”Apa yang dilakukan pemerintah dalam pelarangan thrifting hanyalah kamuflase untuk memuluskan jalannya usaha para korporat kelas kakap dan membunuh pedagang kecil yang sekarang gigit jari.”
Oleh. Sherly Agustina, M.Ag.
(Kontributor NarasiPost.Com, Penulis, dan Pemerhati Kebijakan Publik)
NarasiPost.Com-Thrifting dan flexing menjadi fenomena yang menggejala di negeri ini, terutama di kalangan generasi milenial dan Z. Bagi mereka, mengenakan pakaian dan pernak-pernik branded sesuatu yang sangat penting. Oleh karenanya, mereka akan melakukan apa saja agar terlihat baik penampilannya. Generasi muda berburu pakaian bekas branded misalnya impor dari negara maju, memikirkan outfit of the day (OOTD) setiap hari. Pertanyaannya, apakah ini takdir bagi negara berkembang atau by design negara maju untuk negara-negara berkembang?
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Aria Bima memuji Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Aturan yang melarang impor pakaian bekas (thrifting). Aria mengatakan, larangan itu merupakan langkah tepat upaya pemerintah untuk melindungi industri tekstil dalam negeri. Fenomena masuknya pakaian bekas impor tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara penampung sampah baju bekas. Karena pakaian bekas yang masuk ke Indonesia merupakan pakaian bekas yang dikumpulkan kemudian dijual di Indonesia (Wartaekonomi.co.id, 27-3-2023).
Fenomena Thrifting
Melihat fenomena thrifting, ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, benarkah thrifting mengganggu industri tekstil dalam negeri? Kedua, fenomena thrifting sebenarnya impor sampah branded negara maju ke negara berkembang dan impor life style hedonis-materialis yang diterima dengan senang hati oleh generasi milenial dan Z di Indonesia.
Jika pemerintah melarang thrifting dengan alasan mengganggu perekonomian industri tekstil dalam negeri, benarkah demikian? Faktanya, dari data Asosiasi Pertekstilan Indonesia impor pakaian jadi dari Cina menguasai 80% pasar di Indonesia. Pada tahun 2020 impor pakaian jadi dari Cina sebesar 51.790 ton sementara pakaian bekas impor hanya 66 ton atau 0,13% dari impor pakaian dari Cina. Lalu, di tahun 2021 impor pakaian jadi dari Cina 57.110 ton sementara impor pakaian bekas sebesar hanya 8 ton atau 0,01% dari impor pakaian jadi dari Cina (Kompas.tv, 23-3-2023).
Melihat data tersebut, siapa sebenarnya yang dibela oleh Mendag dan Menkop UMKM?
Apabila data ini benar adanya, maka bisa dilihat bahwa pemerintah tidak benar-benar memperhatikan UMKM pedagang barang bekas impor. Apa yang dilakukan pemerintah dalam pelarangan thrifting hanyalah kamuflase untuk memuluskan jalannya usaha para korporat kelas kakap dan membunuh pedagang kecil yang sekarang gigit jari. Nyata, bahwa negara ini ada dalam genggaman para korporat yang selalu memberikan modal kepada para pejabat yang terpilih saat pemilu.
Bentuk balas budi para pejabat dan penguasa kepada para pengusaha adalah memuluskan jalan usaha korporat dengan aturan dan kebijakan apa pun. Tak peduli rakyat jadi korban, yang penting cuan. Wajah buruk kapitalisme yang kian dipertontonkan ini sudah selayaknya dicampakkan. Selain itu, sampah impor life style hedonis dan konsumtif telah merusak generasi muda yang tersibukkan dengan penampilan materi -an sich.
Generasi muda saat ini sudah terkontaminasi budaya konsumtif dan sophaholic (gila belanja). Pakaian bekas misalnya yang sudah menjadi sampah, bertemu dengan keinginan masyarakat miskin terhadap barang branded tetapi murah, hal itu memunculkan fenomena thrifting. Hal ini menunjukkan, bahwa negara-negara berkembang adalah tempat sampah bagi negara maju yang sophaholic.
Pandangan Islam
Lalu, apa solusi untuk meningkatkan industri tekstil dalam negeri? Pilihannya ialah negara harus bisa melepaskan diri dari cengkeraman industri tekstil asing dan aseng yang mematikan industri lokal dalam negeri. Bangsa ini harus mulai berani ambil sikap mandiri, karena sejatinya Indonesia memiliki segala kelebihan sumber daya alam dan manusia yang bisa diberdayakan. Potensi yang ada jangan dibiarkan dibajak dan dimanfaatkan oleh korporat yang memiliki kepentingan. Lebih tepatnya, Indonesia harus bisa lepas dari cengkeraman kapitalisme global.
Dalam Islam, kebutuhan sandang warga negara menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya, dengan menanamkan mindset bahwa berpakaian bukan hanya memenuhi nafsu konsumtif dan shopaholic. Negara memenuhi kebutuhan primer sandang rakyatnya untuk menutup aurat, sebagaimana Allah Swt. berfirman di dalam surah Al-A’raf ayat 26, “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.”
Konsep berpakaian dalam Islam yaitu sopan, tidak menyerupai orang kafir dan lawan jenis serta tidak transparan. Berpakaian juga untuk menjalankan kewajiban mendekat dan taat pada syariat. Mengenakan pakaian terbaik untuk beribadah kepada Allah, bukan disibukkan oleh outfit of the day (OOTD) yang dipamerkan seperti sekarang.
Negara harus tegas mengambil kebijakan, jika ada permainan industri tekstil yang merugikan negara dan rakyat, segera ditindak. Negara yang menjamin ketersediaan sandang setiap warga negaranya. Akidah yang menjadi asas setiap perbuatan, sehingga mendorong warga negara untuk terikat pada syariat terutama cara berpakaian yang islami. Dalam berpakaian tidak berlebihan, sepantasnya dan sewajarnya saja yang penting bersih dan halal.
Islam memang mencintai keindahan, tapi tidak berlebihan. Konsep berpakaian dalam Islam sangat unik dan sederhana, ini yang tidak dimiliki sistem lain. Kapitalisme menjadikan manusia diperbudak dunia berlomba mendapatkan barang branded bekas dan asli hanya untuk flexing. Oleh karenanya, hanya Islam satu-satunya sistem kehidupan yang bisa memanusiakan manusia tanpa diperbudak dunia. Allahu a’lam bi ash-shawab.[]