"Di dalam sistem demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat. Oleh karena itu, yang berhak membuat aturan adalah manusia. Sistem demokrasi yang mengusung liberalisme memungkinkan setiap orang bebas mengekspresikan apa pun sesuka hatinya. Sebab, di dalam ideologi ini, kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan, dan kebebasan bertingkah laku memang dijamin oleh negara."
Oleh. Annisa Fauziah, S.Si
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Apa yang ada di benak kita ketika melihat kondisi negeri ini? Apakah masyarakat masih merasa bahwa kondisi kita sedang baik-baik saja? Salah satu hal yang menjadi ironi di tengah masyarakat, yaitu kekerasan seksual yang kian marak. Salah satu kasus yang baru terungkap belakangan ini, yaitu kekerasan seksual yang terjadi di Gowa, Sulawesi Selatan.
Kekerasan seksual ini diduga dilakukan oleh oknum polisi berpangkat perwira kepada seorang siswi SMP yang menjadi pembantu di rumahnya. Ia melakukan rudapaksa kepada korban untuk dijadikan budak seks sejak Oktober 2021 hingga Februari 2022. Selain ditahan dan diperiksa, Kapolda Sulawesi Selatan pun akhirnya menonaktifkan jabatan pelaku di kepolisian. (Tribunnews.com, 2/3/22)
Ada pula kasus mahasiswi yang diduga melakukan tindakan mesum saat kuliah daring. Kasus ini terjadi di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru. Universitas akhirnya melakukan pemecatan tidak hormat kepada mahasiswi tersebut. (Liputan6.com, 03/03/22)
Fenomena kekerasan seksual ini memang semakin tumbuh subur. Sejak bulan Januari sampai November 2021, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat ada 8.800 kasus kekerasan seksual. Kasus-kasus tersebut bahkan terjadi di berbagai tempat yang selama ini dianggap aman. Misalnya saja, sekolah, perguruan tinggi, hingga pesantren.
Koordinator Pelaksana Harian Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual menjadi fenomena gunung es. Hal ini disebabkan para korban takut berbicara karena trauma dan khawatir akan stigma sosial. Faktor lainnya, yaitu mandeknya proses hukum setelah korban melapor. (cnnindonesia.com, 29/12/21)
Sungguh, deretan kasus kekerasan seksual ini menjadi momok di tengah masyarakat. Saat ini seolah tak ada lagi ruang aman bagi masyarakat untuk beraktivitas. Sebab, ancaman kekerasan seksual ada di mana-mana. Apalagi bisa kita bayangkan bagaimana kondisi psikologis dan mental dari korban yang pasti mengalami trauma. Potret buram sistem sosial yang ada di negeri ini sejatinya adalah sebuah ironi. Betapa tidak, fenomena ini justru tumbuh subur di negeri yang notabene mayoritas muslim. Lalu, mengapa hal ini bisa terjadi?
Kekerasan Seksual Merajalela, Bukti Bobroknya Sistem Kapitalisme
Kasus kekerasan seksual yang marak terjadi nyatanya bukanlah karena kesalahan individu semata ataupun kurangnya pendidikan di dalam keluarga. Namun, akar masalah yang utama, yaitu penerapan sistem kapitalisme sekuler yang mengusung liberalisme. Asas dari ideologi ini, yaitu memisahkan aturan agama dari kehidupan. Oleh karena itu, agama hanya dipakai saat menjalankan ibadah ritual saja. Adapun saat mengatur interaksi dalam keseharian, termasuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan maka yang digunakan adalah aturan buatan manusia. Wajar saja jika nilai baik ataupun buruk ditentukan oleh sudut pandang manusia. Begitu pun standar benar dan salah. Hal ini sejalan dengan pemikiran yang dihasilkan dalam sistem politik dari ideologi kapitalisme, yaitu demokrasi.
Di dalam sistem demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat. Oleh karena itu, yang berhak membuat aturan adalah manusia. Sistem demokrasi yang mengusung liberalisme memungkinkan setiap orang bebas mengekspresikan apa pun sesuka hatinya. Sebab, di dalam ideologi ini, kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan, dan kebebasan bertingkah laku memang dijamin oleh negara. Mengapa aturan yang berasal dari manusia senantiasa menimbulkan pertentangan? Sebab, aturan tersebut lahir dari akal manusia yang sifatnya terbatas. Oleh karena itu, wajar jika standar yang ditetapkan pun bisa berubah-ubah tergantung kepada norma, sistem hukum, adat istiadat, dan sebagainya.
Dengan demikian, untuk menentukan definisi kekerasan seksual pun masih bias. Sebut saja produk hukum yang dihadirkan oleh sistem saat ini dalam menangani kasus kekerasan seksual ternyata menimbulkan pro dan kontra. Misalnya saja, penolakaan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang resmi disahkan jadi RUU Inisiatif DPR. Salah satu bentuk penolakannya, yaitu karena RUU TPKS ini tidak secara komprehensif memasukkan seluruh tindakan kesusilaan yang meliputi kekerasan seksual, perzinaan, dan penyimpangan seksual. (detik.com, 18/01/22)
Senada dengan RUU TPKS, Permendikbud Ristek Nomor 30 terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi pun menimbulkan kontradiksi. Sebab, aturan tersebut kental dengan ide sexual consent yang diusung oleh pegiat gender. Dengan sexual consent, kasus kekerasan seksual terjadi jika tanpa persetujuan korban. Adapun jika dilakukan atas dasar suka sama suka, maka tidak dipersoalkan.
Berbicara tentang kekerasan seksual tentu erat kaitannya dengan hukuman yang harus diberikan. Nah, sistem demokrasi buatan manusia ini tak mampu untuk menetapkan standar keadilan. Dengan demikian, berbagai kebijakan dan hukuman yang diberikan seringkali hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Bahkan, beberapa kalangan seperti pejabat dan aparat penegak hukum dianggap kebal terhadap hukum. Lalu, di manakah keadilan sejati itu? Kondisi seperti ini membuat rakyat kehilangan kepercayaan. Bahkan, bisa dibilang rakyat sudah pasrah dengan keadaan. Akhirnya tidak sedikit masyarakat yang memilih diam. Sebab, pengaduan yang disampaikan kepada pihak berwajib pun sering kali tidak diproses. Maka, ke mana lagi rakyat harus mencari perlindungan? Apakah kehidupan yang aman dan tenteram hanya impian?
Islam Solusi Tuntas Memberantas Kejahatan Seksual
Peraturan perundang-undangan yang dihasilkan sistem demokrasi bukan menjadi solusi, justru menimbulkan masalah baru. Dengan demikian, untuk sampai kepada solusi tuntas dalam mengatasi kekerasan seksual ini ada aturan yang berasal dari Allah Swt. Sebab, Islam sebagai sebuah ideologi memiliki seperangkat aturan yang sempurna yang mengatu seluruh aspek kehidupan.
Syariat Islam memiliki langkah preventif maupun kuratif terjadinya kekerasan seksual dengan menerapkan sistem pergaulan (nidzam ijtima’i), baik dalam lingkup personal, keluarga, masyarakat maupun negara. Dalam lingkup personal, Islam benar-benar mengatur secara detail pemenuhan fitrah manusia hanya menggunakan hukum syarak. Misalnya saja, dalam memenuhi fitrah untuk melestarikan jenis (gharizah na’u) melalui pernikahan.
Islam telah melarang seseorang untuk membuka aurat, membatasi interaksi dengan nonmahram, perintah menundukkan pandangan, dan sebagainya. Di dalam keluarga, syariat Islam memberikan arahan kepada para orang tua untuk mengajarkan tarbiyah jinsiyah kepada anak-anaknya bukan dengan konsep pendidikan seksual ala Barat.
Begitu pun di tengah masyarakat, dorongan keimanan telah menjadikan orang-orang di sekitar kita tak segan untuk melakukan dakwah amar makruf nahi mungkar jika terjadi penyimpangan. Terakhir, yaitu adanya peran negara sebagai pelindung yang memastikan bahwa kebijakan yang ditetapkan oleh negara bersumber dari panduan syarak.
Kisah seorang budak muslimah yang dilecehkan oleh orang Romawi nyatanya telah membuat Khalifah al Mu’tasim Billah langsung turun tangan. Beliau langsung mengirim puluhan ribu pasukan untuk menyerbu Kota Ammuriah. Lalu, apa yang terjadi saat ini, di mana sudah banyak korban yang berteriak meminta pertolongan dan keadilan, tetapi diabaikan begitu saja?
Khatimah
Kasus kekerasan seksual akan tetap tumbuh subur jika sistem yang diterapkan saat ini menjauhkan aturan agama dari kehidupan. Aturan yang lahir dari Sang Pencipta, Allah Swt. adalah satu-satunya aturan yang akan membawa kepada ketenteraman dan keadilan. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan permasalahan ini hingga tuntas sampai ke akarnya maka tidak lain harus ada institusi negara yang memang benar-benar menerapkan Islam secara kafah. Sebab, hanya dengan sistem Islam maka negara bisa melakukan tindakan preventif maupun kuratif untuk menyelesaikan masalah kekerasan seksual.
Wallahu ‘alam bi-shawab[]
Photo : unsplash