"Sistem kapitalisme meniscayakan negara meminimalisasi perannya dalam pengaturan layanan publik, termasuk layanan kesehatan."
Oleh. Mariam
Narasipost.Com-Seorang bapak terlihat terengah-engah mengatur napas, menahan sakit yang dia derita, menguatkan diri untuk mendapatkan identitas resmi demi mendapatkan pelayanan kesehatan secara percuma. Pembuatan e-KTP yang dilakukannya untuk memenuhi syarat agar operasi penyumbatan usus yang dideritanya bisa tertutupi oleh BPJS. Namun sayang, regulasi yang mempersulitnya membuatnya tidak bisa bertahan cukup lama dan menghembuskan nafas terakhirnya di kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Bulukumba, pada Selasa (15/3).
Bapak itu bernama Amiluddin (50) tahun, dia meninggal dunia usai menjalani perekaman elektronik KTP demi membuat kartu BPJS Kesehatan. Amiluddin yang telah lama bekerja di Malaysia sebagai TKI ini, tidak mempunyai KTP sehingga pihak keluarga yang tidak mampu untuk membayar biaya operasi khusus untuk Amiluddin. Sehingga, membuatnya terpaksa mengurus e-KTP untuk mendapatkan penanganan operasi dari pihak rumah sakit.
Menurut dr. Siti Fadilah Suparti sebagai Menteri Kesehatan RI 2004-2009 dalam wawancaranya di stasiun TvoneNews beliau mengungkapkan bahwa seharusnya BPJS mempunyai pintu exit agar pasien bisa mendapatkan penanganan operasi terlebih dahulu baru dibuat BPJS. Itu baru ada perlindungan untuk rakyat, tetapi di undang-undang tidak ada. Jika ingin melihat BPJS itu benar-benar melindungi rakyat atau tidak, bukan melihat bagaimana dia menolong orang, tapi dilihat dari undang-undang. Karena saya pernah di- judicial review ke Mahkamah Konstitusi, bahwa ternyata memang banyak aturan BPJS yang melanggar undang-undang.
Situasi ini seharusnya bisa menjadi renungan bagi kita dan menjadi sadar bahwa bernaung dan berpangku tangan pada BPJS yang dipegang oleh pihak swasta, tentunya bukan ingin menyejahterakan rakyat namun meraup keuntungan bagi para pemangku kepentingan. Sistem kapitalisme yang selalu bertumpu pada materi ini, memang akan menuntut untuk selalu ada nilai dan keuntungan. Berbagai kebijakan yang menyulitkan dan tentunya akan menjadi beban, membuat ironi yang menyakitkan bagi rakyat.
Sistem kapitalisme meniscayakan negara meminimalisasi perannya dalam pengaturan layanan publik, termasuk layanan kesehatan. Rakyat harus terbebani dengan ongkos kesehatan yang semakin mencekik, fasilitas kesehatan yang tidak mumpuni, serta regulasi yang berbelit-belit hingga lama menunggu dan mengantre hanya demi mendapatkan layanan gratis.
Berbeda jika hukum Islam diterapkan secara kaffah oleh negara yang disebut Khilafah. Islam mempunyai paradigma yang benar perihal kesehatan yang itu menjadi kebutuhan dasar yang harus terpenuhi oleh para penguasa di dalam Khilafah. Penguasa atau pemimpin mempunyai tanggung jawab penuh atas rakyatnya, khalifah harus mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan kesehatan secara optimal dan bisa terjangkau oleh masyarakat. Sistem Khilafah ini tentu tidak akan menyerahkan urusan kesehatan pada lembaga asuransi, tidak juga mempersulit kebijakan dan regulasi untuk mendapatkan penanganan medis. Sehingga, nantinya kesehatan bisa diakses semua orang tanpa adanya kasta secara ekonomi.
Dikutip dari helpsharia.com dalam Islam, sistem kesehatan terdiri dari tiga unsur. Pertama, peraturan, baik berupa peraturan syariat Islam, kebijakan maupun peraturan teknis administratif. Kedua, sarana dan peralatan fisik seperti rumah sakit, alat-alat medis, dan sarana prasarana kesehatan lainnya. Ketiga, sumber daya manusia (SDM) sebagai pelaksana, seperti dokter, perawat, tenaga medis, dan sebagainya.
Untuk memenuhi kebutuhan rakyat terhadap layanan kesehatan yang baik, Khilafah akan mendirikan institusi untuk memberikan pelayanan kesehatan yang objektif dan pastinya terbaik. Pasien dilayani tanpa membedakan ras, warna kulit, dan agama, tanpa batas waktu sampai pasien benar-benar sembuh. Pasien tidak hanya memperoleh peralatan, obat, dan makanan gratis yang tentunya berkualitas. Namun, pasien juga akan diberikan pakaian dan uang saku yang cukup selama dalam proses menjalani perawatan.
Negara pun tidak luput dalam melaksanakan tanggung jawab kepada orang-orang yang mempunyai kondisi sosial khusus seperti orang-orang yang tinggal di tempat terpencil dan belum mempunyai fasilitas rumah sakit yang mumpuni, para tahanan di penjara, orang-orang cacat yang sulit beraktivitas ataupun musafir yang bepergian. Negara akan mendirikan rumah sakit keliling tanpa mengurangi kualitas pelayanan yang akan diberikannya.
Ini pernah diaplikasikan di masa Sultan Mahmud (511-525 H), rumah sakit keliling yang dilengkapi dengan alat terapi kedokteran dan sejumlah dokter pernah beroperasi menelusuri pelosok-pelosok negeri. Dalam Islam pembiayaan kesehatan bersifat berkelanjutan, biaya kesehatan ditanggung oleh Baitul Mal dengan pengeluaran yang bersifat mutlak. Namun, jika tidak mencukupi atau tidak tersedia di pos Baitul Mal yang diperuntukkan untuk pelayanan kesehatan, maka boleh dilakukan penarikan pajak temporer sebesar yang dibutuhkan. Jika upaya ini mendatangkan mudarat dan berakibat menyusahkan masyarakat, negara boleh diizinkan untuk berutang secara syar’i tanpa riba kepada rakyat yang kaya raya.
Jadi, tidak ada rakyat yang susah mendapatkan layanan kesehatan, tidak ada kebijakan dan regulasi yang berbelit-belit hingga aturan lebih dipentingkan daripada nyawa. Justru dalam Islam jaminan kesehatan akan sepenuhnya ditangani negara. Inilah indahnya syariat Islam jika diterapkan, tidak lagi memercayakan sistem kapitalisme yang hanya peduli pada para penguasa, dan hanya bermodal ucapan dusta untuk meyakinkan masyarakat. Namun nihil tindakan nyata, yang ada justru malah mencekik rakyat dengan banyak kebijakan, hingga tidak dapat mendapatkan fasilitas layanan terbaik yang diharapkan. []