Pelecehan Seksual Kian Marak, Bukti Demokrasi Gagal dan Rusak

"Kebebasan hidup yang diagungkan demokrasi membuat manusia bertindak semaunya. Prinsip mereka, yang penting tak merugikan orang lain. Namun, itu bersifat relatif, tak ada kejelasan batasan apa yang boleh atau terlarang dilakukan. Setiap orang bebas menentukan perilaku apa yang pantas dan tak pantas bagi dirinya. Inilah yang memunculkan berbagai kekacauan. Dan ini merupakan konsekuensi logis dari demokrasi."

Oleh. Pahriati, S.Si.

NarasiPost.Com-Lagi dan lagi! Pelecehan seksual terus terjadi. Lebih parahnya, perbuatan bejat ini dilakukan oknum polisi. Bukan hanya sekali, tapi untuk ke sekian kali. Geram, miris, ngeri, bercampur aduk dalam diri. Ada apa dengan negeri ini?

Pada akhir Februari lalu, seorang oknum anggota Polairud Polda Sulsel, AKBP M, ditahan karena menjadikan gadis SMP, IS (13), sebagai budak seks selama berbulan-bulan. Korban bekerja di rumah pelaku sebagai pembantu. Kasus ini baru terungkap setelah kakak korban buka suara. Aksi bejat itu dilakukan sejak Oktober 2021. (Tribunnews.com, 2/3/2022)

Sebelumnya, di akhir tahun 2021, seorang oknum polisi narkoba berpangkat Bripka di Banjarmasin, Kalsel juga ditangkap setelah melakukan pemerkosaan terhadap seorang mahasiswi. Korban adalah mahasiswi magang di satuan narkoba tempat sang polisi bertugas. Awalnya korban diajak jalan-jalan, lalu di mobil diberi minuman yang sudah dicampur alkohol. Setelah mabuk korban dibawa ke hotel. Di situlah terjadi perkosaan. Meski kemudian sang polisi dicopot dari jabatan dan divonis 2,5 tahun penjara, banyak pihak yang tak menerima karena dianggap hukumannya terlalu ringan. (detikNews.com, 27/1/2022)

Kita tak dapat menafikan, ini hanyalah sekelumit fakta yang terjadi di sekitar kita. Hampir setiap hari ada berita terkait pelecehan seksual. Pelakunya seringkali orang-orang terdekat. Orang tua, kerabat, tetangga, teman, bahkan oknum guru ataupun oknum aparat keamanan. Mereka yang harusnya menjadi pelindung, justru menjadi pemangsa yang mengerikan.

Menanggapi hal ini, banyak pihak kemudian mendesak disahkannya RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Mereka berharap UU tersebut dapat menjadi landasan hukum menjerat pelaku pemerkosaan dengan hukuman berat, juga menjadi payung perlindungan korban dan keluarganya. Ada pula yang menuntut pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku. Harapannya dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku dan orang yang berniat sama. Namun, apakah pemberian hukuman cukup untuk menghentikan kasus pelecehan seksual yang kian marak?

Demokrasi: Gagal dan Rusak

Demokrasi sering dikatakan sebagai sistem terbaik di dunia. Sistem yang mengakomodasi keinginan rakyat. Namun, pada kenyataannya, sudah puluhan tahun sistem ini diterapkan, kehidupan kita justru terasa makin berat. Negara gagal menjamin pemenuhan kebutuhan dan melindungi rakyat, termasuk dari sisi keamanan.

Kebebasan hidup yang diagungkan demokrasi membuat manusia bertindak semaunya. Prinsip mereka, yang penting tak merugikan orang lain. Namun, itu bersifat relatif, tak ada kejelasan batasan apa yang boleh atau terlarang dilakukan. Setiap orang bebas menentukan perilaku apa yang pantas dan tak pantas bagi dirinya. Inilah yang memunculkan berbagai kekacauan. Dan ini merupakan konsekuensi logis dari demokrasi.

Berkaitan dengan kasus pelecehan seksual, seringkali berawal dari pergaulan yang kurang terjaga. Laki-laki dan perempuan bebas berduaan. Kondisi ini sangat rawan memicu nafsu, apalagi jika sebelumnya memang ada ketertarikan dari salah satu pihak atau keduanya. Tak jarang pelaku pemerkosaan adalah teman kencan si korban.

Pemicu lain, sang pelaku berada dalam pengaruh minuman keras. Ditambah dengan pornoaksi dan pornografi yang beredar luas, aurat bertebaran dimana-mana, akan memicu munculnya syahwat. Akhirnya orang terdekat menjadi sasaran pelampiasan.

Permasalahannya, dalam sistem demokrasi, miras tidak dilarang secara mutlak. Hanya diatur peredarannya. Begitu pula dengan pengguna miras oplosan, tak ada hukum yang menjeratnya. Demokrasi juga membiarkan laki-laki dan perempuan bebas bergaul tanpa batasan. Media informasi -terutama media sosial- bebas menayangkan konten hampir tanpa sensor. Ditambah hukum yang lemah, bisa diotak-atik oleh orang yang berduit atau dekat dengan kekuasaan.

Terlihat bahwa demokrasi tak mampu memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak. Pemberian sanksi bagi pelaku belumlah cukup sebagai penyelesaian. Jika faktor-faktor pemicu di atas tak dihilangkan, masalah pelecehan seksual takkan bisa tuntas diselesaikan. Kondisi itu juga dialami oleh Barat sebagai negara awal pengusung demokrasi. Jadi jelas demokrasi memang sistem yang gagal dan rusak.

Sistem Islam sebagai Harapan

Sistem demokrasi telah terbukti gagal menjamin keamanan dan kenyamanan rakyatnya. Satu-satunya pilihan hanyalah kembali ke sistem Islam. Karena Islam punya aturan yang paripurna. Seperangkat aturan tersebut menjamin kehidupan yang kondusif.

Islam mendorong umatnya senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaannya. Ini adalah benteng utama untuk menjauhkan seseorang berbuat maksiat. Tak ada kebebasan seperti yang diajarkan demokrasi. Segala tindakan harus senantiasa terikat dengan hukum syarak.

Islam mewajibkan laki-laki dan perempuan menjaga pergaulannya. Hidup secara terpisah, kecuali untuk hal yang dibolehkan secara syar’i. Dalam urusan pekerjaan pun tetap ada batasan yang harus dijaga. Selain itu, ada perintah menundukkan pandangan dan menutup aurat. Ada larangan khalwat dan ikhthilath. Perempuan yang safar harus disertai mahram. Aturan ini merupakan bentuk penjagaan terhadap individu.

Sistem Islam juga akan mengawasi konten yang beredar di media. Pornoaksi dan pornografi takkan dibiarkan menyebar luas. Begitu pula dengan miras atau hal lain yang dapat merusak akal manusia, semuanya dilarang untuk diproduksi. Masyarakat didorong memiliki kepedulian dengan sekitar dan diperintahkan untuk beramar makruf nahi mungkar.

Penerapan aturan Islam secara menyeluruh akan meminimalisasi perbuatan yang menyimpang. Namun, jika masih ada yang melakukan pelanggaran, ada sanksi jelas dan tegas yang diterapkan oleh negara. Misal untuk tindak pemerkosaan, dianggap sebuah kejahatan yang dikenai hukum ta'zir, yakni hukum yang keputusannya ditetapkan oleh penguasa Islam. Sanksinya bisa seperti pelaku zina, dicambuk untuk pelaku yang belum pernah menikah, atau dirajam bagi pelaku yang pernah menikah. Atau pemberian hukuman lain yang setimpal, dan akan menimbulkan efek jera.

Oleh karena itu, menghadapi kenyataan makin maraknya pelecehan seksual, secara pribadi kita memang harus mawas diri, juga melindungi orang-orang di sekitar kita. Di sisi lain, kita juga harus turut berjuang agar bisa lepas dari sistem demokrasi dan bisa menerapkan sistem Islam secara menyeluruh. Dengan inilah berbagai persoalan yang membelit masyarakat bisa segera teratasi. Semoga dengan perjuangan ini, kita layak mendapatkan kemenangan yang telah Allah janjikan untuk kaum muslimin. Wallahu a'lam. []


Photo : Pinterest

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Pahriati, S.Si. Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Pemimpin yang Salah Harus Dibela, Benarkah?
Next
Rendang, antara Kelezatan dan Kehormatan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram