OJK & BSI Gencar Menyambangi Pesantren, Ada Apa?

”Semangat untuk berwirausaha mendorong para santri untuk gemar menabung dan berani mengambil risiko dalam mengupayakan modal dari peminjaman pada lembaga keuangan yang ada misalnya perbankan, yang penting terpenuhi 2L: legal dan logis. Tak peduli, apakah pinjaman itu mengandung unsur ribawi atau tidak.”

Oleh. Tsuwaibah Al-Aslamiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Dahulu pesantren, kiai, dan santri menjadi garda terdepan dalam dakwah Islam dan pendalaman ilmu agama. Kini mereka didorong untuk berdaya dalam sektor ekonomi dan keuangan syariah. Pesantren dianggap mampu menghadirkan implikasi positif terhadap laju ekonomi syariah. Namun, pengalihan fungsi pesantren tentu saja akan memengaruhi banyak hal. Utamanya dalam hal pembentukan kader ulama faqiih fii ad-diin, kini semangat itu mulai tergerus dengan motivasi entrepreneurship kapitalis dalam bungkus syariah yang terus digalakkan pemerintah.

Dilansir dari Republika.com (4/3/2023), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bergandengan dengan Bank Syariah Indonesia (BSI) menggelar kegiatan berbentuk edukasi keuangan syariah bagi para santri, guru, dan warga di Pesantren Al-Bayan Hidayatullah Makasar, BTP Tamalanrea.

Kegiatan yang sama pun diselenggarakan oleh OJK Regional Jawa Tengah dan DIY di Pondok Pesantren Al-Fadllu Kendal yang bertujuan untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan syariah kepada para santri dan warga di sekitarnya pada Senin (6/3/2023).

Lantas, apa itu OJK dan BSI? Seperti apa gambaran kegiatan yang sedang digencarkan keduanya? Apakah ini merupakan pertanda baik bagi kemajuan pesantren dan ekonomi syariah? Siapakah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap pemberdayaan ekonomi dalam pandangan Islam?

Misi Hari Santri Nasional 2022

Berdasarkan catatan Kemenag (Kementerian Agama) ada 4,1 juta santri yang tersebar di 27.722 pesantren dan dimungkinkan akan terus bertambah setiap tahunnya. Hal ini menyebabkan santri kini menjadi elemen penting dalam mendorong kemajuan peradaban. Oleh sebab itu, peran dan keterlibatan santri pada sektor-sektor strategis sangat dibutuhkan, khususnya dalam ekosistem ekonomi dan keuangan syariah.

Perayaan Hari Santri Nasional (HSN) yang diselenggarakan pada 22 Oktober 2022 lalu membawa misi yang berbeda. Kegiatan yang mengusung tema “SAKINAH” (Santri Cakap Literasi Keuangan Syariah) ini meliputi Talkshow Edukasi Keuangan Syariah serta Launching Gerakan Santri Menabung dan Bulan Inklusi Keuangan. Puncak dan Closing Ceremony HSN digelar pada 28 Oktober 2022 yang dihadiri oleh Wakil Presiden Republik Indonesia KH. Ma’ruf Amin dengan rangkaian agenda Penyerahan Simbolis Rekening Tabungan Santri dan Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara OJK dan MES (Masyarakat Ekonomi Syariah).

Kegiatan ini diharapkan akan memberikan multiplier effect kepada lingkungan masyarakat sekitar agar mampu meningkatkan literasi keuangan dan terhindar dari jebakan utang konsumtif atau penipuan berkedok investasi. Setidaknya ada dua hal yang menjadi pegangan dalam membeli produk dan layanan jasa keuangan yakni 2L (legal dan logis). Legal berarti mengantongi perizinan dari otoritas yang berwenang. Sedangkan logis berarti produknya masuk akal dan tidak ada unsur penipuan.

Santri dan masyarakat sekitar dituntut untuk berdaya dalam pengembangan ekonomi syariah. Dengan karakteristik santri yang sabar, ulet, disiplin, mandiri, dan tawadu merupakan soft skill yang perlu dioptimalkan melalui penyediaan sarana dan akses keuangan syariah yang mudah dijangkau. Walaupun demikian, terdapat sejumlah tantangan di antaranya tingkat literasi (indeks pengetahuan) dan tingkat inklusi (indeks akses) keuangan syariah yang masih sangat rendah. Oleh karena itu, menurut pemerintah perlu dirancang sebuah roadmap yang berisi strategi pemberdayaan ekonomi yang direalisasikan secara bertahap dan berkesinambungan.

Mengenal OJK dan BSI

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan lembaga resmi negara yang berdiri berdasarkan pijakan UU Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi melaksanakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terkonsolidasi pada semua aktivitas dalam sektor jasa keuangan, baik di sektor perbankan, pasar modal, dan sektor jasa keuangan nonbank seperti dana pensiun, asuransi, lembaga pembiayaan (multifinance), pegadaian, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

OJK berdiri sejak 16 Juli 2012 lalu, lembaga inilah yang mengatur sekaligus mengawasi jalannya kegiatan dan transaksi ekonomi di Indonesia, baik itu sektor riil ataupun nonriil, baik yang berbasis ribawi maupun tidak. Keberadaan OJK mengambil alih fungsi regulator dan pengawasan yang sebelumnya dipegang Bank Indonesia (BI) untuk perbankan dan Kementerian Keuangan dan Bapppepam LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan) untuk lembaga keuangan nonbank.

Bank Syariah Indonesia (BSI) merupakan bank di Indonesia yang bergerak di bidang perbankan syariah. Bank ini diresmikan pada 1 Februari 2021 dan merupakan penggabungan antara Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRIsyariah. Bank ini dimiliki HIMBARA (Himpunan Bank Milik Negara) yang mayoritas sahamnya dipegang oleh Bank Mandiri.

Munculnya bank syariah di Indonesia telah menempuh jalan panjang. Dimulai sejak adanya deregulasi perbankan pada 1983, dengan perencanaan penerapan “sistem bagi hasil” yang menjadi ciri khas perbankan syariah. Pada tahun 1988, pemerintah menerbitkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang membuka lebar keran liberalisasi sistem perbankan, dari sinilah mulai bermunculan bank-bank yang bersifat daerah dan syariah. Tahun 1990, MUI membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia sehingga lahirlah Bank Muamalat pada 1 November 1991. Pada 1998, pemerintah dan DPR merevisi UU No. 7/1992 menjadi UU No. 10/1998 yang menegaskan adanya dual banking system yakni sistem perbankan konvensional dan syariah. Inilah masa di mana bank-bank syariah merebak bagai cendawan di musim hujan.

Geliat perkembangan bank syariah di negeri mayoritas muslim ini terbilang cukup pesat dan mendapat sambutan hangat dari para pelaku ekonomi. Namun tantangannya pun tidak sedikit, di antaranya belum terciptanya diferensiasi model bisnis yang signifikan, kualitas berikut kuantitas SDM yang belum optimal, rendahnya tingkat literasi dan inklusi, dan keterpurukan ekonomi masyarakat pascapandemi Covid-19.

Adapun Roadmap Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia periode 2020-2025 disusun dengan membawa misi: “Mewujudkan perbankan syariah yang resilient, berdaya saing tinggi, dan berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional dan pembangunan sosial”. Setidaknya visi itu menggiring pada tiga arah. Pertama, penguatan identitas perbankan syariah. Kedua, sinergi ekosistem ekonomi syariah. Ketiga, penguatan perizinan, pengaturan, dan pengawasan.

Kapitalisasi Pesantren

Pesantren merupakan lembaga pendidikan dan penyiaran Islam, pusat penyelenggaraan belajar dan mengajar, serta pusat pengembangan masyarakat setempat dengan masjid sebagai pusat konsentrasi pembinaan santri.

Para santri menuntut ilmu secara tadarruj (berjenjang) dalam menapaki titian proses pembelajarannya. Sebab, ilmu yang harus dipelajari sangat beragam bidangnya, bahkan problemnya amat detail dan bercabang-cabang. Maka membaca, menghafal, mengkaji Al-Qur'an, dan penguasaan bahasa Arab merupakan inti dan dasar dari keseluruhan tsaqafah Islam.

Dengan demikian wajar jika output yang dihasilkan dari pesantren adalah ulama faqiih fii ad-diin bijaksana, dan berani beramar makruf nahi mungkar. Bahkan, santri dan kiai berada di garda terdepan dalam perjuangan melawan penjajah di bumi nusantara ini. Inilah buah dari proses pendidikan di pesantren.

Namun sayang, idealisme pesantren saat ini mulai memudar seiring dengan disahkannya UU Pesantren yang sarat dengan kepentingan kapitalis. Menurut UU No. 18/2019, fungsi utama pesantren bertransformasi menjadi tempat pengaderan pemikiran agama dan ahli agama, lembaga yang mencetak sumber daya manusia, dan lembaga yang melaksanakan pemberdayaan masyarakat.

Pemberdayaan yang dimaksud di sini dari sisi ekonomi. Hal ini dipertegas oleh Wakil Presiden RI KH. Ma'ruf Amin dan Kemenag dengan meluncurkan Peta Jalan Kemandirian Pesantren (PJKP) yang sarat tujuan. Pertama, penguatan fungsi pesantren dalam mencetak insan-insan yang unggul dalam pemahaman agama, keterampilan kerja, dan kewirausahaan. Kedua, penguatan pondok pesantren dalam mengelola unit bisnis sebagai sumber daya ekonomi. Ketiga, penguatan peran pesantren dalam menjalankan fungsi pemberdayaan masyarakat. Keempat, penguatan Kemenag juga lembaga-lembaga lain seperti OJK, BSI, dan lainnya dalam memfasilitasi pesantren.

Sebagaimana tagline HSN 2021: “Mewujudkan Pesantren Entrepreneur“ dengan program OPOP (One Day One Product). Sedangkan tema yang diusung pada HSN 2022: “SAKINAH (Santri Cakap Literasi Keuangan Syariah)”. Hal ini demi merealisasikan terciptanya badan usaha milik pesantren (BUM-PES) dan santri entrepreneur. Dengan program ini, pesantren ditargetkan dapat memenuhi kebutuhan operasionalnya dan mencetak para santri menjadi wirausahawan yang piawai dalam menciptakan lapangan pekerjaan di tengah masyarakat. Namun sayang, program ini tentu saja akan mengalihkan perhatian kiai dan santri dari pembelajaran dan penguasaan ilmu agama menjadi sibuk berkecimpung dalam menghasilkan produk unggulan yang berdaya saing tinggi dalam menggerakkan perekonomian daerah.

Bukan hanya itu, kemandirian pesantren pun tergadai dengan disahkannya Perpres No. 82/2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren yang meregulasi “dana abadi pesantren“. “Kebaikan pemerintah” ini bagai buah simalakama bagi pesantren. Adanya dana abadi ini membuat pesantren tak lagi punya alasan untuk tidak berdaya dalam sektor ekonomi gegara tak ada dana. Belum lagi kerepotan dalam membuat laporan pertanggungjawaban yang menguras waktu dan pikiran. Parahnya, jika terjadi kekeliruan dalam pelaporan, pesantren akan tersandung kasus pidana penyelewengan dana. Secara politis lebih bahaya lagi, pesantren bisa tersandera dan tunduk pada kepentingan penguasa, sehingga pesantren dimanfaatkan untuk mendulang suara pada pilpres dan pilkada.

Tak berhenti sampai sana, semangat untuk berwirausaha mendorong para santri untuk gemar menabung dan berani mengambil risiko dalam mengupayakan modal dari peminjaman pada lembaga keuangan yang ada misalnya perbankan, yang penting terpenuhi 2L: legal dan logis. Tak peduli, apakah pinjaman itu mengandung unsur ribawi atau tidak. Inilah yang dinamakan melek literasi keuangan dan inklusi ekonomi. Nahas, pesantren telah terjerat dalam ranjau kapitalisasi.

Sejatinya upaya pemerintah dalam melibatkan dan memberdayakan pesantren dalam menggerakkan ekonomi masyarakat menunjukkan secara vulgar akan kegagalan penguasa dalam mengurus dan menyejahterakan rakyat. Terlebih hantaman pandemi Covid-19 yang berlangsung sekitar 3 tahun membuat rakyat semakin terpuruk bagai peribahasa: “Sudah jatuh tertimpa tangga”.

Tingginya angka pengangguran yang diikuti kemiskinan di tengah masyarakat merupakan PR besar bagi penguasa. Seharusnya, penguasalah yang berkewajiban menanganinya secara tuntas, bukan melempar tanggung jawabnya pada pesantren. Ingatlah, peran kiai dan santri itu sebagai pelopor kebangkitan umat bukan pelopor pemberdayaan ekonomi! Sebab, keilmuan dan pemahaman mereka dalam memahami tsaqafah Islam mampu mendobrak kebekuan berpikir dan menumbuhkan kesadaran pada umat.

Sang Pelopor Kebangkitan Umat

Sebelum terlambat, marilah kita kembalikan pesantren pada komitmen dan fungsinya semula yakni sebagai pelopor kebangkitan umat. Tentu saja harus dihadirkan kembali paradigma pendidikan Islam di pesantren yang telah terbukti berhasil mencetak para ulama faqih fii ad-diin yang berkomitmen membangun peradaban. Kuncinya adalah keimanan dan tsaqafah Islam! Keduanya akan menjadi amunisi untuk memberantas berbagai bentuk kejahiliahan modern seperti sekularisme, kapitalisme, liberalisme, dan lainnya. Bahkan, menjadi penawar dari racun ideologi yang telah merasuki berbagai ranah kehidupan. Oleh karena itu, umat butuh kiai dan santri yang berkomitmen dalam mendakwahkan Islam ideologis demi teraihnya kebangkitan umat dengan penerapan syariat Islam kaffah.

Pemberdayaan Ekonomi Itu Tugas Negara, Bukan Pesantren!

Patut dipertanyakan, mengapa pemerintah begitu ngotot melibatkan banyak pihak termasuk pesantren dalam memberdayakan ekonomi rakyat? Apakah pemerintah hendak berlepas tangan akan kewajibannya sebagai penguasa? Ataukah ini bentuk keputusasaan akan kegagalan negara dalam mengurusi urusan-urusan rakyatnya?

Indonesia termasuk negara beruntung, sebab Allah anugerahi sumber daya alam (SDA) yang melimpah dan sumber daya manusia (SDM) yang banyak. Idealnya dengan segala kelebihannya itu, Indonesia mampu memosisikan dirinya sebagai negara maju dan sejahtera. Namun, kenyataannya justru berkata lain.

Menurut Pakar Ekonomi Syariah Dr. Arim Nasim, secara makro suatu negara dikatakan kokoh fundamental ekonominya jika dilihat dari beberapa indikator, yakni pertumbuhan ekonominya positif; pemasukan negaranya tidak bergantung pada pajak dan utang; serta mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan dalam negeri (Mediaumat.id, 4/7/2022).

Terkait pertumbuhan ekonomi, seharusnya perekonomian suatu negara dibangun di atas sektor riil semata, tidak disokong oleh sektor nonriil dan aktivitas ribawi yang justru memicu pertumbuhan ekonomi semu seperti pasar modal. Bubble economy alias gelembung spekulatif keuangan justru melenakan dan membahayakan! Sebab, meski volume perdagangan raksasa tetapi terdapat harga yang jauh berbeda dengan nilai intrinsiknya. Bahkan, menjadikan aktivitas ribawi menjadi fondasi ekonomi sama dengan mengantarkan negeri ini pada keterpurukan dan tercerabutnya keberkahan.

Selanjutnya terkait APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara), seharusnya bersumber dari pengelolaan harta milik umum yakni SDA dan harta milik negara seperti jizyah, kharaj, fai, dan lain-lain. Bukan dari utang yang justru menyedot APBN hingga mencapai 50% dalam cicilan bunga utangnya. Ataupun pajak yang justru semakin mencekik rakyat.

Kemudian dari sisi kemandirian negara. Indonesia itu negara agraris, hampir semua jenis tanaman gampang tumbuh di negeri ini. Ironisnya, beras pun kita impor. Belum lagi jika kita berbicara tentang neraca pembayaran Indonesia yang terus mengalami defisit. Ini jelas mengindikasikan bahwa nilai impor lebih besar dari nilai ekspor.

Jika saat ini kita menyaksikan pemerintah tampak melemparkan tanggung jawabnya dalam menyejahterakan rakyatnya kepada pihak lain, termasuk pesantren dengan dalih “pemberdayaan ekonomi dan kemandirian”, ternyata itu merupakan resep kapitalisme yang sedang dijalankan penguasa negeri ini. Sebagaimana definisi politik ekonomi dalam pandangan kapitalisme yakni ilmu pengetahuan tentang kekayaan dan berkaitan dengan berbagai upaya yang dibuat manusia untuk memenuhi kebutuhan dan memuaskan keinginan. Tidak disebutkan ada peran negara di sini, artinya negara tidak perlu campur tangan secara langsung untuk menyejahterakan rakyatnya.

Lebih dari itu, pengokohan riba sebagai fondasi ekonomi di negeri ini pun gegara diterapkannya sistem kapitalisme. Jadi walaupun saat ini gerakan ekonomi syariah itu menjamur, itu bukan semata dorongan keimanan atau kepedulian negara pada kaidah halal-haram dalam pandangan syarak. Akan tetapi lebih condong pada sisi kemanfaatannya yang lebih besar dan banyaknya peminat. Lagi pula dengan semaraknya lembaga keuangan syariah tidak secara otomatis mengenyahkan aktivitas riba, namun justru jadi tumpang tindih bahkan terseret pula dalam pusaran dosanya. Dahsyatnya laknat Allah akan aktivitas riba ini tampak dalam firmannya: “Wahai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba, jika kalian adalah orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak meninggalkan, maka umumkanlah perang kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka jika kalian bertobat, maka bagi kalian adalah pokok harta kalian. Tidak berbuat zalim lagi menzalimi….” (TQS. Al-Baqarah: 278-280)

Sudah saatnya bagi Indonesia untuk mencampakkan kapitalisme sebagai biang masalah di negeri ini. Sudah selayaknya negeri dengan mayoritas muslim ini beralih pada sistem Islam yang secara pasti akan menjauhi riba dan Khilafah sebagai institusi negaranya akan mengambil alih kepengurusan masyarakat pada genggamannya, pun akan menerapkan kebijakan secara langsung untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya tanpa perlu membebani pihak lain.

Khatimah

Kunjungan OJK dan BSI ke berbagai pesantren bukanlah angin segar, namun justru jeratan mematikan untuk membajak fungsi pesantren sebagai pencetak ulama faqiih fii ad-diin. Lebih dari itu akan menyeret warga pesantren dalam kubangan riba yang sarat dosa. Sebab perputaran uang perbankan syariah pun tak luput dari dosa riba, dikarenakan berdiri di atas fondasi ekonomi ribawi. Tak ada pilihan lain bagi orang beriman untuk bersegera hijrah dari sistem kapitalisme yang menghalalkan riba kepada sistem Islam yang mengharamkan riba. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Tsuwaibah Al-Aslamiyah Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Siapkan Diri Sambut Bulan nan Suci
Next
Meraih Ketakwaan di Bulan Ramadan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram