"Inilah realita yang dunia hadapi saat kapitalisme mencengkeram perekonomian, juga seluruh aspek kehidupan. Masalah baru terus bermunculan karena solusi yang disodorkan hanya bersifat tambal sulam. Sistem kapitalisme-sekuler juga telah menciptakan individu yang serakah dan individualis. Tak heran jika dijumpai pengusaha yang tega menimbun komoditas yang diperlukan masyarakat dan menunggu agar dapat keuntungan berlipat."
Oleh. Ai Siti Nuraeni
(Pegiat Literasi)
NarasiPost.Com-Ibarat lepas dari mulut harimau masuk ke dalam mulut buaya, permasalahan minyak goreng tidak juga menemukan titik terang. Diawali dengan meroketnya harga minyak goreng yang diikuti dengan menghilangnya komoditas tersebut dari pasaran membuat rakyat bingung serta kesulitan. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh orang yang punya niat jahat untuk meraup cuan berlimpah, salah satu jalannya dengan melakukan penipuan.
Seperti kasus yang terjadi di Kabupaten Bandung Jawa Barat, sebanyak 22 orang menjadi korban penipuan berkedok pre-order minyak goreng. Mereka kebanyakan berasal dari Bandung, sedangkan yang paling jauh berasal dari Limbangan, Garut. Adapun kerugian yang diderita bervariasi, namun yang paling besar sampai Rp193 juta. Jika ditotalkan uang hasil penipuan itu mencapai Rp1,6 miliar. Saat ini, perwakilan korban telah melayangkan laporan ke Polsek Cileunyi dan Limbangan untuk memproses kasus tersebut dan pihak kepolisian telah melakukan pemanggilan pada terlapor serta memproses penyelesaiannya. (Medcom.id, 25/02/2022)
Fakta tersebut tentu sangat disesalkan dan menambah rentetan masalah yang ditimbulkan oleh mahalnya harga minyak goreng. Jika dirunut, kenaikan harga minyak goreng diawali oleh naiknya harga CPO (crude palm oil) atau minyak kelapa sawit mentah di pasar global yang menyebabkan minyak goreng mahal hingga menyentuh Rp20.000 per liter. Karena itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan satu harga pada minyak goreng kemasan seharga Rp14.000. Sayangnya kebijakan itu tidak berhasil menekan harga minyak goreng, namun justru membuat harganya semakin melambung karena ketersediaannya jadi langka. Hal tersebut disinyalir disebabkan oleh oknum pemodal besar yang memborong komoditas ini dan menimbunnya, kondisi ini diperparah oleh masyarakat yang melakukan panic buying.
Walhasil, meskipun pemerintah beserta jajarannya bekerja sama menggelar operasi pasar murah di berbagai wilayah, persoalan minyak ini belum juga selesai. Inilah realita yang dunia hadapi saat kapitalisme mencengkeram perekonomian, juga seluruh aspek kehidupan. Masalah baru terus bermunculan karena solusi yang disodorkan hanya bersifat tambal sulam. Contohnya, Indonesia sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar bersama dengan Malaysia tidak bisa menentukan sendiri harga CPO karena terikat oleh perjanjian internasional. Saat hasil panen sawit melimpah, negara tidak bisa mematok harga murah karena banyak kebun sawit yang merupakan hasil investasi pemodal luar negeri.
Kebijakan satu harga selintas mungkin bisa menjadi solusi mahalnya harga, tapi sebenarnya ini merupakan kezaliman bagi pedagang yang telah mengeluarkan modal lebih dari harga yang ditentukan. Karena itu, banyak dari pedagang dihadapkan pada dilema antara tetap memasang harga sesuai modal dengan risiko tidak laku atau mengikuti aturan pemerintah tapi merugi. Tak jarang juga mereka menggunakan sendiri stok minyak yang mereka punya atau terpaksa menunggu harga pasar kembali normal.
Keberadaan operasi pasar murah juga menyimpan bahaya tersendiri bagi masyarakat, karena dalam pelaksanaannya mereka akan tumpah ruah dalam satu tempat dan sulit menjalankan protokol kesehatan. Padahal hari ini Indonesia masih dibayang-bayangi penyebaran Omicron. Ini tentu akan mencederai usaha pemerintah dalam menurunkan angka positif Covid-19 dan menempatkan masyarakat dalam bahaya pada kesehatan mereka.
Sistem kapitalisme-sekuler juga telah menciptakan individu yang serakah dan individualis. Tak heran jika dijumpai pengusaha yang tega menimbun komoditas yang diperlukan masyarakat dan menunggu agar dapat keuntungan berlipat. Masyarakat secara umum juga tak segan-segan memborong suatu produk tanpa memikirkan apakah saudara atau tetangganya juga memerlukan, yang perting kebutuhan pribadi terpenuhi. Bahkan ada orang yang dengan jahatnya menipu agar mendapat keuntungan, tak peduli itu dosa atau tidak.
Oleh karena itu, adalah sebuah perkara utopis jika masyarakat berharap bahwa sistem yang ada saat ini mampu memenuhi kebutuhan mereka secara mudah dan murah. Pasalnya, kapitalisme telah menjadikan komoditas publik sebagai aset yang sangat penting bagi kaum pemodal, baik pengusaha atau penguasa. Atas kenyataan tersebut, sudah seharusnya umat berkaca pada aturan Islam yang sudah terbukti hampir 14 abad diterapkan, membawa dampak luar biasa bagi peradaban manusia. Hal itu karena pemimpin dalam Islam bertanggung jawab atas urusan rakyatnya, mulai hulu hingga hilir karena posisinya sebagai raa'in dan junnah.
Dalam kisruh minyak goreng ini pemerintah yang menerapkan sistem Islam akan menyelesaikan semua masalah, mulai dari produksi sampai distribusi ke masyarakat. Negara tidak akan mengandalkan investasi asing dalam komoditas yang sangat dibutuhkan rakyat. Jika swasta menguasai perkebunan, maka mereka bisa menentukan sendiri harga komoditas. Hasil perkebunan juga akan dimanfaatkan terlebih dahulu untuk kebutuhan dalam negeri, kelebihannya baru bisa diekspor ke luar negeri, dengan begitu stok dalam negeri akan aman.
Selanjutnya sistem ekonomi dalam Islam dengan keras melarang praktik penetapan harga oleh negara karena itu adalah suatu kezaliman. Hal itu berdasarkan apa yang terjadi pada masa Rasulullah ketika beliau diminta untuk mematok harga di pasaran, lalu Rasul bersabda sebagaimana riwayat dari Anas bin Malik yang artinya: “Wahai manusia! Sesungguhnya naiknya (mahalnya) harga-harga kalian dan murahnya itu berada di tangan Allah Subhanahu wata'ala dan saya berharap kepada Allah ketika bertemu Allah (nanti), dan tidaklah salah satu orang terhadapku, (aku memiliki) kezaliman dalam harta dan tidak pula dalam darah.”
Selain itu, praktik penimbunan kebutuhan pokok rakyat dan penipuan jelas dilarang dalam Islam, pelakunya akan mendapatkan hukuman ta'zir oleh hakim berupa pejara, jilid, diasingkan, ditegur, diperingati, dibunuh, atau yang lainnya. Dengan begitu pelakunya akan merasakan efek jera, namun juga terampuni dosanya. Hal itu karena hukuman dalam Islam bersifat jawabir dan jawazir.
"Barang siapa yang menipu, ia bukan termasuk golonganku." (HR. Muslim dan Tirmidzi)
Dalam Islam juga akan sulit ditemui rakyat yang melakukan panic buying, selain karena takut dengan hukuman yang bisa diberikan juga karena ikatan persaudaraan sesama muslim yang begitu kuat. Karena dalam Islam kaum muslim itu bersaudara dan haram hukumnya membuat saudara sendiri kesulitan. Inilah keindahan dunia yang diatur dengan Islam yang rahmatan lil'aalamiin. Pantaslah bagi seluruh muslim untuk berusaha mewujudkannya.
Wallahu a'lam bish shawaab.[]
Photo : Unsplash