"Jika dilihat secara umum, angka kejadian stunting mayoritas dialami oleh keluarga miskin/tidak mampu. Maka, bisa kita simpulkan, memberikan edukasi saja tidak cukup untuk mengatasi masalah stunting, karena persoalan mendasarnya adalah adanya masalah kemiskinan massal secara sistemis. Oleh karena itu, dibutuhkan penanganan secara sistemis pula."
Oleh. Rufaida Aslamiy
NarasiPost.Com-Mendambakan hadirnya anak yang sehat, baik fisik ataupun mental adalah harapan semua keluarga, baik muslim ataupun nonmuslim. Anak sebagai generasi penerus harapan bangsa, maka di tangan merekalah kelak nasib bangsa ini berada. Tapi, apa jadinya jika ada banyak anak mengalami kondisi stunting?
Seperti laporan Badan Organisasi Kesehatan Dunia, diperkirakan ada sekitar 149 juta balita yang mengalami stunting pada tahun 2020 di seluruh dunia, sementara ada sekitar 45 juta anak lainnya memiliki tubuh terlalu kurus (berat badan rendah). Saat ini, Indonesia menjadi salah satu negara dengan prevalensi stunting yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang berpendapatan menengah. Sementara berdasarkan data yang diperoleh secara nasional, stunting angkanya masih tinggi, yaitu di angka 27,6% pada tahun 2019, sementara saat pandemi Covid-19 ini naik menjadi 27,68 %. (Suaramerdeka.com, 7/07/2021)
Apa itu Stunting?
Masalah stunting memang merupakan salah satu isu penting dalam dunia kesehatan anak yang perlu mendapat perhatian besar semua pihak, terutama negara. Stunting sebagai sebuah kondisi abnormal, dimana anak mengalami gagal tumbuh akibat kurang gizi kronis dan bisa menimbulkan gejala ikutan yang serius. Hal ini ditandai dengan kondisi badan yang kurang sehat, kecerdasan intelektual yang tidak berkembang, ataupun semangat belajar menurun.
Masalah stunting sudah pada kondisi sangat mengkhawatirkan, karena dalam jangka panjang bisa berefek pada kenaikkan angka putus sekolah. Selain itu, masalah stunting (anak yang kerdil) dalam perkembangannya, anak bisa mengalami gagal tumbuh, juga mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh, masalah fungsi otak dan perkembangan organ, sangat rentan terhadap infeksi, bisa mengalami gangguan fisik dan mental, serta mengancam produktivitas dan fungsi hidup di masa depannya.
Faktor pemicu stunting antara lain kondisi kandungan ibu yang mengalami infeksi pada kehamilannya, kurangnya asupan gizi (malnutrisi) pada ibu hamil, tidak optimalnya gizi pada bayi baru lahir hingga dua atau tiga tahun pertama kehidupannya, kejadian infeksi berulang, atau adanya stimulasi yang buruk dari lingkungan.
Stunting Bukan Sekadar Minimnya Edukasi, tapi Persoalan Sistemis
Pengalaman dan bukti internasional menunjukkan bahwa stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan produktivitas pasar kerja, sehingga mengakibatkan hilangnya 11% GDP (Gross Domestic Products) serta dapat mengurangi pendapatan pekerja hingga 20%. Selain itu, stunting juga dapat berkontribusi pada melebarnya kesenjangan/ inequality, sehingga mengurangi 10% dari total pendapatan seumur hidup dan juga menyebabkan kemiskinan antargenerasi. (Buku Ringkasan Stunting, TNP2K)
Ada pernyataan bahwa stunting sebenarnya tidak hanya dialami oleh rumah tangga/keluarga yang miskin saja, bisa saja dialami oleh rumah tangga/keluarga yang mampu. Sehingga harus ada upaya edukasi pencegahan stunting dengan memberikan pengetahuan gizi bagi orang tua/keluarga. Sehingga tidak aneh jika Kemenag (Kementerian Agama) melakukan kerja sama bersama BKKBN untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk pencegahan stunting dengan melibatkan 55 ribu penyuluh agama dan 600 ribu pendamping keluarga BKKBN seperti yang diberitakan harian Republika tertanggal 11 Maret 2022.
Tapi nyatanya, jika dilihat secara umum, angka kejadian stunting mayoritas dialami oleh keluarga miskin/tidak mampu. Maka, bisa kita simpulkan, memberikan edukasi saja tidak cukup untuk mengatasi masalah stunting, karena persoalan mendasarnya adalah adanya masalah kemiskinan massal secara sistemis. Oleh karena itu, dibutuhkan penanganan secara sistemis pula.
Stunting dalam Perspektif Islam dan Upaya Pengentasan Kemiskinan
Secara konsep keluarga, Islam memandang bahwa membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warohmah adalah tujuan adanya sebuah pernikahan. Setiap orang dianjurkan untuk segera menikah jika mereka mampu. Kondisi mampu ini tercermin pada setiap individu, khususnya laki-laki sebagai kepala keluarga sekaligus qawwam di rumah tangganya untuk didorong agar bisa menafkahi seluruh anggota keluarganya. Dorongan keimanan adalah hal yang menjadikan seorang suami untuk giat bekerja, sehingga bisa memberikan nafkah. Karena hukum memberikan nafkah bagi suami adalah wajib. Sebagaimana yang Allah Swt perintahkan dalam Al-Qur'an:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (QS An-Nisaa: 34)
Namun, jika dia sudah berusaha, sementara ada kondisi yang memaksa dia tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi nafkah kepada keluarganya, misal seorang suami terkena PHK secara tiba-tiba, maka seorang istri diperbolehkan untuk memberikan hartanya sehingga suaminya terbantu dan kebutuhan keluarganya tercukupi. Ini dianggap sebagai pahala sedekah bagi seorang istri. Ataupun bisa saja seorang istri ikut bekerja membantu suaminya, tentu atas izin sang suami. Karena prinsipnya relasi suami istri adalah hubungan persahabatan, bukan hubungan atasan dan bawahan atau tuan dan pekerjanya, melainkan adalah sepasang sahabat, sehingga ta’awun (tolong menolong) itu hal yang biasa.
Bahkan seorang suami pun diperbolehkan berutang untuk memenuhi nafkah keluarganya. Sebagaimana firman Allah Swt: “Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.” (QS Al-Baqarah: 280)
Termasuk pula hal yang diperbolehkan untuk seorang istri adalah meminta cerai kepada suaminya, jika seorang suami tidak ada keinginan untuk berubah dan tidak juga memberikan nafkah. Tapi lagi-lagi ini adalah pilihan. Memilih untuk bersabar pun itu akan menjadi pahala yang besar bagi seorang istri. Selain daripada itu semua, kewajiban mencukupi nafkah bagi seorang suami jika ia tidak mampu, maka anggota keluarga/kerabat terdekatnya diwajibkan untuk membantu. Lantas, jika kerabat pun tidak mampu, maka akan diambil alih negara. Karena pemenuhan terhadap kebutuhan pokok itu pada dasarnya kewajiban negara kepada warganya. Kebutuhan dasar, baik sandang, papan, pangan, begitu pun juga pendidikan dan kesehatan kesemuanya wajib dipenuhi oleh negara.
Negara melalui Baitul Maal (kas negara) akan mendistribusikan bantuan terhadap keluarga-keluarga yang miskin secara cepat dan tepat, sehingga dipastikan tidak ada yang sampai kekurangan bahkan kelaparan, sehingga kondisi stunting pada anak-anak muslim akan bisa dicegah secara massif. Bahkan jika kas negara kosong pun, maka akan ditanggung oleh kaum muslim secara kolektif. Selain itu, keberadaan kepala negara dia akan memaksimalkan peranannya sebagai raa’in (pengurus umat), dia akan memaksimalkan berbagai sumber-sumber pemasukan negara, baik melalui fa’i, khumus, ghanimah, jizyah, ushr, ataupun rikaz. Dalam hal pengelolaan kekayan pun sama, kepemilikan umum dan kepemilikan negara benar-benar dipergunakan untuk kemaslahatan masyarakat semata. Semua barang-barang tambang pengelolaan sepenuhnya dilakukan oleh negara, tidak bergantung kepada asing apalagi utang luar negeri.
Sepanjang peradaban Islam tegak selama kurang lebih 13 abad lamanya, maka pengentasan kemiskinan bisa dilakukan. Dimulai dari masa Khulafaur Rasyidin sepeninggal Nabi, hingga Khalifah setelahnya. Bahkan di zaman Harun Al-Rasyid, untuk membagikan zakat saja susah karena saking masyarakatnya sudah merasa berkecukupan. Bahkan Tamim Ansyari dengan judul bukunya Dari Puncak Baghdad, Sejarah Dunia versi Islam, menuturkan secara gamblang bagaimana lembaga wakaf yang difasilitasi negara secara aktif menyalurkan bantuan kepada orang-orang miskin.
Seorang pemimpin dia tidak akan memperkaya diri sendiri manakala melihat kondisi rakyatnya masih banyak yang kesusahan bahkan kekurangan. Mau jadi apa masa depan bangsa ini jika masalah stunting saja tidak bisa diselesaikan sedari awal? Contohlah bagaimana sosok Umar bin Khattab yang rela keliling setiap malam dan memanggul gandum untuk dibagikan kepada warganya yang miskin. TIdak seperti sekarang, semua bahan pokok naik hampir tiap hari, utang terus membumbung tinggi, bahkan bayar bunganya saja tidak mampu, sementara banyak alokasi pembelanjaan negara yang tidak tepat. Para pejabat akan terus mendapat fasilitas mewah sementara orang miskin banyak yang sekarat.
Semoga umat Islam saat ini pun sadar bahwa solusi masalah stunting membutuhkan upaya terstruktur/sistemis yang membutuhkan peranan negara dengan memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar, juga pendidikan dan kesehatan yang gratis dan berkualitas. Stunting tidak dipandang sebatas kurangnya pengetahuan terhadap pemenuhan gizi, tapi karena lebih kondisi kemiskinan yang memaksa warga ada pada kondisi serba kurang (miskin). Maka, wajar kondisi malnutrisi (kekurangan gizi) itu sudah pasti akan terus ada selama permasalahan miskin ini tidak diatasi. Tentu semua ini hanya akan bisa kita wujudkan dan diatasi secara tuntas manakala Islam diterapkan secara kaffah (menyeluruh) oleh negara sekaligus dijadikan aturan bagi seluruh bidang kehidupan. Wallohu’alam bi ash-showwab[]