Sistem sekuler kapitalis inilah yang mendorong masyarakat untuk berlomba-lomba membuat konten berbahaya. Konten yang dihasilkan sekadar untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat ataupun komunitasnya.
Oleh. Rusdah
(Kontributor NarasiPost.Com, Aktivis Dakwah, dan Pegiat Pena Banua)
NarasiPost.Com-Tren media sosial kini semakin merajalela di kalangan generasi milenial dan Z. Berbagai jenis konten diposting ke media sosial agar viral dan mampu mendapatkan followers, likers, dan viewers yang banyak. Demi keviralan konten, terkadang para content creator tidak memperhatikan keselamatan diri dan orang lain.
Pada awal Maret 2023 lalu misalnya, seorang wanita tewas akibat menjadikan konten bunuh diri sebagai candaan ketika melakukan video call dengan temannya. Wanita berinisial W (21 tahun) tersebut berasal dari Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Pada saat kejadian W sedang video call dengan teman-temannya, lalu ia menyebut hendak membuat konten gantung diri. Nahasnya, kursi yang menjadi pijakan kakinya terjatuh dan akhirnya W benar-benar terlilit kain di lehernya. Seketika itu juga teman W mendatangi kediamannya, namun setibanya di lokasi, W sudah tak bernyawa (cnnindonesia.com, 03/03/2023).
Tak hanya konten-konten berbahaya yang dilakukan anak-anak muda saat ini. Tren flexing juga masih berseliweran di media sosial. Ajang memamerkan barang-barang mewah untuk mendapatkan prestise. Tidak peduli apakah barang tersebut memang dibutuhkan atau tidak, yang penting di- upload ke media sosial dan mendapatkan banyak likers. Menurut kutipan artikel dari suara.com ada beberapa faktor yang membuat seseorang melakukan flexing di media sosial di antaranya adalah kurangnya percaya diri, menarik lawan jenis, dan tekanan sosial (suara.com, 26/05/2022).
Kebiasaan ini akan memberikan dampak negatif bagi diri sendiri dan orang lain. Taraf berpikir yang rendah berakar dari cara pandang kehidupan yang salah. Cara pandang kehidupan seperti ini buah dari sistem kapitalisme sekuler yang menjadikan asas manfaat sebagai tolok ukur perbuatan. Sekularisme melahirkan generasi yang memisahkan antara agama dan kehidupan sehingga standar benar dan salah bukanlah dari syariat Islam. Maka wajar jika zaman now perilaku masyarakat khususnya pemuda jauh dari agama, justru lebih mengedepankan ego dan nafsu semata.
Sistem sekuler kapitalis inilah yang mendorong masyarakat untuk berlomba-lomba membuat konten berbahaya. Konten yang dihasilkan sekadar untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat ataupun komunitasnya. Bahkan, media-media yang dikuasai para kapital juga didesain untuk mendorong masyarakat hidup mewah, punya standar kecantikan ala Barat dan kehidupan hedonis lainnya.
Inilah yang menjadi akar permasalahan munculnya konten-konten berbahaya dan flexing di media sosial. Ketinggian taraf berpikir masyarakat tak tampak dalam sistem kapitalisme, yang ada hanyalah rendahnya cara berpikir seseorang dalam merespons suatu keadaan. Permasalahan ini juga andil dari kurikulum pendidikan yang sekuler. Pendidikan sekuler mengajarkan kepada masyarakat untuk mengedepankan gaya hidup ala Barat dan fakih terhadap ilmu keduniawian namun minim ilmu agama. Outcome -nya lahir generasi yang krisis keimanan dan mudah rapuh dengan keadaan.
Tak seperti generasi di masa kegemilangan Islam. Islam membekali umat dengan ilmu agama yang cukup untuk menghadapi kehidupan nyata. Di dalam Islam, masyarakat diberikan pemahaman bahwa tujuan kehidupan adalah untuk beribadah kepada Allah Swt. sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an surah Az-Zariyat ayat 56 yang artinya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Seorang muslim akan senantiasa menjadikan setiap langkah kaki dan perilakunya bernilai ibadah di mata Allah Swt. Meninggalkan semua perbuatan yang sia-sia seperti flexing dan konten-konten receh tak berbobot. Standar kebahagiaan bagi seorang muslim bukanlah materi melainkan keridaan-Nya. Pola pikir dan pola sikap selalu terikat dengan hukum syarak sehingga kehidupan menjadi terarah. Bukan seperti generasi sekarang yang tak punya arah tujuan.
Generasi akan mampu memiliki taraf berpikir yang tinggi apabila cara pandangnya terhadap kehidupan juga benar. Cara pandang ini hanya didapatkan melalui sistem yang sahih yaitu Islam. Islamlah yang mampu mencetak generasi pejuang pembangun peradaban bukan generasi lembek yang mudah diaruskan media. []