"Tak dimungkiri, praktik-praktik klenik nan irrasional masih saja ada, meski zaman telah sedemikian modern dan kita tengah berada di kemajuan teknologi 4.0. Apa penyebabnya? Tak lain dan tak bukan adalah karena kurangnya --jika tak ingin dikatakan tak adanya--penjagaan akidah oleh negara. Memang miris, negeri yang dihuni oleh mayoritas rakyatnya beragama Islam, namun ajaran Islam yang utuh banyak terdegradasi."
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(RedPel NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Megaproyek pembangunan ibu kota negara (IKN) Nusantara senantiasa diwarnai dengan kontroversi. Setelah sebelumnya masyarakat ramai meributkan soal anggaran dari kantong korporat swasta yang digunakan pemerintah untuk membiayai IKN, kini masyarakat kembali dihebohkan dengan prosesi yang dinilai mengandung klenik dilakukan sebagai awal mula pembangunan IKN.
Sebagaimana disiarkan oleh Kanal YouTube Sekretariat Presiden, pada Senin (14/03/2022) Presiden Joko Widodo memimpin prosesi kendi Nusantara di titik nol Ibu Kota Negara (IKN). Dalam prosesi tersebut, sebanyak 34 kepala daerah atau gubernur membawa tanah dan air dari setiap provinsi untuk disatukan di tanah IKN sebagai simbol wujud persatuan kuat dalam pembangunan IKN. (Wartaekonomi.co.id/14-03-2022)
Masyarakat Indonesia yang mayoritasnya adalah muslim tentu saja jengah menyaksikan prosesi berbau klenik yang dipimpin langsung oleh orang nomor satu di negeri ini. Namun, Presiden Jokowi mengatakan bahwa prosesi itu adalah simbol kebhinekaan dan persatuan bangsa. Senada dengan hal tersebut, Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah pun menyikapi respons masyarakat dengan santai. Ia mengatakan bahwa prosesi tersebut merupakan kultur budaya Indonesia yang tidak bisa dilepaskan begitu saja, sebab memiliki nilai-nilai luhur. Bahkan Ganjar mengambil contoh pada Jepang yang juga selalu melakukan ritual sebelum melaksanakan sebuah pembangunan.
Dalih Kearifan Lokal, Akidah Terjungkal
Adalah hal yang jamak terjadi di negeri ini, ketika kearifan lokal menjadi dalih untuk melestarikan beragam ritual atau tradisi. Padahal tak semua tradisi harus dilestarikan, yakni jika bertentangan dengan syariat Islam.
Oleh karena itu, pelaksanaan ritual-ritual yang tidak ada di dalam ajaran Islam, apalagi-- misalnya--sampai mempersembahkan sesajen (hidangan tertentu), membaca doa-doa yang tidak ada tuntunannya dalam Islam, jelas tak perlu dilestarikan. Ingatlah, bahwasannya hal-hal yang berbau kemusyrikan, alih-alih mengharap berkah, yang ada malah menuai laknat.
Sungguh, seorang muslim harus berhati-hati dalam perkara akidah, jangan sampai tersimpangkan meski sejengkal saja. Sebab sejatinya, akidah islamiah adalah fondasi dasar bagi keimanan. Maka, kemurniannya harus dijaga.
Seorang muslim tidak boleh menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, karena hanya Allahlah Zat yang layak disembah. Rasulullah saw telah mengingatkan kita akan hal tersebut lewat lisannya yang mulia lagi bijaksana, “Apabila kamu memohon, maka mohonlah kepada Allah. Dan apabila kamu meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)
Maka, jangan sampai demi menjaga kearifan lokal, akidah Islam terjungkal. Ingatlah, menyekutukan Allah dengan yang lain merupakan sebuah dosa besar yang tidak terampuni, sebagaimana firman Allah Swt dalam surat Al-Zumar ayat 65, “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu: Sungguh, apabila kamu berbuat syirik pasti akan terhapus seluruh amalmu dan kamu benar-benar akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.”
Potret Buram Demokrasi Sekuler
Tak dimungkiri, praktik-praktik klenik nan irrasional masih saja ada, meski zaman telah sedemikian modern dan kita tengah berada di kemajuan teknologi 4.0. Apa penyebabnya? Tak lain dan tak bukan adalah karena kurangnya --jika tak ingin dikatakan tak adanya--penjagaan akidah oleh negara. Memang miris, negeri yang dihuni oleh mayoritas rakyatnya beragama Islam, namun ajaran Islam yang utuh banyak terdegradasi. Beginilah konsekuensi logis ketika negara tidak mengadopsi syariat Islam dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ajaran Islam terpinggirkan di tanah publik dan tergadaikan di ranah privat.
Kita dapat melihat dengan telanjang, betapa aturan Islam tak dipakai dalam seluruh aspek kehidupan. Lihat saja, di negeri ini mu'amalah ribawi kian bersemi, seks bebas makin ganas, kasus penyalanggunaan wewenang pejabat kian panjang, kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin banyak, kriminalisasi terhadap ajaran Islam dan pengemban dakwah kian merekah, dan kasus diskriminasi terhadap umat Islam tak pernah padam. Ya, semua itu berpangkal pada tidak dijadikannya Islam sebagai sistem kehidupan.
Dalam ranah individu pun, akidah Islam tergadai. Betapa tidak, rakyat dibiarkan bebas melakukan apa pun sesuai aliran kepercayaannya, meski dia seorang muslim. Beginilah potret negara demokrasi dengan pilar-pilar kebebasan yang diusungnya, termasuk di dalamnya kebebasan beragama. Atas nama hak asasi manusia, perilaku menyimpang dari syariat Islam dibiarkan ada bahkan dilindungi. Wajar, jika beberapa waktu lalu seorang pria yang menendang sesajen di Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang, langsung diciduk aparat karena dinilai intoleran dan dapat mengganggu kestabilan kondisi sosial masyarakat setempat. Sungguh ironis!
Dengan demikian, sangatlah nyata bahwa lestarinya budaya-budaya klenik nan irrasional merupakan gambaran bahwa negeri ini jauh dari tuntunan syarak.
Khilafah Menjaga Akidah
Jika demokrasi dengan akidah sekulernya memberikan ruang bagi manusia untuk mengekspresikan buah pikirannya, lain halnya dengan Islam. Berbekal prinsip bahwa setiap manusia wajib terikat dengan syariat, maka haram bagi seorang muslim melakukan perbuatan yang dapat menjerumuskan pada maksiat. Setiap muslim wajib menimbang amalannya dengan standar syariat, bukan berdasarkan kebiasaan dan tradisi (urf) di tengah masyarakat. Jadi, semestinya tradisilah yang menyesuaikan dengan syariat, bukan syariat yang disesuaikan dengan tradisi. Jika begitu, yang ada malah sikap kompromistis, mencampuradukan antara yang hak dan batil.
Firman Allah Swt berikut hendaknya menjadi penguat bagi kita agar teguh berjalan di atas kemurnian akidah, “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah wahyu yang diturunkan Tuhan kepada kalian!’ Mereka justru mengatakan, ‘Tidak, tetapi kami tetap akan mengikuti apa yang kami dapatkan dari nenek-nenek moyang kami’ (Allah katakan, Apakah mereka akan tetap mengikutinya meskipun nenek moyang mereka itu tidak memiliki pemahaman sedikit pun dan juga tidak mendapatkan hidayah?” (QS. Al Baqarah: 170)
Ketika syariat Islam diterapkan dalam kehidupan sebagai sebuah sistem yang integral, maka maqashid syariah (tujuan penerapan syariat) dapat dirasakan secara nyata. Sebagaimana kaidah syarak, "Di balik penerapan syariat, ada kemaslahatan dunia dan akhirat". Adapun salah satu maqashid syariah adalah menjaga agama (akidah) individu rakyatnya.
Sejatinya, penjagaan akidah merupakan juga kewajiban negara sebagai pemelihara urusan rakyat. Negara wajib menangkal setiap pemikiran atau paham sesat yang akan mencederai akidah umat Islam. Negara juga wajib memberi sanksi tegas kepada siapa saja yang menyebarluaskan ajaran sesat sehingga memengaruhi masyarakat dan berpotensi merusak akidah. Dan tentu saja, negara tidak melestarikan budaya atau tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam. Demikianlah negara yang menetapkan sistem Islam menjaga akidah umatnya dari kekufuran dan penyimpangan.
Sungguh, kebutuhan akan hadirnya penerapan syariat Islam merupakan hal yang tak bisa ditawar lagi. Adapun penerapan syariat Islam secara kaffah hanya dapat terwujud dalam naungan khilafah islamiah. Allahu Akbar!![]