"Sungguh, peradilan kini telah berubah menjadi dagelan yang dipertontonkan di negeri yang menerapkan sistem demokrasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sementara hak hidup manusia dirampas secara keji dan pelakunya tak tersentuh hukum sedikit pun. Betapa murah nyawa manusia di sistem demokrasi ini."
Oleh. Heni Rohmawati, SEI
NarasiPost.Com-Rakyat Indonesia kembali terhenyak dengan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Pasalnya PN Jaksel telah membebaskan dua terdakwa pembunuhan yaitu, Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M. Yusmin pada kasus unlawful killing 6 orang laskar Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek yang terjadi pada 7 Desember 2020 lalu. Keputusan tersebut dikeluarkan pada Jumat (18/3/2022).
Padahal dalam persidangan, Ketua Majelis Hakim, M Nuryanta, telah menyatakan bahwa terdakwa terbukti bersalah dengan melakukan tindak pidana penganiayaan bersama-sama yang mengakibatkan meninggalnya 6 orang Laskar FPI. Anehnya, kedua tersangka malah dibebaskan setelah pembacaan pledoi oleh kuasa hukum. Yang dengannya, kedua terdakwa dibebaskan dengan alasan pembenar dan pemaaf.
Kedua tersangka pun terlepas dari segala tuntutan, dipulihkan segala hak-haknya, dan menetapkan bahwa barang bukti dikembalikan ke penuntut umum. (sindonews.com, 19/3/2022). Sontak berbagai kometar tokoh bermunculan. Salah satunya berasal dari Waketum MUI, Anwar Abbas, “Biarlah nanti di pengadilan Tuhan saja masalah tersebut diselesaikan.” Ujarnya.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menilai terdapat kejanggalan keputusan vonis bebas dua terdakwa penembak empat Laskar FPI karena mengesampingkan temuan Komnas HAM. menurutnya, pertimbangan hakim janggal karena pasal pembelaan dipakai ketika polisi dalam kondisi menjadi korban. Sedangkan dalam kasus ini, polisi adalah pihak yang menguasai. (tempo, 24/3/2022). Hingga kini Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya kasasi atas putusan PN Jaksel tersebut.
Hukum Telah Mati
Dikutip dari suarariau.id pada Minggu (20/3/2022), Ketua umum Koalisi Persaudaraan dan Advokasi Umat (KPAU), Ahmad Khozinudin, menyatakan keberatannya atas vonis PN Jaksel. Ia menyebutkan beberapa alasan di antaranya,
Pertama, KPAU menyatakan mosi tidak percaya kepada seluruh proses persidangan KM 50. Menurutnya putusan yang melepaskan terdakwa dengan dalih pembenar dan pemaaf karena pembelaan terpaksa, adalah putusan yang sesat dan menyesatkan, tidak sesuai fakta dan melukai rasa keadilan.
Kedua, pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan darurat (noodweer-excess) yang melewati batas sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49 KUHP, harus memenuhi empat unsur, di antaranya, 1. Pembelaan itu harus bersifat terpaksa, 2. Yang dibela adalah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilaan, 3. Ada serangan sekejap atau ancaman serangan itu sangat dekat pada saat itu, 4. Serangan itu melawan hukum.
Masih menurut Ahmad Khozinudin, perbuatan Briptu Fikri Ramadhan dan IPDA Yusmin Ohorella tidak memenuhi unsur yang bersifat terpaksa. Ia pun menyatakan bahwa Briptu Fikri Ramadhan, tidak memperhatikan asas, nesesitas dan proposionalitas dalam menggunakan senjata api kala mengawal korban.
Yang terjadi justru sebaliknya, 6 Laskar FPI-lah yang keamanan dan jiwanya terancam karena dikuntit, dipepet hingga terjadi penangkapan yang mustahil diketahui dilakukan oleh aparat berwenang, karena peristiwa KM 50 terjadi pada dini hari (7/12/2021). Sementara petugas pun tidak memakai seragam.
Ketiga, kasus pembunuhan 6 Laskar FPI adalah pelanggaran HAM berat yang seharusnya diadili dengan pengadilan khusus. Berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM dan bukannya melalui pengadilan biasa.
Keempat, putusan lepas (onslag) terhadap dua terdakwa penembakan, menunjukkan bahwa hukum telah mati.
Murahnya Nyawa di Sistem Demokrasi
Kasus KM 50 yang menewaskan 6 Laskar FPI adalah kasus yang sangat menyayat hati. Bagaimana tidak, terbunuhnya 6 orang sekaligus oleh aparat keamanan adalah sebuah tindakan keji yang menyisakan banyak tanya tentang keadilan di negeri ini. Mosi tidak percaya pun dilontarkan oleh berbagai pihak termasuk para advokat dan ahli tata negara.
Sungguh, peradilan kini telah berubah menjadi dagelan yang dipertontonkan di negeri yang menerapkan sistem demokrasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sementara hak hidup manusia dirampas secara keji dan pelakunya tak tersentuh hukum sedikit pun. Betapa murah nyawa manusia di sistem demokrasi ini.
Sedangkan menurut kuasa hukum korban KM 50,Azis Yanuar, menyatakan bahwa kasus KM 50 tidak bisa dilepaskan dari corak penguasa yang represif. Dan kasus ini masih berkaitan dengan Habib Rizieq Shihab yang didukung oleh berbagai sarana yang kemudian membangun case building. Kepolisian yang di bawah presiden bak memelihara mesin pembunuh. Sungguh mengerikan.
Ironi Demokrasi
Demokrasi yang digadang-gadang sebagai sistem pemerintahan yang demokratis ternyata tak bertaji dalam masalah keadilan. Keadilan yang diputuskan tidak menyentuh akar masalah dan persoalan. Hak asasi manusia yang selalu digaung-gaungkan kini sudah mati seiring dengan arogansi penguasa yang duduk di kursi kekuasaan.
Keadilan bak pepesan kosong yang makin tampak kekerdilannya. Keadilan ditegakkan dengan melakukan ketidakadilan itu sendiri. Kandaslah harapan rakyat mendapat keadilan dari pemimpin dalam sistem demokrasi. Narasi-narasi keadilan tak sesuai dengan fakta yang terjadi. Seolah negeri ini berada di alam hutan rimba. Siapa kuat, dialah yang menang.
Mencari Keadilan dalam Sistem Islam
Islam adalah agama yang bersumber dari Sang Maha Pencipta. Allah adalah Dzat yang Maha Penyayang terhadap manusia. Allah berfirman dalam kalam-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu kisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah ia mengikutinya dengan membayar diyat (tebusan) kepadanya dengan baik. Yang demikian itu adalah keringan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang pedih. ” (TQS. Al Baqarah : 178)
Sementara dalam kalam yang lain Allah berfirman, “Dan dalam kisas itu terdapat kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa. ” (TQS. Al Baqarah : 179)
Islam dengan jelas menghukum para pembunuh yang tidak dibenarkan syarak. Tidak memandang siapa oknum yang melakukannya. Bahkan seorang khalifah pun di dalam negara khilafah tidak kebal hukum. Semua pihak sama di hadapan hukum.
Sungguh mahal nyawa seorang muslim di sisi Allah. Maka, Allah menjaganya dengan syariat kisas. Seseorang yang mengetahui jika ia akan membunuh seseorang tanpa hak, maka ia mengetahui hukuman yang akan diperoleh. Jika ia telah mengetahui akan dibunuh balik setelah ia membunuh seseorang, maka ia akan dihukum dengan cara dibunuh. Dengan cara inilah keadilan dalam Islam ditegakkan, agar nyawa manusia terpelihara. Dan manusia tidak berbuat sewenang-wenang terhadap manusia yang lain. Sungguh keadilan itu hanya akan didapat dengan penerapan hukum Islam kaffah. Keadilan akan segera terwujud, jika syariat Islam kaffah bisa ditegakkan sesegera mungkin. Bukan mengharap pada sistem demokrasi yang nyata-nyata tidak mampu menghadirkan keadilan pada manusia.
Wallahu a’lam bishowab.[]