“Alih-alih menggelontorkan dana fantastis untuk program desa sentris yang tidak berdampak signifikan terhadap ekonomi masyarakat, bukankah lebih baik jika pemerintah fokus mengelola sumber daya alam negeri ini yang melimpah?”
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pemerintah mengeklaim telah berhasil mengubah arah pembangunan dari Jawa sentris atau hanya berpusat di Pulau Jawa, menjadi Indonesia sentris. Kemudian dari kota sentris menjadi desa sentris. Perubahan tersebut diklaim sebagai wujud nyata upaya yang dilakukan pemerintah selama delapan tahun terakhir. Perubahan tersebut bahkan dipamerkan langsung oleh Presiden Jokowi saat memberikan sambutan pada Pembukaan Workshop dan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pemenangan Partai Amanat Nasional (PAN) di Semarang, pada 26 Februari 2023.
Dalam kesempatan tersebut, Jokowi mengemukakan bahwa pergerakan ekonomi di Indonesia sudah merata. Jika dahulu pembangunan infrastruktur hampir 70 persen hanya berpusat di Pulau Jawa, kini setidaknya 53 persen investasi sudah berada di luar Jawa. Bukti tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh Presiden Jokowi, tercermin dari penggelontoran dana desa sebesar Rp470 triliun terhadap 74.800 desa di Indonesia. Anggaran tersebut merupakan realisasi dana desa sejak 2015 hingga 2022. (Cnbcindonesia.com, 26/02/2023)
Selain dana desa, pemerintah menyebut telah menggelontorkan dana untuk pembangunan fisik seperti infrastruktur sebesar Rp3.309 triliun, sebagaimana diberitakan oleh media berita RMOL. Lantas, apakah dana desa untuk program desa sentris benar-benar mampu menyejahterakan rakyat dan mengurai kemiskinan? Jika tidak, adakah solusi hakiki mengurai kemiskinan dan menyejahterakan rakyat?
Tak Cukup Dana Desa
Dalam melaksanakan pemerintahan di sebuah desa, anggaran merupakan salah satu hal yang harus dimiliki demi mengoptimalkan kinerja pemerintahan. Karena itu, desa juga wajib memiliki pemasukan. Dalam Pasal 72 UU 6/2014jo dan Perppu 1/2020, pendapatan desa berasal dari pendapatan asli, bagian hasil pajak dan retribusi daerah, alokasi APBN, bantuan keuangan dari APBD provinsi dan APBD kabupaten/kota, hibah dan sumbangan pihak ketiga, serta dana desa.
Alokasi dana desa sendiri sebagaimana diterangkan dalam Pasal 19 PP 60/2014, ditujukan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pemberdayaan masyarakat, pembangunan, dan kemasyarakatan. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat dan pembiayaan pembangunan, bentuknya berupa pembangunan pelayanan dasar pendidikan, infrastruktur, kesehatan, serta pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Sayangnya, cita-cita luhur menggerakkan ekonomi dan menyejahterakan rakyat tampaknya masih jauh panggang dari api. Jika mengulik lebih dalam, penggelontoran miliaran dana desa sejatinya tidaklah cukup untuk menyejahterakan rakyat dan mengurai kemiskinan ekstrem. Hal ini dapat dilihat dari data penduduk miskin yang masih cukup besar hingga kini.
Dikutip dari data Bps.go.id, jumlah penduduk miskin pada September 2022 sebesar 26,36 juta orang (9,57 persen). Sedangkan jumlah penduduk miskin ekstrem per Maret 2022 sebesar 5,59 juta orang. Kemiskinan ekstrem sendiri jika mengacu pada Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), adalah apabila pendapatan sebesar US$1,9 purchasing power parity (PPP) atau paritas daya beli per hari. Masih banyaknya penduduk miskin menunjukkan bahwa anggaran dari dana desa belum cukup signifikan mewujudkan kesejahteraan.
Salah Sasaran
Selain tak cukup signifikan mewujudkan kesejahteraan, penyaluran dana desa pun masih memiliki banyak problem. Sebut saja, tentang penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) yang tidak tepat sasaran. Dalam implementasinya, masih banyak orang yang seharusnya berhak menerima bantuan, tetapi justru tidak mendapatkannya. Ataupun ada yang menerima, tetapi secara ekonomi tidak terkategori miskin.
Selain salah sasaran, dana desa yang jumlahnya sangat besar justru menjadi lahan basah bagi mereka yang tidak bertanggung jawab. Buktinya adalah muncul desa-desa fiktif yang menerima transferan dana desa. Sehingga anggaran yang seharusnya untuk membangun infrastruktur dan membantu ekonomi masyarakat desa, justru raib entah ke mana. Selain kasus desa fiktif, dana desa juga banyak dikorupsi oleh para kepala desa yang merugikan negara ratusan juta dalam setiap kasusnya. Fakta-fakta tersebut makin menunjukkan tidak efektifnya dana desa dalam mengurai kemiskinan.
Berbagai problem yang mengiringi penyaluran dana desa sejatinya disebabkan oleh tidak efektifnya sistem evaluasi pengelolaan dana desa, buruknya koordinasi antarlembaga terkait, serta adanya kongkalikong dalam pengawasan. Tak heran, jika kemiskinan riil di lapangan bukannya berkurang, tetapi justru terus bertambah meski pemerintah sudah menutupnya melalui dana desa. Utak-atik data dan standar kemiskinanlah yang kadang menyebabkan jumlah penduduk miskin seolah berkurang.
Di sisi lain, meski ekonomi rakyat ditopang oleh bantuan pemerintah, tetapi di saat yang sama biaya hidup makin tak terjangkau. Lonjakan harga kebutuhan pokok bahkan tak mampu dikendalikan oleh pemerintah. Padahal rakyat masih harus dibebani dengan biaya listrik, pendidikan, kesehatan, dan lainnya yang semuanya tidak gratis. Andaipun pembangunan telah desa sentris, tetapi dalam banyak kasus pembangunan di alam demokrasi sering kali tidak linear dengan kesejahteraan rakyat.
Solusi Parsial
Sejatinya perekonomian desa sentris hanyalah solusi parsial yang tidak mampu mewujudkan kesejahteraan secara nyata. Pasalnya, kemiskinan yang terjadi saat ini disebabkan oleh faktor struktural. Maka, solusinya pun harus dilakukan secara struktural oleh negara. Alih-alih menggelontorkan dana fantastis untuk program desa sentris yang tidak berdampak signifikan terhadap ekonomi masyarakat, bukankah lebih baik jika pemerintah fokus mengelola sumber daya alam negeri ini yang melimpah?
Padahal dengan mengelola SDA secara mandiri, sumber-sumber pemasukan negara akan lebih besar sehingga hasilnya sangat cukup untuk mewujudkan pembangunan secara merata dan optimal sampai ke desa. Sayangnya hal itu tidak dilakukan pemerintah. Namun, inilah tabiat sistem demokrasi kapitalisme yang tak mampu menjadi solusi tuntas terhadap seluruh permasalahan. Kebijakan yang diambil bukannya menjadi solusi, justru menciptakan permasalahan baru.
Sebab, kapitalisme dibangun di atas prinsip dasar bahwa persoalan utama ekonomi terletak pada kelangkaan barang dan jasa. Akhirnya solusi yang diambil adalah memperbanyak produksi, bukan fokus pada persoalan distribusi. Hal ini makin menggambarkan bahwa fokus utama kapitalisme adalah pertumbuhan, bukan pemerataan ekonomi. Walhasil, meski ekonomi tumbuh dalam suatu negara atau desa, jika prinsip dasar kapitalisme terfokus pada pertumbuhan ekonomi dan bukan pemerataan, maka kemiskinan akan terus muncul ibarat lingkaran setan. Walhasil, kesejahteraan hakiki akan terus menjadi mimpi dalam sistem ekonomi kapitalisme.
Mekanisme Memupus Kemiskinan
Sejatinya kesejahteraan sangat erat kaitannya dengan distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Di samping itu, kesejahteraan juga berkaitan erat dengan pengaturan kepemilikan secara tepat. Jika kesejahteraan hanyalah utopis dalam sistem kapitalisme, maka berbeda halnya dengan Islam. Penerapan syariat Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan meniscayakan jaminan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Untuk mewujudkan kesejahteraan, tentu saja harus menghapus jejak-jejak kemiskinan terlebih dahulu.
Kemiskinan adalah suatu keadaan di mana seseorang dalam kondisi sangat membutuhkan sehingga tidak bisa dimintai sesuatu. Karenanya, Islam memberikan dorongan kepada orang-orang yang memiliki harta agar memperhatikan mereka yang miskin. Berikut langkah-langkah sistem Islam dalam mengurai kemiskinan:
Pertama, Islam mewajibkan kepada kerabat terdekat yang memiliki hubungan darah untuk membantu keluarganya yang miskin. Hal ini sebagaimana termuat dalam surah Al-Hajj ayat 28, " … Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir."
Kedua, jika tidak ada kerabat atau ada tetapi tidak memiliki kemampuan untuk membantu, maka kewajiban memenuhi kebutuhan fakir miskin beralih ke baitulmal. Anggaran tersebut diambil dari pos zakat mal.
Ketiga, jika zakat masih belum mencukupi untuk membiayai kebutuhan fakir dan miskin, maka akan diambilkan dari sumber pemasukan yang lain, yakni pos pengelolaan kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Di sinilah peran urgen negara (Khilafah) sebagai pemelihara urusan rakyat. Hal ini sejalan dengan hadis riwayat al-Bukhari, "Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya."
Karena itu terkait sumber daya alam (SDA), negara wajib mengatur konsep kepemilikannya. Jika harta tersebut masuk dalam kepemilikan individu, maka negara membolehkan dan mengaturnya agar setiap individu dapat memilikinya. Selain itu, negara juga mendorong agar setiap individu memproduksi dan mendapatkan harta dari kepemilikannya tersebut.
Selanjutnya jika harta tersebut masuk dalam kepemilikan umum, maka satu-satunya pihak yang wajib mengelola adalah negara sebagai wakil rakyat, baik saat mengeksplorasi maupun mendistribusikannya. Keuntungan dari pengelolaan tersebut akan digunakan untuk kemaslahatan rakyat, baik dalam bentuk produknya langsung maupun dalam bentuk pelayanan. Seperti pendidikan, kesehatan, pembangunan jalan, infrastruktur, maupun fasilitas umum lainnya secara gratis.
Keempat, jika ketiga mekanisme tersebut masih belum mencukupi karena dana yang tidak memadai, maka dalam kondisi seperti ini negara akan mewajibkan pungutan (dharibah) kepada orang-orang kaya saja yang sifatnya temporal. Jika persoalan pemberian nafkah terhadap fakir dan miskin sudah mampu diatasi, maka dharibah secara otomatis dihentikan.
Mekanisme di atas menggambarkan terjadinya sirkulasi harta yang lancar dari unit terkecil yakni keluarga, kerabat, dan berada dalam pantauan negara. Dengan mekanisme tersebut pula, setiap orang yang berada dalam situasi sangat membutuhkan (miskin) dapat terdeteksi keberadaannya dengan cepat. Sementara itu, pengelolaan SDA yang berlandaskan prinsip syariat Islam meniscayakan pemasukan baitulmal sangat cukup untuk membiayai pembangunan secara merata ke seluruh wilayah, termasuk desa. Jika seluruh kebutuhan individu masyarakat telah terpenuhi baik sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, serta layanan infrastruktur penunjang lainnya secara gratis, maka hal itu akan berdampak terhadap kesejahteraan secara nyata.
Khatimah
Sejatinya kemiskinan terjadi karena ada sirkulasi harta yang tidak berjalan dengan lancar di tengah masyarakat. Juga kebijakan salah yang diterapkan negara di bawah sistem demokrasi kapitalisme. Mewujudkan kesejahteraan dengan membangun desa sentris hanyalah menutup satu masalah, tetapi membuka masalah baru. Problem ini hanya bisa terurai dengan mengubah prinsip ekonomi kapitalisme dengan ekonomi Islam. Perubahan tersebut hanya bisa dilakukan jika syariat Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahu a'lam.[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayagkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]