yang berstatus hutan tersebut justru disebut oleh para pengamat telah merusak kawasan. Meskipun pemerintah mengeklaim bahwa apa yang dilakukannya adalah untuk memperbaiki hutan, tetapi visi "forest city" yang diusung untuk IKN tampaknya tak sesuai realitas. Sebelumnya, pemerintah dan Bappenas telah memaparkan bahwa IKN adalah kota masa depan yang maju dan hijau. Pemerintah pun menyebut bahwa 70 persen wilayah IKN adalah kawasan hijau.
https://narasipost.com/opini/08/2023/mata-rantai-kapitalistik-dalam-insentif-mobil-listrik/
Namun, pernyataan pemerintah tersebut justru menyisakan satu pertanyaan kritis. Jika pemerintah menyebut bahwa 70 persen wilayah IKN adalah kawasan hijau, itu berarti 30 persennya telah beralih fungsi. Kemungkinan terdekatnya, 30 persen wilayah tersebut sedang dilakukan deforestasi besar-besaran. Deforestasi tersebut dilakukan untuk pembangunan infrastruktur dan sebagainya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Dosen Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwiko Budi Permadi.
Padahal, hutan adalah paru-paru dunia. Jika terjadi perubahan lanskap hutan, baik secara kualitas maupun kuantitas, akan mengakibatkan perubahan kualitas paru-paru tersebut. Jika pemerintah serius membangun kota yang ramah lingkungan, seharusnya pemerintah juga menghutankan kembali 30 persen sisanya dari 70 persen wilayah yang disebut sebagai kawasan hijau. Jika hal itu tidak dilakukan, maka klaim membangun kota ramah lingkungan hanyalah retorika semata.
Namun, inilah wajah pembangunan dalam sistem kapitalisme. Pembangunan akan terus digenjot dengan dalih pemerataan dan pertumbuhan ekonomi, meskipun harus mengorbankan kelestarian lingkungan. Ambisi menjadikan IKN sebagai kota pintar dan ramah lingkungan ternyata harus dibayar mahal dengan rusaknya hutan karena telah beralih fungsi. Padahal, kerusakan tersebut sangat sulit dipulihkan kembali. Andaipun dilakukan pemulihan, butuh waktu puluhan tahun untuk bisa mengembalikan hutan sebagai paru-paru dunia.
Solusi Islam
Infrastruktur menjadi salah satu kebutuhan penting yang menunjang kemajuan suatu negara. Paradigma kapitalisme dalam memandang infrastruktur sangat berbeda dengan Islam. Untuk membangun sebuah peradaban, salah satu pilar yang dibutuhkan adalah infrastrukturnya. Pasalnya, infrastruktur menjadi salah satu faktor untuk mewujudkan penyediaan layanan kepada rakyat, mempermudah kegiatan ekonomi, maupun mewujudkan kesejahteraan.
Insfrastruktur dan Kelestarian Lingkungan
Di dalam Islam, infrastruktur dibangun di atas pandangan yang jauh berbeda dengan sistem kapitalisme. Pada intinya, pembangunan infrastruktur dalam Islam berbasis kemaslahatan rakyat, bukan keuntungan ekonomi semata, apalagi keuntungan para pemilik modal.
Berikut beberapa paradigma Islam terkait infrastruktur:
Pertama, negara merupakan pihak yang paling bertanggung jawab dalam penyediaan dan pengelolaan infrastruktur publik. Tujuan utamanya adalah memberikan kemaslahatan umum bagi seluruh rakyat. Setiap kebijakan yang ditetapkan oleh negara pun berlandaskan hukum syariat. Rasulullah saw. bersabda dalam hadis riwayat Bukhari, "Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengurus dan ia bertanggung jawab pada rakyat yang ia urus."
Dalam sejarah peradaban Islam, negara benar-benar menjadi penanggung jawab terhadap pengelolaan infrastruktur publik. Salah satunya adalah apa yang terjadi pada masa Kekhilafahan Utsmani. Bukti tersebut pun ditulis dalam sebuah buku yang berjudul Nature and Empire in Ottoman Egypt, karya Alan Mikhail. Ia menjelaskan bahwa pada masa itu kanal-kanal di Mesir dikelola negara dengan tujuan untuk kemaslahatan rakyat.
Kedua, khalifah bertanggung jawab dalam menentukan konsep pembangunan infrastruktur publik. Kebijakan ini menjadikan kemaslahatan rakyat sebagai prioritas. Meski membutuhkan pendanaan yang besar dalam proses pembangunannya, tetapi tidak akan membebani keuangan negara karena ditopang oleh sistem ekonomi Islam.
Ketiga, arah pembangunan infrastruktur adalah untuk mewujudkan visi penciptaan manusia. Visi penciptaan tersebut adalah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi dan memakmurkan bumi. Dengan visi tersebut maka manusia akan memperhatikan keselamatan lingkungan karena merupakan bagian dari aktivitas memakmurkan bumi. Artinya pula, manusia tidak akan mudah membuat kerusakan dengan alasan apa pun.
Keempat, negara akan melibatkan para tenaga ahli untuk membangun infrastruktur dengan perencanaan yang disusun sesuai tata ruang yang telah direncanakan. Satu hal yang juga menjadi fokus perhatian adalah aspek keberlanjutan lingkungan. Semua dilakukan demi terwujudnya keberlanjutan dan kemaslahatan umum. Selain itu, negara juga akan melakukan riset untuk pengembangan materiel ramah lingkungan dan berbagai inovasi dalam bidang teknologi infrastruktur.
Hasil riset tersebut akan memiliki keterkaitan yang berkelanjutan dengan pengembangan tata kota dan pembangunan infrastruktur yang ramah lingkungan. Dengan penerapan hal-hal di atas oleh negara maka seluas dan semegah apa pun infrastruktur yang dibangun tidak akan meninggalkan "warisan" kerusakan lingkungan bagi generasi mendatang.
Khatimah
Mewujudkan kota pintar dan ramah lingkungan dalam era kapitalisme seperti yang direncanakan di IKN hanyalah ilusi semata. Pembangunan infrastruktur dalam sistem ini akan selalu mengorbankan sisi lainnya, yakni kerusakan lingkungan. Pembangunan infrastruktur yang sejalan dengan kelestarian alam hanya bisa diwujudkan dalam sistem Islam. Di bawah naungan Islam, negara akan membangun kota-kota megah dan berbagai infrastruktur penunjang lainnya tanpa harus mengorbankan kelestarian hutan.
Wallahua'lam bishawab.[]
Keberadaan IKN seakan memberi manfaat padahal justru byk menimbulkan malapetaka. Bagaimana tidk hutan dikupas, sdgkan hutan rumah bagi flora dan fauna, musibah banjir dll.
Otak kapitalis emang tdk pernah ada utk rakyat kecuali sebatas kepentingan pribadi dan kelompoknya. Kebijakannya penuh racun berbalut madu. Parah.
Barakallah, Keren tulisan Mb Sartinah. Mencerdaskan. Jazakillah khairan Mb n NP
membabat hutan rimba untuk membangun IKN yang konon mengusung konsep hutan kota dan ramah lingkungan?
terimakasih untuk tulisan yang mencerahkan ini Mba Sartinah
Agak aneh ya, tapi begitulah adanya.
Sama-sama mbak Haifa
Begitulah kenyataan untuk menekan emisi dengan beli maupun memakai mobil listrik. Mampukah mengatasi masalah yang ada? So hanya back to sistem Islam secara keseluruhan solusi tuntasnya
Betul bu, itu satu-satunya solus hakiki
Dari awal, pembangunan IKN memang banyak penolakan karena mengubah alih fungsi lahan.
Betul, belum lagi penggusuran tanah adat. Tapi ya demi ibu kota baru, semua ditabrak.
Betul. Dalam sistem kapitalis selalu terjadi pertentangan. Seolah membangun padahal merusak. Keadaan yang sudah Allah jelaskan dalam surah Al Baqarah. Jika diingatkan tetap merasa sebagai penebar kebaikan..IKN membangun kota ramah lingkungan tetapi dengan cara deforestasi besar-besaran.
Ya, begitulah. Kapitalisme tak pernah benar-benar bisa membangun infrastruktur yang ramah lingkungan. Pasti ada yang selalu dikorbankan.
IKN ini mega proyek tapi kayaknya jauh dari kata memenuhi kebutuhan rakyat. Padahal rakyat ini butuh diangkat dari kesusahan hidup yang dihadapi.
Betul mbak, seharusnya pemerintah bisa memperhatikan skala prioritas untuk rakyat, bukan untuk para korporat. Miris memang