Pajak untuk Siapa?

”Tidak etis pejabat berfoya-foya saat masih banyak jutaan rakyat yang terseok-seok untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar. Sementara pejabat digaji dari pajak rakyat.”

Oleh. Novianti
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Menkeu Sri Mulyani, sosok penting yang mengurusi urusan pajak kebakaran jenggot dengan ulah anak buahnya sendiri. Pasalnya, telah terjadi peristiwa pemukulan terhadap Cristalino David Ozora (anak petinggi GP Ansor Jonathan Latumahina) oleh Mario Dandy Satrio (putra Rafael Alun Trisambodo, seorang pejabat pajak eselon III di Ditjen Pajak). Buntut dari kasus ini, pihak keluarga korban nekat membongkar kebobrokan mental pejabat pajak.

Gaya hidup mewah keluarga Rafael terbongkar. Ia gemar pamer motor gede (moge) di media sosial (medsos). Istrinya kerap posting foto dirinya dengan barang-barang branded dan rumah mewahnya. Mario sendiri gemar flexing, mengunggah video mobil dan sepeda motornya yang tergolong mahal.

Kehidupan para pejabat lainnya pun ikut disorot. Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo diperbincangkan setelah fotonya sedang naik moge viral di medsos. Eko Darmanto Kepala Bea Cukai Yogyakarta juga terlacak lewat unggahannya yang bermuatan harta mewah miliknya mulai dari mobil, moge hingga pesawat terbang.

Tentu saja gaya hedonis para pejabat, terutama yang berada di bawah Kemenkeu mendapat tanggapan keras dari masyarakat. Tidak etis pejabat berfoya-foya saat masih banyak jutaan rakyat yang terseok-seok untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar. Sementara pejabat digaji dari pajak rakyat.

Dirilis tribunnews.com (27/02/2023), ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan ulah pegawai pajak yang gemar pamer membuat masyarakat makin malas membayar pajak. Padahal, ajakan rakyat taat bayar pajak begitu gencar. Jika telat bayar akan dikenakan denda.

Rhenald Kasali mengatakan fenomena flexing di kalangan pejabat sangat tidak wajar. Sebagaimana dirilis beritasatu.com (25/02/2023), menurut Rhenald pejabat adalah pelayan rakyat yang tidak pantas pamer harta. Sementara dosen Kajian Media Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya Radius Setiyawan mengatakan pejabat yang gemar pamer di medsos memiliki gangguan kepribadian yang disebut narcissistic personality disorder atau gangguan kepribadian narsistik. Merasa paling hebat dan pamer harta untuk mempertahankan status sosial di hadapan orang lain. (republika.co.id, 26/02/2023)

Mengapa Terjadi?

Gaya hidup mewah pejabat ibarat fenomena gunung es. Masih banyak kasus belum terungkap di bawahnya. Najwa Shihab pernah menguliti gaya hidup keluarga polisi yang gemar pamer kemewahan. Istri Kapolres pamer sepeda yang harganya mencapai ratusan juta. Seorang polisi mengenakan cincin seharga miliaran.

Para anggota dewan pun tidak kalah soal mempertontonkan hartanya. Area parkiran gedung DPR di Senayan sudah mirip showroom mobil mewah. Ada Hammer seharga Rp1,4 miliar, Mercedez Benz seharga Rp1,9 miliar, paling murah Toyota Harrer seharga Rp660 juta.

Menurut dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Surabaya Dewi Ilma Antawati, pamer harta atau flexing merupakan perilaku untuk menarik perhatian orang lain agar mendapat pengakuan dan memperluas pergaulan. Tetapi dalam kacamata psikologi klinis perilaku flexing dikaitkan dengan rasa tidak aman (insecurity) pada seseorang. Memiliki dorongan untuk terlihat lebih unggul dari orang lain. Menggunakan barang-barang bermerek karena tidak ingin dianggap rendah.

Perilaku flexing tidak pantas dilakukan pejabat yang tugasnya melayani rakyat. Pejabat tidak butuh pengakuan berdasarkan harta yang dimiliki karena penilaian kinerjanya dilihat dari kesungguhan dalam menjalankan amanah. Malahan flexing dapat memancing gaya hidup konsumerisme yakni gaya hidup senang membelanjakan uang demi memuaskan keinginan. Inilah yang kemudian menjadi stimulator tindakan korupsi.

Budaya pamer di kalangan pejabat merupakan akibat dari penerapan sistem kapitalisme yang mengagungkan materi. Kesuksesan dinilai dari angka-angka. Mereka sibuk berlomba mengumpulkan harta dan menjadi korban dari ekonomi dopamine. Terjebak dalam sindrom compulsive buying disorder, yaitu membeli dengan kontrol yang lemah dan tidak rasional. Sistem kapitalis ini telah merusak mental para pejabat.

Pejabat seharusnya memberikan keteladanan dan bergaya hidup sederhana. Menyadari bahwa hidupnya ditunjang oleh rakyat. Cara pandang kapitalisme di mana keuntungan menjadi prioritas, telah menghilangkan rasa empati terhadap kehidupan rakyat yang makin sulit. Mereka seharusnya memikirkan nasib rakyat, tetapi justru sibuk mementingkan diri sendiri.

Sistem kapitalis yang berdiri di atas akidah sekuler, menghilangkan nilai ruhiyah dalam memperoleh dan mengelola harta. Tidak memikirkan tentang keberkahan, tidak memperhitungkan dosa riba, tidak peduli halal dan haram, tidak mengingat konsep amal jariah, melupakan investasi akhirat.

Nilai Perbuatan Pejabat

Dalam setiap perbuatan ada nilai kimah yang harus diwujudkan. Seseorang yang tidak dapat menentukan nilai perbuatan, tidak dapat mengukur keberhasilan dari aktivitas yang dilakukannya.

Dalam peradaban kapitalis, nilai yang mendominasi hampir di semua aktivitas adalah madiyah atau materi termasuk dalam ranah kekuasaan. Tak heran, kekuasaan yang seharusnya berasas pelayanan berubah menjadi asas manfaat. Jabatan dimanfaatkan sebagai cara cepat meraih kekayaan.

Islam memiliki pandangan berbeda tentang kekuasaan. Nilai atau kimahnya adalah ruhiyah. Seorang pejabat mendapat amanah melayani dan membantu rakyatnya sesuai kaidah hukum syarak. Di mana perbuatan itu sebagai wujud ketaatan kepada Allah Swt.

Dengan paradigma ini, kualitas para pejabatnya berbanding terbalik dengan kualitas pejabat dalam sistem kapitalis. Di dalam sistem Islam, pejabat tidak berani hidup bermewah-mewah. Mereka tidak akan pernah berpangku tangan sehingga terjamin kebutuhan primer rakyat yaitu keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan, keamanan, dan harta.

Pajak dalam Islam

Dalam sistem Islam, pajak bukanlah sumber pemasukan utama. Ada sumber pemasukan rutin lebih besar yang dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan rakyat. Seperti zakat, jizyah, kharaj, ‘usyr, harta kepemilikan umum (seperti tambang migas dan mineral), anfal, ghanimah, fai, khumus, infak dan sedekah. Dengan banyaknya sumber pemasukan, negara menjadi powerfull dalam memenuhi hajat hidup orang banyak. Berbeda dengan sistem kapitalis yang menjadikan pajak dan utang sebagai andalan utama.

Islam memandang mengambil pajak dari rakyat adalah haram. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang saudaranya, baik dengan main-main ataupun sungguh-sungguh. Siapa saja yang mengambil tongkat saudaranya, hendaklah ia mengembalikannya,” (HR. Abu Dawud). Memungut pajak merupakan bentuk merampas harta orang lain dan termasuk kezaliman.

Dalam surah An-Nisa ayat 29, Allah berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian secara batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar keridaan di antara kalian.” Ayat ini melarang sesama muslim mengambil dan memanfaatkan harta di mana pemiliknya tidak rida dan tidak sesuai syariat Islam. Perbuatan ini terkategorikan sebagai perampasan.

Namun demikian, ada kondisi tertentu negara dibolehkan mengambil pajak tetapi diberlakukan hanya pada orang-orang kaya dan bersifat sementara. Yaitu ketika keuangan negara benar-benar krisis dan membutuhkan dana segar untuk memenuhi kewajibannya. Saat keuangan sudah pulih, negara langsung menghentikan pemungutan pajak.

Ironis, hari ini justru penguasa merampas harta rakyat dan tidak pernah berhenti mengambil berbagai pungutan yang menambah beban kehidupan. Berharap pejabat tulus melayani adalah kecil kemungkinan, kecuali dengan penerapan sistem Islam. Pejabatnya taat, rakyat sejahtera, negara pun jadi berkah. []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com
Novianti Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Sentuhan Manis NarasiPost.Com Untukku
Next
Derita Pekerja Migran Indonesia, di Manakah Peran Negara?
3 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Sherly
Sherly
1 year ago

Nyatanya pajak yang dikeluarkan rakyat tak berkorelasi dengan kesejahteraan rakyat.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram