"Upaya untuk mengangkat isu pelanggaran HAM di Papua ini menunjukkan standar ganda Barat. Tampak sekali besarnya perhatian mereka jika pelanggaran itu dialami oleh mereka yang nonmuslim. Namun, mereka diam seribu bahasa jika hal itu menimpa umat Islam. Lihatlah, apa yang mereka upayakan untuk menolong orang-orang Palestina, Uighur, atau Rohingya? Tidak ada sama sekali. Bahkan, mereka seolah membiarkan semua itu."
Oleh. Mariyatul Qibtiyah, S.Pd.
(Kontributor Tetap Narasipost.Com)
NarasiPost.Com-Tanah Papua tanah yang kaya
Surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah sebanyak madu
Adalah harta harapan
Cuplikan lagu Tanah Papua yang pernah dinyanyikan oleh Edo Kondologit ini menggambarkan bahwa Papua adalah wilayah yang kaya. Kekayaan alamnya bak harta karun yang menjadi harapan masyarakat Papua. Sayangnya, harta karun itu belum mampu memberikan kesejahteraan bagi mereka. Papua dan Papua Barat justru menempati peringkat satu dan dua sebagai provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin terbesar di Indonesia. Ada dua faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu tidak meratanya pembangunan dan diserahkannya pengelolaan sumber daya alam kepada swasta.
Sejak Papua menjadi bagian dari Indonesia, kondisi Papua tidak pernah benar-benar aman. Hasil Pepera (Pengambilan Pendapat Rakyat) yang dilakukan pada tahun 1969 tidak pernah diakui oleh sebagian masyarakat Papua. Mereka menganggap bahwa kesepakatan itu adalah kesepakatan antara Belanda dan Indonesia. Mereka beranggapan bahwa penggabungan Papua ke Indonesia itu hanyalah penyerahan wilayah dari satu penjajah ke penjajah lainnya.
Melihat kondisi itu, pemerintah Indonesia melakukan pendekatan militer untuk membantu proses integrasi Papua ke wilayah Indonesia. Pemerintah melakukan operasi militer di Papua sejak tahun 1961. Operasi militer itu baru dicabut pada tahun 1998 oleh Wiranto yang menjabat sebagai Panglima ABRI. Saat itu, Wiranto juga menyampaikan permohonan maaf terhadap rakyat Papua atas apa yang telah terjadi sebelumnya.
Sejak itu, pemerintah Indonesia tidak lagi melibatkan militer dalam upayanya menyelesaikan konflik di Papua. Pemerintah memilih untuk melakukan dialog dan pendekatan kesejahteraan. Salah satunya dengan memberikan status otonomi khusus kepada Papua.
Meskipun demikian, upaya ini belum menyelesaikan persoalan. Tuntutan masyarakat Papua agar mereka yang terlibat dalam pelanggaran HAM selama masa operasi militer diadili melalui pengadilan HAM, belum dipenuhi. Di samping itu, pemerintah Indonesia juga dianggap telah membiarkan mereka dalam jeratan kemiskinan yang sangat parah. Pemerintah juga tidak menyediakan fasilitas infrastruktur kesehatan, pendidikan, transportasi, dan komunikasi yang memadai.
Karena itulah, mereka terus melakukan perlawanan terhadap Indonesia. Berbagai upaya mereka lakukan, termasuk melakukan perlawanan fisik. Tak hanya menyerang pasukan militer, mereka juga menyerang warga sipil dan fasilitas umum. Yang terbaru, mereka melakukan penyerangan terhadap para pekerja PT Palapa Timur Telematika pada Selasa (/3/2022). Akibatnya, 8 dari pekerja yang tengah memperbaiki menara BTS (Base Transceiver Station) itu pun meninggal dunia. (cnnindonesia.com, 7/3/2022)
Tuntutan masyarakat Papua terkait isu pelanggaran HAM inilah yang sering diangkat oleh pihak asing. Negara-negara Melanesia seperti Vanuatu dan Fiji sangat getol menyuarakan isu ini ke forum internasional. Mereka berharap, melalui upaya ini, Papua segera mendapatkan kemerdekaan sebagaimana saudara-saudaranya yang serumpun. Mereka ternyata tidak sendiri. Ada negara-negara besar yang juga mendukung gerakan separatis Papua ini. Misalnya, Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru. Tentu, ada motif-motif ekonomi di balik itu. Kekayaan alam Papua yang luar biasa akan mendatangkan keuntungan yang besar bagi mereka, seperti yang telah dinikmati oleh Amerika Serikat selama ini. Melalui PT Freeport, Amerika Serikat telah berhasil mengeruk tambang emas di Papua.
Apalagi, penyelesaian masalah dengan prinsip non-interference (tanpa campur tangan asing) ini telah diganti dengan prinsip Responsibility to Protect (R2P). Prinsip ini akan membuat asing melakukan campur tangan dalam urusan suatu negara jika mereka memandang bahwa negara tersebut dipandang tidak mampu memenuhi prinsip-prinsip dasar rakyatnya.
Tentu, batasan ini sangat subjektif, sesuai dengan penafsiran mereka. Terlebih, jika mereka memiliki kepentingan terhadap negara tersebut. Di samping itu, tidak ada ketentuan, siapa yang berhak menentukan bahwa suatu negara tidak mampu memenuhi prinsip-prinsip dasar tersebut. Upaya untuk mengangkat isu pelanggaran HAM di Papua ini menunjukkan standar ganda Barat. Tampak sekali besarnya perhatian mereka jika pelanggaran itu dialami oleh mereka yang nonmuslim. Namun, mereka diam seribu bahasa jika hal itu menimpa umat Islam. Lihatlah, apa yang mereka upayakan untuk menolong orang-orang Palestina, Uighur, atau Rohingya? Tidak ada sama sekali. Bahkan, mereka seolah membiarkan semua itu. Padahal, penderitaan yang mereka rasakan sangat berat. Mereka dibunuh dan diusir dari negerinya.
Seperti yang dialami oleh rakyat Palestina sejak pendudukan Israel tahun 1948. Menurut Biro Statistik Pusat Palestina (PCBS), saat berdirinya Israel, 800.000 penduduk Palestina telah terusir dari negaranya. Sejak itu, berbagai kejahatan terus dilakukan oleh Israel, mulai dari menghancurkan rumah dan bangunan, hingga merampas tanah mereka. Mereka juga melakukan pembunuhan terhadap warga sipil Palestina. Jumlah mereka yang dibunuh Israel antara tahun 2000-2017 saja telah mencapai 10.463 jiwa. (merdeka.com, 16/5/2018)
Padahal, pendudukan itu telah berlangsung selama 74 tahun. Tentunya, rakyat Palestina yang telah dibunuh lebih besar lagi jumlahnya. Hal itu masih terus berlangsung hingga kini. Bahkan, akan terus berlangsung karena dunia mendiamkannya. Barat tidak pernah mempersoalkannya. Sebaliknya, mereka justru mendukungnya. Karena itulah, pemerintah Indonesia harus berupaya untuk menyelesaikan sendiri persoalan Papua. Indonesia harus mencegah dibawanya konflik Papua ini ke forum internasional agar tidak ada keterlibatan pihak asing di sini. Keterlibatan pihak asing hanya akan membuka jalan bagi penguasaan asing terhadap wilayah tersebut. Padahal, Allah Swt. telah melarang kita untuk melakukan hal itu. Dalam Al-Qur'an surah An-Nisa [4]: 141, Allah Swt. berfirman,
ولن يجعل الله للكفرين على المؤمنين سبيلا
"Dan sekali-kali, Allah tidak menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin."
Di samping itu, pemerintah juga harus mengelola sendiri sumber daya alam yang yang ada di Papua untuk kesejahteraan rakyat Papua. Pemerintah juga harus membangun Papua seperti wilayah-wilayah lainnya. Di samping itu, mereka yang melakukan gangguan keamanan harus ditindak tegas.
Semua ini akan mudah dilakukan jika sistem Islam yang diterapkan. Sebab, sistem Islam akan menjaga setiap jengkal wilayahnya. Sistem Islam juga akan menerapkan ekonomi Islam yang akan menjamin distribusi kekayaan dapat dinikmati oleh semua rakyat. Dengan demikian, kesejahteraan akan dirasakan oleh setiap anggota masyarakat. Wallaahu a'lam bishshawaab.[]