Membongkar Rasuah, Serius?

"Islam memulai pemberantasan korupsi dengan menghilangkan faktor pendorong korupsi, yaitu rasa tamak pada dunia. Akidah Islam mengajarkan bahwa makna kebahagiaan bukanlah materi, tetapi rida Allah Swt.. Sedangkan perilaku korup tidak diridai Allah sehingga harus dijauhi."

Oleh. Ragil Rahayu, S.E.
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Borok korupsi di negeri ini makin tampak menganga. Sebagai buntut dari kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy, kekayaan ayahnya, yaitu Rafael Alun yang merupakan pegawai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menjadi sorotan publik. Selain memiliki kekayaan yang jumlahnya tidak wajar, Rafael juga diduga terlibat dalam kasus transaksi janggal yang nilainya mencapai Rp500 miliar.

Kasus Rafael pun menyeret banyak pihak hingga akhirnya Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ikut disorot publik. Perkembangan terbaru, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud M. D. menyatakan adanya pergerakan uang yang mencurigakan senilai Rp300 triliun di Kemenkeu. Mahfud mengungkap bahwa uang itu berputar di Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai. Diduga ada 69 orang di Kemenkeu yang memiliki transaksi jumbo hingga ratusan miliar (kumparan.com, 9-3-2023).

Sebelumnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap temuan tentang aliran dana janggal Rp300 triliun yang mengalir lewat pegawai Kemenkeu. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menjelaskan bahwa pihaknya telah menyampaikan hampir 200 informasi hasil analisis kepada Kemenkeu selama rentang 2009—2023. Informasi tersebut terkait beberapa nama pegawai Kemenkeu yang terlibat (CNBC Indonesia, 10-3-2023).

Rasuah, Masalah Utama Negara

Terungkapnya aliran dana tidak wajar di Kemenkeu ini sangat menyentak publik. Betapa tidak, nilai transaksinya mencapai nominal yang luar biasa, yaitu Rp300 triliun. Rentang waktu terjadinya transaksi tersebut juga panjang, yaitu selama 14 tahun, dari 2009 hingga 2023. Sungguh mengherankan, korupsi sebesar itu tidak terungkap selama ini, padahal PPATK memiliki datanya.

Kasus ini makin menunjukkan seriusnya permasalahan korupsi di Indonesia. Meski sudah ada lembaga antirasuah, tingkat korupsi tidak kunjung turun, bahkan makin parah.

Lembaga Transparency International melaporkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 sebesar 34 poin dari skala 0-100. Angka ini turun 4 poin dari tahun sebelumnya. Penurunan IPK ini turut menjatuhkan urutan IPK Indonesia secara global. Pada 2022, IPK Indonesia menempati peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei (Katadata, 1-2-2023). Hal ini mengindikasikan persepsi publik terhadap korupsi di Indonesia memburuk sepanjang tahun 2022.

Korupsi merupakan masalah utama negeri ini, karena telah merugikan keuangan negara. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung), Febrie Adriansyah, menyatakan sepanjang tahun 2022, tercatat kerugian negara dan perekonomian negara mencapai Rp144,2 triliun dan USD61.948.551 (merdeka.com, 7-1-2023).

Akibat Kapitalisme Sekuler

Jika diibaratkan penyakit, korupsi adalah penyakit yang kronis (menahun). Berbagai regulasi telah dibuat dan berbagai lembaga telah didirikan, tetapi masalah korupsi tidak kunjung selesai. Jika selama ini dewan perwakilan rakyat merupakan lembaga terkorup, ternyata di kementerian juga sama saja, hanya belum terungkap.

Korupsi di negeri ini tidak hanya terjadi di satu atau dua instansi, tetapi merata di semua level dan semua lembaga. Trias politika, yaitu lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak ada satu pun yang bersih dari korupsi.

Ada istilah, "ikan busuk mulai dari kepala", maksudnya, birokrasi yang korup diawali dari pucuk pimpinannya. Istilah ini benar adanya. Tindakan korupsi yang membudaya di negeri ini tidak lepas dari tingkah para pejabatnya. Mereka mencontohkan perilaku korup, bawahannya pun meniru.

Penguasa pun seolah tidak serius memberantas korupsi. Terdakwa korupsi masih bisa menjabat dan bahkan mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Walhasil, tidak terwujud rasa jera untuk berbuat korup. Jadilah korupsi merajalela hingga untuk menyelesaikannya seolah mustahil.

Namun, jika kita tahu akar persoalannya, memberantas korupsi bukanlah hal mustahil. Pada hakikatnya, korupsi berakar dari penerapan kapitalisme dan sekularisme. Akidah sekularisme telah menjauhkan agama dari kehidupan sehingga para pejabat dan aparat tidak memiliki rasa khauf (takut pada azab Allah Taala). Mereka tahu bahwa ada hari pembalasan (yaumuddin) atas setiap amal, tetapi mengabaikannya. Gambaran surga dan neraka sebagai akhir perjalanan hidup manusia seolah jauh dari kehidupan mereka sehingga mudah sekali mereka bermaksiat dengan mengambil harta yang bukan haknya.

Sementara itu, ideologi kapitalisme telah menjadikan manusia menuhankan materi. Mereka silau terhadap keindahan dan kenikmatan dunia sehingga menempuh segala cara demi memilikinya. Meski ibaratnya sudah memiliki satu lembah berisi emas, mereka masih menginginkan lembah emas lainnya. Mereka terus haus akan kekayaan hingga terus menilai uang negara, meski kekayaannya sudah luar biasa. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.,

لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ أُعْطِىَ وَادِيًا مَلأً مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا ، وَلَوْ أُعْطِىَ ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا ، وَلاَ يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

"Seandainya manusia diberi satu lembah penuh dengan emas, ia tentu ingin lagi yang kedua. Jika ia diberi yang kedua, ia ingin lagi yang ketiga. Tidak ada yang bisa menghalangi isi perutnya selain tanah. Dan Allah Maha Menerima tobat siapa saja yang mau bertobat.” (HR. Bukhari No. 6438)

Maksudnya adalah manusia akan terus mengisi perutnya dengan harta hingga ia mati dan perutnya terisi tanah. Kapitalisme sekuler telah menumbuhsuburkan korupsi karena dalam sistem ini produksi terus digenjot tanpa batas. Sedangkan manusia terus dihasut untuk belanja dan mengumpulkan harta. Kehormatan dan kemuliaan manusia seolah ditentukan oleh hartanya.

Selain itu, sistem ini lemah dalam penegakan hukum. Pejabat yang korupsi banyak yang aman dari jerat hukum, sedangkan yang tertangkap tidak mendapatkan hukuman yang menjerakan. Sudahlah divonis ringan, mereka masih mendapatkan aneka kemewahan, seperti kamar yang nyaman bak hotel, bisa pelesir (dengan alasan berobat), mendapatkan remisi, dll..

Dengan demikian, memberantas korupsi harus diawali dengan mengganti sistem kapitalisme sekuler yang bercokol di negeri ini. Selanjutnya adalah menerapkan ideologi dan sistem Islam (Khilafah).

Solusi Islam

Islam memulai pemberantasan korupsi dengan menghilangkan faktor pendorong korupsi, yaitu rasa tamak pada dunia. Akidah Islam mengajarkan bahwa makna kebahagiaan bukanlah materi, tetapi rida Allah Swt.. Sedangkan perilaku korup tidak diridai Allah sehingga harus dijauhi.

Firman Allah Taala dalam surah Al-Baqarah: 188,

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ

"Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui."

Akidah Islam yang menjadi pencegah orang berbuat koruptif ini dibentuk sejak dini melalui penanaman akidah Islam di rumah dan sekolah. Hasilnya adalah sosok berkepribadian Islam yang takut pada murka Allah dan hanya berharap pada rida Allah semata. Mereka tidak silau terhadap keindahan dunia karena kebahagiaan hakiki itu ada di surga.

Selain itu, Khilafah juga menerapkan syariat untuk mencegah pejabat dan aparat berbuat korup. Khilafah menghitung harta pejabat dan aparat sebelum dan sesudah menjabat. Jika ada kenaikan harta yang tidak wajar dan sumbernya tidak bisa mereka jelaskan secara rasional, negara akan menyita harta tersebut dan memasukkannya ke Baitulmal.

Khilafah juga menerapkan sistem sanksi yang tegas. Pelaku rasuah akan mendapatkan sanksi berupa takdir, yaitu penyitaan harta korupsi, kurungan, pengasingan, publikasi ke khalayak, dan bisa sampai level hukuman mati. Sanksi yang tegas berlaku untuk siapa saja, tanpa diskriminasi, meskipun terhadap keluarga penguasa.

Dengan serangkaian solusi ini, korupsi bisa diberantas secara tuntas. Wallahu a'lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Ragil Rahayu (Tim Penulis Inti NarasiPost.Com )
Ragil Rahayu S.E Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Negara tanpa Visi Merusak Generasi
Next
Jelang Ramadan: Harga Melonjak, Rakyat Sesak
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram