"Demokrasi menyebabkan banyak krisis, bencana, dan pengisapan kekayaan alam negeri-negeri yang terjajah dan terbelakang."
Oleh. Maman El Hakiem
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Bak menemukan momentumnya bagi mereka yang selama ini meminta pemilu untuk ditunda. Kini seakan mendapat celah dengan adanya putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat meminta KPU untuk menunda tahapan Pemilu 2024 hingga Juli 2025. Hal tersebut berdasarkan gugatan yang memiliki nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. yang didaftarkan Partai Prima pada 8 Desember 2022 atas keberatannya karena tidak lolos seleksi sebagai kontestan Pemilu 2024.
Hakim PN Jakarta Pusat mengeluarkan beberapa poin putusan menyangkut pemilu, salah satunya PN Jakarta Pusat menyatakan menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak diucapkannya keputusan tersebut.
Menanggapi putusan Hakim PN Jakpus tersebut, Ketua KPU Hasyim Asy'ari seperti dilansir CNN Indonesia.Com (4/3/2023), mengatakan bahwa pihaknya akan mengajukan banding terkait putusan tersebut dan akan tetap menjalankan tahapan Pemilu 2024 sesuai jadwal yang telah ditetapkan.
Sejarah Pemilu di Indonesia
Pemilihan umum atau pemilu di Indonesia telah dilakukan sejak masa penjajahan Belanda pada abad ke-20. Pada tahun 1925, Belanda mengadakan Pemilihan Umum Volksraad (Dewan Rakyat) untuk memilih wakil rakyat. Namun, hanya segelintir orang yang diizinkan untuk memilih karena kriteria pemilihannya sangat ketat.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, pemilihan umum dilaksanakan secara teratur. Pada 29 September 1955, Indonesia mengadakan pemilu pertamanya dengan menggunakan sistem pemilihan proporsional. Pada pemilihan tersebut, Partai Nasional Indonesia (PNI) menjadi partai politik terbesar dengan 57 kursi, diikuti oleh Partai Masyumi dengan 45 kursi, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan 39 kursi.
Namun, setelah itu, Indonesia mengalami beberapa periode yang kurang stabil di mana pemilu tidak dilaksanakan dengan teratur. Pada masa Orde Baru yang dimulai pada tahun 1966, pemilihan umum dilakukan dengan sangat terbatas dan hanya memperbolehkan satu partai politik yang didukung oleh pemerintah untuk berpartisipasi.
Setelah masa Orde Baru berakhir pada tahun 1998, Indonesia memulai reformasi politik dan memperkenalkan kembali sistem multipartai. Pemilihan umum dilakukan secara teratur setiap lima tahun sekali. Pada Pemilu 1999, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi partai politik terbesar dengan 33,7% suara, diikuti oleh Partai Golongan Karya (Golkar) dengan 22,5% suara.
Sejak itu, pemilu di Indonesia telah menjadi proses demokrasi yang semakin terbuka dan transparan. Pada Pemilu 2019, terdapat 16 partai politik yang berpartisipasi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kembali menjadi partai politik terbesar dengan 19,3% suara, diikuti oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dengan 12,6% suara.
Demokrasi Biang Masalah
Masa depan demokrasi di Indonesia tergantung pada hasil pemilu yang sering disebut sebagai pesta demokrasi lima tahunan. Pemilu dalam sistem demokrasi adalah cara mempertahankan legitimasi rakyat atas kekuasaan yang ada. Namun, ada beberapa hal yang dapat menjadi indikasi atau faktor yang memengaruhi masa depan demokrasi di Indonesia di antaranya:
Pertama, kestabilan politik. Kondisi politik yang stabil, bebas dari konflik dan ketegangan dapat menciptakan lingkungan yang kondusif untuk tumbuh dan berkembangnya demokrasi di Indonesia. Namun, demokrasi sejatinya biang dari segala masalah itu sendiri karena selalu menciptakan konflik untuk kepentingan pihak-pihak tertentu yang mengendalikan kekuasaan (oligarki).
Kedua, pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan dapat membantu menciptakan stabilitas sosial dan memperkuat demokrasi di Indonesia. Kesejahteraan ekonomi yang merata dapat membantu mendorong partisipasi politik yang lebih besar dan mendorong masyarakat untuk lebih aktif dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Namun, sangat disayangkan juga karena faktanya tingkat pertumbuhan ekonomi dalam sistem demokrasi hanyalah angka-angka dari pertumbuhan semu ala kapitalisme.
Ketiga, partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan pemerintahan sangat penting untuk memperkuat demokrasi di Indonesia. Masyarakat yang aktif dan berpartisipasi dapat membantu memperbaiki sistem demokrasi dan mendorong pemerintah untuk bertindak sesuai dengan kepentingan rakyat. Namun, lagi-lagi fakta yang berbicara bahwa angka partisipasi rakyat dalam pemilu tidak serta menjadikan kondisi negeri ini lebih baik karena rakyat sudah muak dengan janji manis saat mereka berkampanye.
Sistem Islam sebagai Solusi
Demokrasi telah menjadi topik yang sering diperdebatkan di kalangan umat Islam dan masyarakat internasional. Ada berbagai pandangan yang berbeda-beda dalam hal ini. Secara umum, terdapat dua pandangan yang dapat diidentifikasi.
Pertama, pandangan yang mendukung demokrasi. Sejumlah ulama dan aktivis Islam mendukung prinsip-prinsip demokrasi dan melihatnya sebagai alat yang efektif untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan umat manusia. Mereka berargumen bahwa demokrasi dapat memberikan kekuasaan kepada rakyat, memberikan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, serta mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa.
Kedua, pandangan yang menolak demokrasi. Sejumlah ulama dan kelompok Islam dengan berbagai literasinya menolak demokrasi dan melihatnya sebagai sistem yang bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka berargumen bahwa Allah Swt. adalah satu-satunya yang berhak menetapkan aturan dan hukum, sehingga pemerintahan harus berdasarkan pada hukum syariat Islam, bukan hukum buatan manusia. Pandangan ini sering kali dipengaruhi oleh interpretasi yang sangat konservatif, namun argumentatif terhadap ajaran Islam.
Syekh Abdul Qadim Zallum dalam buku Demokrasi Sistem Kufur menjelaskan tentang bahayanya demokrasi yang diterapkan banyak negara-bangsa (nation state) saat ini. Salah satunya, demokrasi menyebabkan banyak krisis, bencana, dan pengisapan kekayaan alam negeri-negeri yang terjajah dan terbelakang.
Selain itu, banyak dalil yang menerangkan keharaman berhukum pada hukum yang tidak berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Seperti QS. An-Nisa: 60,
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengeklaim telah beriman pada apa saja yang telah diturunkan kepadamu dan apa saja yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut (hukum dan undang-undang kufur), padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu."
Dalam konteks Indonesia, negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia, demokrasi telah menjadi bagian integral dari sistem politik dan dipaksakan sebagai hasil "kesepakatan" yang disinyalir terjadi pembelokan arah perjuangan yang dirintis para pendiri bangsa yang sebenarnya. Demokrasi bukan sekadar urusan pemilu atau meraih kekuasaan, melainkan upaya sekularisasi dan legalisasi terhadap isu-isu seperti hak LGBT, moderasi beragama, dan kesetaraan gender yang ujungnya menjadikan Islam agar sesuai dengan sudut pandang pemikiran Barat yang sekuler. Wallahu'alam bish Shawwab.[]