"Kekuasaan yang landasannya adalah materi, bukan rida Allah ataupun kepentingan rakyat, tak akan menjadikan rakyat sebagai prioritas. Sebab mereka menyalonkan diri dengan biaya sponsor, yang akan tiba saatnya harus dikembalikan, bukan dengan uang, namun kebijakan yang condong pada sang sponsor yakni pengusaha."
Oleh. Dia Dwi Arista
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Negara demokrasi memiliki agenda wajib per lima tahunan. Pesta demokrasi, atau yang biasa disebut sebagai Pemilu (Pemilihan Umum) sejatinya akan digelar pada tahun 2024 di Indonesia. Namun, muncul huru-hara, gegara usulan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, yang melontarkan keinginan agar Pemilu dua tahun lagi ditunda.
Alasannya adalah negara ini masih berupaya mengembalikan perekonomian yang ambruk tergerus oleh dahsyatnya pandemi. Sedangkan Pemilu sendiri tentu akan menghabiskan dana yang tak sedikit. Usulan ini mendapat sokongan dari dua ketua partai lainnya, yakni Zulkifli Hasan, Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) dan Airlangga Hartanto, Ketua Partai Golongan Karya (GOLKAR).
Mereka bertiga mengeklaim bahwa usulan tersebut telah mendapat dukungan dari mayoritas penduduk. Data ini diperoleh dari Big Data, maupun aspirasi rakyat secara langsung. (nasional.kompas.com, 1/3/2022). Sungguh mereka melempar humor garing. Tidakkah mereka melihat sumpah serapah rakyat di media-media sosial? Lantas, rakyat manakah yang menjadi objek pengambilan suara?
Penundaan Pemilu, ke Mana Muaranya?
Bawono Kumoro, Peneliti Indikator Politik Indonesia mengatakan bahwa usul penundaan Pemilu adalah hal yang kontraproduktif dengan keberlangsungan demokrasi konstitusional dan aspirasi publik itu sendiri. Dalam temuan survei Indikator Politik Indonesia pada Desember tahun lalu, ditemukan 67,2 persen responden memilih tetap melanjutkan Pemilu meski dalam kondisi pandemi. Sedangkan 24,5 persen memilih menunda.
Bahkan survei yang dikeluarkan oleh Charta Politika memiliki hasil yang lebih signifikan menunjukkan aspirasi rakyat yang tidak setuju jika terdapat penundaan Pemilu 2024. Sebanyak 17,3 persen responden menyatakan setuju pemilu ditunda. Sedangkan 81,7 persen responden lainnya tidak menyetujui wacana penundaan Pemilu 2024. Survei ini dirilis pada 20 Desember 2021 yang lalu.
(nasional.kompas.com, 1/3/2022).
Maka jelas banyak keraguan yang muncul atas usulan penundaan Pemilu 2024. Apalagi dalih yang mereka lontarkan adalah demi aspirasi rakyat. Banyak yang menilai bahwa wacana penundaan Pemilu adalah akal-akalan orang yang berkepentingan dengan kekuasaan pemerintahan Jokowi. Sedangkan rakyat hanya dijadikan kambing hitam oleh ambisi mereka.
Bawono pun menduga, bahwa grand design usulan ini datang dari elite politik dan pengusaha yang diuntungkan selama ini dengan kekuasaan Jokowi. Sebab jika diamati lebih dalam, memang dalam pemerintahan Jokowilah elite politik dan pengusaha mendulang banyak harta. Begitu pula dengan kursi-kursi kekuasaan yang selama ini mereka dapatkan, terasa nyaman hingga muncul ketidakrelaan untuk turun darinya.
Sedangkan di kubu oposisi, sebagian besar menolak usulan tersebut, dengan alasan bahwa penundaan Pemilu adalah pencederaan konstitusi. Padahal, bisa jadi mereka hanya tak rela melepas kesempatan maju sebagai pemenang di pemilu mendatang, sebab elektabilitas sedang tinggi-tingginya. Jadi, adanya wacana penundaan Pemilu ini jelas muaranya.
Fokus Kesejahteraan Rakyat
Selama kurun dua periode Jokowi memimpin negara ini, kehidupan rakyat serasa semakin terhimpit. Berbagai kebijakan represif dan lebih condong pada kepentingan elite bisnis kerap diketuk. Misal, undang-undang Ciptaker (omnibus law), yang dinilai lebih berpihak pada pengusaha daripada buruh.
Rakyat pun tak lupa dengan kebijakan plin-plan penanganan pandemi di Indonesia, yang akhirnya memakan korban hingga jutaan. Apalagi jurus-jurus pengganti lockdown yang dikeluarkan sebagai alasan mangkir dari memenuhi seluruh kebutuhan rakyat ketika karantina, hal ini menimbulkan berbagai kepedihan di tengah-tengah masyarakat.
Namun ternyata penderitaan rakyat tak berhenti di sana, di tengah terpuruknya ekonomi rakyat, kebijakan wajibnya BPJS malah menghantui masyarakat. BPJS menjadi kunci sakti andalan pemerintan untuk memaksa rakyat membayar iuran asuransi kesehatan, dengan ancaman pelayanan umum tidak akan diterima sebelum memiliki keanggotaan BPJS.
Tidakkah mereka sadar, bahwa kondisi masyarakatnya lebih banyak berada di kalangan menengah ke bawah? Yang harus memenuhi seluruh kebutuhan keluarganya karena minimnya subsidi pemerintah? Apalagi tenaga mereka diganjar dengan upah UMR yang jelas tak cukup untuk sebulan. Bahkan banyak pula yang mendapat gaji di bawah UMR. Namun, tanpa perasaan dan pemikiran mendalam mereka memaksa rakyat membayar iuran.
Belum lagi, harga-harga barang kebutuhan yang kian hari kian meroket, minyak goreng, kedelai, daging, gas, dan lain sebagainya. Inilah wajah asli demokrasi, yang jarang sekali melahirkan pemimpin yang tulus bekerja untuk rakyat. Rakyat hanyalah alat untuk menggenggam kekuasaan, setelahnya dengan mudah mangkir janji-janji kampanye.
Kekuasaan yang landasannya adalah materi, bukan rida Allah ataupun kepentingan rakyat, tak akan menjadikan rakyat sebagai prioritas. Sebab mereka menyalonkan diri dengan biaya sponsor, yang akan tiba saatnya harus dikembalikan, bukan dengan uang, namun kebijakan yang condong pada sang sponsor yakni pengusaha.
Pemilihan Pemimpin dalam Islam
Dalam sistem Islam, politik diartikan sebagai aktivitas untuk mengurus seluruh masyarakat. Maka, pemilihan pemimpin pun diadakan dengan sederhana mungkin, hingga tidak ada celah bagi perusak kebijakan seperti pengusaha dalam kapitalisme masuk dalam lingkaran pengambil kebijakan.
Islam memiliki mekanisme tersendiri untuk memilih pemimpin di tengah-tengah masyarakat. Secara turun-temurun, Khalifah dipilih dengan cara di baiat. Imam An-Nawawi dalam Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj mengatakan, “Akad Imamah (Khalifah) sah dengan adanya baiat dari Ahlul Halli wal Aqdi…yang mudah untuk dikumpulkan.”
Pemilihan Khalifah dalam Islam, tak mensyariatkan memiliki pendukung yang kuat. Namun, Khalifah yang akan dipilih harus memenuhi beberapa kriteria: muslim, laki-laki, berakal sehat, merdeka, adil, balig, dan memiliki kemampuan dalam memimpin. Hanya inilah kriteria pemimpin dalam Islam. Kriteria mampu dijelaskan sebagai kemampuan Khalifah dalam memimpin rakyatnya dengan hukum-hukum atau syariat Islam. Sebab, ia di baiat oleh rakyat untuk melaksanakan syariat. Dalam pemilihan, maupun nantinya dalam pemerintahan Khalifah wajib menggunakan Islam sebagai landasan seluruh kebijakannya.
Seorang Khalifah akan terus menjabat sebagai seorang pemimpin, sebab dalam Islam tidak terdapat periodisasi sebagaimana dalam demokrasi. Khalifah akan terus memimpin kaum muslimin sepanjang ia tidak melalaikan syariat Islam. Ia bisa diturunkan seandainya ada pelanggaran syariat yang dilakukannya.
Dalam pembuatan hukum, tentu tidak ada andil manusia di dalamnya meskipun jabatannya adalah seorang Khalifah. Pembuatan hukum mutlak adalah hak Allah Swt., Khalifah hanya boleh berijtihad/menggali hukum dari nas-nas yang telah ada (Al-Qur’an dan Sunah). Allah Swt. berfirman, “Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah”. (TQS. Al-An’am ayat 57).
Tugas Khalifah sebagai periayah urusan rakyat tentu mewajibkannya untuk menyejahterakan rakyat, memenuhi segala kebutuhan rakyat dengan mudah dan murah. Dan hal ini bertolak belakang dengan pemimpin dalam kapitalisme demokrasi, yang lebih memperkaya diri dan golongan dengan berbagai kebijakan. Menyengsarakan rakyat dengan menaikkan pajak setinggi-tingginya, namun kosong pelayanannya. Allahu a’lam bis-showwab.[]