Thrifting Menjamur di Tengah Larangan Impor

"Kebijakan pemerintah yang cenderung reaktif dalam semua persoalan yang mendera negeri ini, menunjukkan kegagalan kapitalisme dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat, termasuk dalam hal pakaian. Negeri ini butuh alternatif lain sebagai solusi untuk keluar dari sengkarut masalah kebutuhan pokok rakyat."

Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasPost.com-Thrifting (berburu pakaian bekas impor) tengah menjadi tren khususnya di kalangan anak muda. Dengan budget yang minimalis saja, sudah bisa membawa pulang lebih dari satu pakaian layak pakai. Lapak-lapak thrifting pun menjamur di sudut-sudut negeri ini. Namun, di tengah tren berburu pakaian bekas tersebut, pemerintah membuat kebijakan melarang penjualan baju bekas impor.

Dilansir dari detik.com (19/03/2023), Presiden Joko Widodo mengeluarkan larangan penjualan baju bekas impor. Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.

Merugikan Negara

Maraknya aktivitas thrifting dinilai menjadi persoalan serius. Menurut Deputi Bidang Usaha Kecil dan Menengah Kemenkop UKM, Hanung Harimba, selain melanggar Undang-undang, bisnis thrifting juga menyebabkan banyak dampak negatif yang ditimbulkan. Di antaranya menyebabkan masalah lingkungan. Sebab, banyak di antara baju bekas impor yang justru berakhir menjadi sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). (Fortuneidn.com, 14/03/2023)

Tak hanya menyebabkan masalah lingkungan, thrifting juga dinilai merugikan negara. Pasalnya, mayoritas pakaian impor tersebut merupakan barang selundupan alias ilegal. Artinya, saat masuk ke Indonesia barang-barang bekas pakai tersebut tidak membayar bea dan cukai yang berdampak pada menurunnya pendapatan negara.

Selain itu, pemerintah menyebut bisnis thrifting dapat menggerus pasar industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di dalam negeri. Menurut CIPS dan ApsyFI, dari jumlah seluruh produsen pakaian di Indonesia, 80 persennya didominasi oleh industri kecil dan mikro. Maraknya impor pakaian bekas disebut telah memangkas pangsa pasar mereka sebesar 12-15 persen.

Pro Kontra

Munculnya kebijakan pelarangan thrifting di tengah menjamurnya tren berburu pakaian bekas impor, justru memantik pro dan kontra di tengah masyarakat. Bagi masyarakat yang menggandrungi thrifting, pelarangan impor tersebut dinilai sangat tidak tepat. Menurut sebagian mereka, jika alasannya karena tidak membayar pajak, mengapa pemerintah tak menarik pajak saja dari para pedagang thrifting? Mengapa justru dilarang impor? Begitu kata mereka.

Sedangkan bagi mereka yang pro, pelarangan thrifting dinilai sebagai kebijakan tepat. Pasalnya, penjualan baju bekas impor hanyalah cara untuk membuang limbah fashion ke dalam negeri. Selain itu, menurut anggota Komisi XI DPR RI, Kamrussamad, penjualan baju bekas impor memiliki beberapa kerugian, di antaranya pada garmen yang berskala UMKM, menggerus moralitas bangsa, dan potensi hilangnya keberpihakan terhadap industri nasional. Kamrussamad juga menyebut, Indonesia bukanlah pasar barang bekas negara lain.

Di sisi lain, pemerintah berdalih bahwa kebijakan pelarangan thrifting dilakukan demi melindungi industri dalam negeri. Padahal di saat yang sama, para pedagang dan pembeli pakaian bekas impor adalah masyarakat kelas menengah ke bawah juga. Jika thrifting dilarang, sedangkan banyak pedagang kelas bawah menggantungkan pekerjaannya dari bisnis tersebut, maka hal ini akan berdampak pada meningkatnya pengangguran.

Apalagi akses terhadap lapangan kerja di dalam negeri terbilang sulit. Dalam kondisi ini, masyarakat akan tetap mencari celah untuk mengimpor dan memperjualbelikannya, meski melalui jalur ilegal. Apalagi, pakaian impor bekas harganya jauh lebih murah tetapi memiliki kualitas lebih baik. Sedangkan untuk produk dalam negeri terkadang harus ditebus dengan harga mahal, tetapi masih kalah kualitas dengan produk impor.

Adanya pro dan kontra terhadap pelarangan thrifting tidak lain disebabkan oleh ketidaktegasan pemerintah. Di satu sisi pemerintah membiarkan impor pakaian bekas yang legal, tetapi di sisi lain justru menjegal thrifting ilegal. Padahal, jika alasan pelarangan tersebut untuk menjaga industri lokal, seharusnya baik yang legal maupun ilegal dilarang sejak awal.

Jika pemerintah menginginkan masyarakat lebih memilih produk UMKM dalam negeri,  seharusnya kualitas dan harganya bisa bersaing dengan produk impor. Sehingga rakyat tak perlu berburu thrifting karena kualitas dan harga pakaian dalam negeri pun baik dan terjangkau. Namun, jika hal itu tidak mampu diwujudkan oleh pemerintah, maka bisa dipastikan jika masyarakat akan tetap berburu thrifting.

Lemahnya Regulasi

Kebijakan Presiden Jokowi yang melarang impor pakaian bekas hanyalah kebijakan reaktif. Pasalnya, kebijakan tersebut dilakukan setelah industri tekstil dalam negeri mati suri dan thrifting dinilai menggerus para importir pakaian legal yang selama ini pun sudah monopolistik.

Tak dimungkiri, thrifting memang memberikan keuntungan jangka pendek yang tidak sedikit bagi importir ilegal, pedagang eceran, dan konsumen kelas bawah yang daya belinya rendah. Di sisi lain, thrifting merugikan industri tekstil dalam negeri dan berpotensi menghilangkan pendapatan negara dari pajak bea masuk.

Namun, kebijakan pemerintah pun meninggalkan sebuah tanya. Benarkah pelarangan thrifting memang dilakukan untuk melindungi industri dalam negeri? Atau jangan-jangan, kebijakan tersebut hanya mengakomodir keinginan beberapa importir kain yang mempersoalkan perusahan-perusahaan tertentu karena sudah terlalu monopolistik? Jika pemerintah benar-benar serius ingin melindungi industri tekstil dalam negeri, seharusnya langkah yang dilakukan tak hanya sekadar melakukan pelarangan trhifting semata.

Pemerintah seharusnya memiliki arah kebijakan yang jelas dan tegas. Untuk melindungi industri tekstil dalam negeri, pemerintah harus membuat kebijakan turunan lainnya. Misalnya dengan mendorong industri kain rakyat, khususnya tenun tradisional dari hulu ke hilir. Termasuk menghidupkan industri bahan baku dalam negeri seperti sutra, kapas, serta potensi bahan kain dan tenun lainnya. Kebijakan turunan lainnya bisa berupa permodalan, kelembagaan, serta pemasarannya.

Jika hal itu tidak dilakukan pemerintah, maka niat melindungi industri dalam negeri hanyalah retorika kosong dan pencitraan semata. Ini juga menunjukkan bahwa pemerintah hanya menjadi bagian dari permainan dagang semata yang lagi-lagi menjadikan rakyat sebagai tumbal. Jika sudah demikian, maka kebijakan apa pun yang dibuat pemerintah sejatinya tidak akan mampu memutus bisnis thrifting yang semakin menjamur.

Kegagalan Kapitalisme

Sejatinya impor pakaian bekas sudah lama masuk ke Indonesia. Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan rakyat akan suplai pakaian bermerek dengan harga murah. Kondisi ini tak mengherankan di tengah merebaknya gaya hidup hedon dan brand minded. Di sisi lain, hal ini juga menunjukkan potret kemiskinan di tengah masyarakat yang hanya mampu membeli pakaian dengan harga murah.

Karena itu, sangat aneh jika thrifting baru dipersoalkan saat ini. Padahal, barang-barang impor pakaian bekas sudah sejak lama masuk ke Indonesia dan menjamur. Lebih aneh lagi, yang dipersoalkan hanyalah thrifting ilegal dengan dalih tidak memberikan kontribusi pada pemasukan negara.

Kebijakan pemerintah yang cenderung reaktif dalam semua persoalan yang mendera negeri ini, menunjukkan kegagalan kapitalisme dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat, termasuk dalam hal pakaian. Negeri ini butuh alternatif lain sebagai solusi untuk keluar dari sengkarut masalah kebutuhan pokok rakyat.

Jaminan Islam

Dalam mewujudkan kemakmuran rakyat, negara yang menganut sistem ekonomi kapitalisme minim campur tangan secara langsung. Inilah yang membedakannya dengan sistem ekonomi Islam. Sistem politik ekonomi Islam adalah kebijakan yang diterapkan oleh Khilafah untuk menjamin seluruh kebutuhan dasar rakyat, orang per orang, secara menyeluruh, serta menjamin kesempatan untuk memenuhi kebutuhan sekunder mereka sesuai kadar yang mampu diraihnya sebagai manusia. (Abdurrahman al-Maliki, as-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla)

Definisi tersebut menjelaskan bahwa negaralah pihak yang paling bertanggung jawab memenuhi seluruh kebutuhan dasar rakyat secara menyeluruh tanpa memandang ras, suku, dan agama. Baik berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Sebab, negara adalah pengurus rakyatnya. Sebagaimama tercantum dalam hadis riwayat al-Bukhari, "Imam (khalifah)  adalah raa'in (pengurus rakyat) dan dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya."

Dalam menjalankan tanggung jawab tersebut, negara memenuhinya dengan dua mekanisme, yaitu tidak langsung dan langsung. Mekanisme tidak langsung diterapkan untuk memenuhi jaminan kebutuhan pokok, yakni pangan, papan, dan sandang. Untuk itu negara menerapkan tiga strategi kebijakan:

Pertama, Islam menetapkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan, negara mewajibkan setiap laki-laki yang mampu, balig, dan berakal untuk bekerja. Kewajiban tersebut tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk memenuhi kebutuhan semua keluarga yang menjadi tanggungannya, baik bapak, ibu, anak, dan saudaranya. Untuk memudahkan para lelaki bekerja, maka negara menyiapkan lapangan kerja yang halal seluas-luasnya. Sebaliknya, negara akan menutup lapangan kerja dan transaksi bisnis yang haram.

Kedua, jika individu tersebut terhalang sesuatu hal hingga tidak mampu dan tidak bisa memenuhi kebutuhannya serta orang-orang yang berada di bawah tanggungannya, maka beban tersebut dialihkan kepada ahli waris dan kerabatnya yang terdekat.

Ketiga, jika dua strategi di atas tetap belum mampu memenuhi kebutuhan pokok, maka tanggung jawab tersebut dialihkan kepada negara. Maka, negaralah yang wajib memenuhi kebutuhan pokok orang tersebut dengan menggunakan kas Baitulmal maupun harta zakat.

Sedangkan strategi Khilafah untuk memenuhi jaminan kebutuhan dasar rakyat secara umum seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan, maka akan menggunakan strategi langsung. Sebab, negaralah yang berkewajiban memenuhi jaminan kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Namun, jika pada suatu saat negara tidak memiliki dana di Baitulmal, maka pilihan selanjutnya adalah memungut dharibah dari kaum muslim yang kaya saja. Negara juga boleh berutang sesuai dengan syarat-syarat yang dibolehkan syariat.

Namun, pungutan atau dharibah yang dimaksud di sini hanya bersifat sementara sampai jumlah yang dibutuhkan terpenuhi. Selain itu, negara juga menciptakan keadaan agar setiap warga negaranya mampu memenuhi kebutuhan sekundernya sesuai dengan kemampuan ekonomi yang dimilikinya. Meski demikian, negara juga memberi pemahaman agar masyarakat tidak boros dalam membelanjakan harta dan lebih banyak menggunakannya di jalan Allah.

Khatimah

Dengan menerapkan politik ekonomi Islam, maka menyediakan seluruh kebutuhan dasar rakyat termasuk pakaian berkualitas dengan harga terjangkau bukanlah suatu hal yang mustahil. Sebab, hadirnya Khilafah memang diperuntukkan bagi terwujudnya kemaslahatan rakyat. Jika rakyat hidup dengan sejahtera dengan dipenuhi suasana keimanan individu, maka fenomena thrifting karena gaya hidup dan kemiskinan tidak akan terjadi. Dengan demikian, tidak ada aturan sebaik Islam dalam mengurusi rakyatnya.

Wallahu a'lam bishawab.[]


Photo : Pinterest

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Rempaka literasiku
Sartinah Seorang penulis yang bergabung di Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan sering memenangkan berbagai challenge bergengi yang diselenggarakan oleh NarasiPost.Com. Penulis buku solo Rempaka Literasiku dan beberapa buku Antologi dari NarasiPost Media Publisher
Previous
NarasiPost.Com Membuatku Mencintai Dunia Literasi
Next
NarasiPost.Com adalah Rumah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle

You cannot copy content of this page

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram