"Stunting masih menjadi sebuah ancaman. Tentu bukan karena tidak ada sumber makanan yang bergizi. Namun, karena kesalahan tata kelola sumber daya serta kebijakan yang tak sesuai dengan tuntunan syarak. Padahal, Allah Swt. justru memberikan rahmat yang luar biasa bagi negeri kita ini. Banyak bahan pangan di Indonesia yang kaya akan nutrisi. Namun, sekali lagi semua itu tak akan pernah terwujud tanpa adanya peran negara yang mengelola dengan tepat.'
Oleh. Annisa Fauziah, S.Si
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Gemah ripah loh jinawi, begitulah semboyan yang menggambarkan kekayaan alam yang berlimpah di negeri ini. Namun, sayangnya gambaran tersebut seperti angan-angan saja. Sebab, negeri ini justru mengalami krisis multidimensi. Salah satu tantangan yang dihadapi di negeri ini, yaitu angka kasus stunting yang masih tinggi.
Prevalensi stunting berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada 2021 berada di angka 24,4 persen atau 5,33 juta balita (kemenkopmk.go.id, 20/1/22). Angka tersebut masih menunjukkan bahwa stunting di Indonesia masih lebih tinggi dari toleransi maksimal yang ditetapkan oleh WHO, yaitu kurang dari 20 persen. (Kompas.com, 20/05/21)
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak, baik pertumbuhan tubuh maupun otak yang disebabkan kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Hal ini mengakibatkan anak lebih pendek dari anak normal seusianya. Selain itu, kondisi ini bisa membuat anak memiliki keterlambatan dalam berpikir.
Stunting bisa terjadi sejak janin dalam kandungan hingga awal kehidupan anak (1000 Hari Pertama Kelahiran). Hal tersebut disebabkan karena rendahnya akses terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, serta buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani. Selain itu, ibu yang masa remajanya kurang nutrisi, termasuk masa kehamilan dan laktasi ternyata sangat berpengaruh pada pertumbuhan tubuh dan otak anak. (Kemkes.go.id, 28/05/18)
Sungguh ironis, saat ini kita menyaksikan calon generasi penerus peradaban justru terancam oleh bayang-bayang stunting yang menghantui. Apalagi permasalahan stunting ini bukan sekadar tentang kualitas fisik generasi. Namun, berpengaruh kepada tumbuh kembang optimal anak di usia dewasanya kelak.
Dengan demikian, permasalahan stunting bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sepele. Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas, bekerja sama dengan BKKBN melakukan pendampingan calon pengantin dengan pendidikan pranikah melalui melalui KUA. Bahkan, penyuluh agama pun dilibatkan secara aktif dalam upaya menekan stunting. Apalagi pemerintah menargetkan angka stunting bisa turun menjadi 14 persen pada tahun 2024. (republika.co.id, 11/03/22)
Melihat fenomena ini, apa yang harus kita lakukan? Apakah cukup dengan penyuluhan kepada masyarakat untuk menurunkan angka stunting? Bukankah ada akar permasalahan lain yang menyebabkan angka stunting di negeri ini masih tinggi?
Stunting Akibat Problem Sistemis
Sekilas, masyarakat melihat bahwa stunting hanya berkaitan dengan faktor kesehatan saja. Dengan demikian, solusi yang ditawarkan pun hanya seputar edukasi kesehatan dan sejenisnya. Namun, sejatinya belum menyentuh akar permasalahannya. Jika kita menganalisis lebih dalam, sejatinya hal ini merupakan masalah cabang yang lahir dari kesalahan sistemis dalam pengaturan urusan rakyat. Sistem kesehatan yang ada di negeri ini sangat dipengaruhi oleh sistem politik dan ekonomi yang diadopsi.
Saat ini, kita hidup di dalam sistem kapitalisme sekuler yang berorientasi profit. Alhasil, ketika melakukan pengurusan terhadap urusan rakyat maka untung rugi senantiasa diperhitungkan. Berbagai bentuk perundang-undangan yang dihasilkan pasti akan berpihak kepada kepentingan segelintir orang. Stunting hanyalah masalah hilir yang diakibatkan oleh masalah hulu, yaitu sistem politik yang menerapkan aturan buatan manusia.
Alhasil, meskipun kita hidup di negeri maritim dengan keanekaragaman biodiversitas di dalamnya. Namun, stunting masih menjadi sebuah ancaman. Tentu bukan karena tidak ada sumber makanan yang bergizi. Namun, karena kesalahan tata kelola sumber daya serta kebijakan yang tak sesuai dengan tuntunan syarak.
Padahal, Allah Swt. justru memberikan rahmat yang luar biasa bagi negeri kita ini. Banyak bahan pangan di Indonesia yang kaya akan nutrisi. Namun, sekali lagi semua itu tak akan pernah terwujud tanpa adanya peran negara yang mengelola dengan tepat. Justru, tak jarang kebutuhan pokok pangan bagi masyarakat pun diimpor dengan alasan mendapatkan profit yang tinggi. Lalu, siapa yang sebenarnya mendapatkan keuntungan dari penerapan kebijakan ini? Bukankah para pemilik modal yang menikmati berbagai kekayaan alam yang kita miliki? Adapun rakyat miskin hanya gigit jari. Sebab, untuk makan makanan bergizi bisa jadi hanya ilusi. Bahkan,tak ada jaminan bahwa esok hari mereka masih bisa makan sesuap nasi. Bukankah semua ini adalah sebuah ironi?
Saat ini, negara tidak seutuhnya hadir untuk benar-benar mengurusi kebutuhan rakyat. Negara hanya berperan sebagai regulator yang menetapkan peraturan yang berpihak kepada pengusaha. Alhasil para pengusaha ini semakin kaya raya. Adapun petani, nelayan, dan rakyat biasa yang kena imbasnya. Bahkan, anak-anak kita pun harus menelan pil pahit, yaitu mendapatkan asupan makanan yang ala kadarnya. Jikalau ada penyuluhan dan bantuan makanan bergizi tentu sifatnya hanya insidental saja.
Dengan demikian, mata rantai dari permasalahan stunting ini adalah dampak dari kemiskinan yang belum terselesaikan. Maka, wajar jika banyak masyarakat yang tak lagi mementingkan asupan nutrisi yang masuk ke dalam tubuh. Apalagi memperhatikan kadar gizi makanan yang dikonsumsi. Sebab, yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana bisa bertahan hidup hingga hari esok. Bisa makan sesuap nasi pun sudah disyukuri.
Melihat kondisi ini, rakyat seolah dipaksa untuk bersabar dan bisa memahami. Sebab, kemiskinan ini seolah terjadi akibat pandemi. Padahal, jauh sebelum terjadi pandemi, tata kelola yang dihasilkan dari sistem kapitalisme tak henti membuat masyarakat menderita. Sulitnya mencari lapangan pekerjaan bagi para pencari nafkah tentu sangat berkolerasi dengan sulitnya mereka memberi makanan yang sehat kepada keluarganya. Lalu, ke mana lagi rakyat harus mengadu? Apakah kita harus pasrah menyaksikan stunting yang kian mengancam generasi penerus peradaban?
Tata Kelola Kebijakan dalam Islam Membuat Masyarakat Sehat Paripurna
Permasalahan distribusi kekayaan di tengah masyarakat menjadi pangkal dari kemiskinan. Oleh karena itu, untuk memutus mata rantai masalah ini maka perlu dihadirkan sistem distribusi kekayaan yang adil. Hal tersebut bisa dilakukan ketika negara benar-benar berperan untuk menjamin kebutuhan pokok masyarakat.
Selain itu, negara pun harus memberikan kesempatan yang luas bagi rakyat untuk memenuhi kebutuhan sekundernya. Dengan demikian, berbagai kalangan masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan lapangan pekerjaan. Jika para kepala keluarga sudah mendapatkan penghasilan, maka pemenuhan gizi keluarga pun bisa terjamin.
Sistem politik dan ekonomi Islam yang berbasis akidah Islam akan menopang sistem lainnya dalam tatanan kehidupan masyarakat. Misalnya saja, dalam bidang kesehatan, maka negara memastikan pelayanan terbaik bagi seluruh komponen masyarakat, baik untuk mendapatkan akses terhadap fasilitas kesehatan, dokter, dan obat-obatan. Negara akan menyediakan sarana dan prasarana yang terintegrasi. Artinya, bukan hanya penyediaan rumah sakit dengan kapasitas yang besar. Justru negara pun akan melakukan langkah preventif agar stunting ini tidak terjadi. Penyediaan lapangan pekerjaan bagi para pencari nafkah hingga menyediakan pelayanan kesehatan yang gratis bagi seluruh lapisan masyarakat.
Kisah Khalifah Umar bin Khatab bisa menjadi teladan. Pada tahun 18 H Jazirah Arab mengalami kelaparan hebat dan kemarau. Bahkan, banyak binatang ternak yang mati kelaparan. Umar bin Khatab menyedekahkan hartanya lalu memerintahkan kepada seluruh struktur, perangkat negara, serta semua potensi yang ada untuk membantu masyarakat yang terdampak, termasuk membuat posko bantuan.
Dengan demikian, kondisi krisis pun bisa secara cepat dan sigap ditangani sesuai dengan tuntunan syarak. Sebab, Khalifah Umar bin Khatab tahu benar bahwa setiap amanahnya akan dipertanggungjawabkan. Maka, penderitaan yang dialami rakyatnya adalah sesuatu yang tak bisa diabaikan.
Lalu apa yang menyebabkan semua itu bisa diwujudkan? Tentu bukan karena kepentingan materi dan kekuasaan layaknya yang saat ini diperebutkan. Akan tetapi, kekuataan iman dan ukhuwah islamiah yang senantiasa terpatri di dalam jiwa kaum muslim dan pemimpinnya.
Khatimah
Permasalahan stunting sejatinya bukanlah sekadar problem gizi dan kesehatan semata. Namun, akar permasalahannya karena kemiskinan dan tata kelola sistem politik dan ekonomi yang bersumber kepada ideologi kapitalisme sekuler. Alhasil, solusi yang ditawarkan pun hanyalah solusi pragmatis yang seringkali menimbulkan permasalahan baru. Oleh karena itu, hanya dengan menerapkan syariat Islam maka problem stunting bisa diselesaikan hingga ke akarnya. Sebab, aturan yang dihasilkan adalah aturan yang sempurna yang bersumber dari Allah Swt.
Wallahu ‘alam bi-shawab[]