"Beragam program dan edukasi pencegahan terus digulirkan, salah satunya dengan monitoring (MCP KPK RI) terhadap wilayah seperti kabupaten/kota di Jawa Barat. Sayangnya, upaya pencegahan korupsi dengan berbagai program yang dibuat pemerintah akan berakhir sia-sia, jika pangkal munculnya tindak korupsi tidak dihapus, yakni sistem kapitalisme."
Oleh. Uqie Nai
(Member AMK4)
NarasiPost.Com-Pada tahun 2021 kemarin, Pemkab Bandung dinobatkan sebagai daerah zona hijau pemberantasan korupsi. Pemkab Bandung berhasil mendapat nilai 76,98 berdasarkan Monitoring Center for Prevention (MCP) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK RI). Angka ini diambil dari aplikasi Jaga.id milik KPK. Di sana tertulis bahwa Pemkab Bandung menduduki peringkat ke-13 dari 27 kabupaten/kota se-Jawa Barat.
Meski Pemkab Bandung dinilai berhasil menjadikan wilayahnya ada di zona hijau dan mengalahkan belasan kabupaten/kota lainnya, namun menurut Inspektur Inspektorat Kabupaten Bandung, Yudhi Haryanto, hal ini belumlah final, masih perlu upaya untuk meningkatkannya lagi. (timesindonesia.com, Senin, 28/2/2022)
Korupsi Sulit Minggat jika Kapitalisme Tak Diberantas
Praktik kecurangan berupa penyalahgunaan jabatan hingga menggelapkan dana umat adalah aktivitas tak terpuji yang mewarnai negeri ini dan negeri lainnya di dunia. Bak jamur di musim hujan, pelaku korupsi seakan menemukan momennya kala kapitalisme menjadi raja.
Kapitalisme yang merupakan ideologi kufar Barat telah bercokol di berbagai negeri berpenduduk muslim dengan kekayaan alam berlimpah. Ideologi ini melebarkan sayapnya melalui agen-agennya seperti pemerintah, pejabat, dan elit parpol.
Amanah jabatan yang semestinya ditakuti karena pertanggungjawabannya begitu berat di akhirat, dalam sistem kapitalisme justru dikejar dan diperjuangkan dengan segala cara. Politik belah bambu, Machiavelli, atau adu domba, semuanya halal demi tampuk kekuasaan yang menjadi target utama para kapitalis. Mereka hadir dalam pribadi penguasa, pejabat, pengusaha, atau tergabung dalam satu oligarki. Kepentingannya: mengumpulkan pundi rupiah, memiliki status baru, meningkatkan strata sosial, dll. Untuk umat? Nol.
Dengan semakin maraknya kasus korupsi, baik yang tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau yang lolos tanpa kabar berita, setidaknya menjadi bahan evaluasi pemerintah untuk tidak membiarkan kasus ini menggurita. Beragam program dan edukasi pencegahan terus digulirkan, salah satunya dengan monitoring (MCP KPK RI) terhadap wilayah seperti kabupaten/kota di Jawa Barat.
Sayangnya, upaya pencegahan korupsi dengan berbagai program yang dibuat pemerintah akan berakhir sia-sia, jika pangkal munculnya tindak korupsi tidak dihapus, yakni sistem kapitalisme. Terlebih lagi sanksi yang diterapkan negara saat ini tak membuat pelaku jera, bahkan ada yang masih dibiarkan lolos tanpa peradilan, ada juga yang diberikan pengurangan hukuman karena pertimbangan klise, dan atau sekalinya ditahan masih bisa pelesiran. Sebut saja misalnya Gayus Tambunan, Setya Novanto, Harun Masiku, dan Jaksa Pinangki, padahal ulah mereka ini jelas merugikan negara yang notabene merampas hak yang harusnya diberikan kepada rakyat.
Perlu Sistem Sahih untuk Menumpas Tindak Korupsi
Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan, amanah, dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat. Karena akar munculnya tindak korupsi diakibatkan sistem, maka sistem pulalah yang akan mengakhirinya. Yang pasti bukan sistem kapitalisme atau turunannya, melainkan Islam. Islam dengan segala kesempurnaanya, memiliki mekanisme tegas dan brilian yang akan direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan juga bernegara. Mekanisme ini akan ditempuh negara yang menerapkan Islam dengan beberapa langkah, di antaranya:
Pertama, membangun kesadaran dan ketakwaan individu dan masyarakat dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam penunaian amanah dan hak publik. Rasulullah saw. telah bersabda: "Barangsiapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan di lehernya pada Hari Kiamat nanti dengan setebal tujuh lapis bumi." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Kedua, menghidupkan suasana amar makruf nahi mungkar, sebagaimana sabda Rasulullah saw: "Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu dengan tangan serta lisannya, maka dengan hatinya. Dia itu adalah selemah-lemahnya iman." (HR. Muslim)
Ketiga, menghitung jumlah kekayaan pejabat sebelum ia menjabat dan setelah ia menjabat. Cara seperti ini dikenal dengan pembuktian terbalik.
Keempat, penerapan sanksi. Hukuman yang dijatuhkan disesuaikan dengan tingkat korupsi yang dilakukan, dapat berupa hukuman penjara, denda, masuk dalam daftar orang tercela (diekspos), pemecatan, potong tangan, bahkan sampai hukuman mati. Hukuman diberikan melalui ijtihad hakim, apakah kejahatan yang telah dilakukan itu termasuk dalam kategori hudud atau bukan. Selain itu, hakim juga harus melihat tujuan agama atas penetapan hukuman itu sendiri, dimana ada nilai-nilai sosial atau prinsip-prinsip yang tidak boleh diacuhkan.
Mekanisme yang ditempuh negara penerap syariat Islam adalah solusi hakiki atas maraknya kasus korupsi di Indonesia dan negara lain yang juga menerapkan sistem kufur. Aturan Islam adalah aturan yang didesain sesuai fitrah dan akal manusia, sanksi (pidana) yang diberlakukan adalah hukum yang paling manusiawi, memberikan ketenangan, menjadi penebus dosa (jawabir), menjadi pencegah (jawazir), bahkan manusia yang ada dalam naungan negara Islam akan sejahtera dan terjaga agama, harta, akal, keturunan, dan keamanannya. Tak perlu ada lembaga monitoring, KPK, dan penilaian dengan beragam warna zona. Kembali pada Islam kaffah, tegakkan institusinya penerapnya, in syaaAllah baldatun thayyibatun wa rabbun ghaafur terwujud nyata.
Wallahu a'lam bi ash Shawwab.[]
Photo : Unsplash