"Mengubah logo itu mudah, namun membangun kesadaran serta kepercayaan masyarakat terhadap logo yang ditetapkan oleh pemerintah ini yang akan membutuhkan perjuangan yang besar. Karena logo bukan hanya sebuah gambar, namun juga kepercayaan terhadap suatu reputasi."
Oleh. Vidya Spaey Putri Ayuningtyas
NarasiPost.Com-Tak lama setelah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementrian Agama menetapkan label halal yang berlaku secara nasional, jagat sosial media menjadi ramai dengan komentar terhadap perubahan ini. Logo awal berwarna hijau, bertuliskan halal dengan huruf hijaiah dan Majelis Ulama Indonesia yang sudah sangat lekat di hati dan pikiran masyarakat Indonesia, berubah menjadi logo baru berwarna ungu yang memadukan antara kaligrafi dengan simbol-simbol adat, salah satunya pewayangan. Sebagian besar netizen memilih logo lama dan sebagian netizen memilih logo baru.
Beberapa tokoh pun ikut berkomentar melalui sosial media masing-masing. Salah satu opini yang cukup mendapatkan perhatian besar datang dari Koh Steven Indra Wibowo. Beliau menyampaikan pendapat pribadi beliau terkait warna, kaligrafi, dan gunungan.
“ Bismillah , kalau pendapat saya pribadi sich. Pertama, kenapa menggunakan warna ungu bukan hijau? Dalam Islam, hijau itu identik dengan warna surga. Dalam Al Qur'an pada surah Al- Kahfi ayat 31: "Mereka itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga 'Adn, mengalir sungai-sungai di bawahnya, dalam surga itu mereka dihiasi dengan gelang mas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutra halus dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat istirahat yang indah." Kedua, kenapa kaligrafi harus berbentuk gunungan? Sedangkan lembaga halal di luar sana semua menaruh tulisan arab apa adanya, حلال. Sesederhana itu saja agar mudah terbaca. karena walau banyak muslim yang belum bisa baca huruf tulisan Arab, mereka tahu logo حلال, ya bacanya halal, namun jika dibuat kaligrafi gunungan justru tidak terbaca. Ketiga, Gunungan sama dengan Jawa. Hal ini membanggakan orang Jawa. Namun, sebagai Menteri Agama Republik Indonesia, harus bisa merasa Indonesia, karena bukan Menteri Agama Republik Jawa, atau mungkin hendak membuat negara sendiri. Di akhir caption beliau menambahkan bahwa hal tersebut tidaklah esensial dan bukan kegiatan Kementerian Agama, ada hal esensi lainnya seperti menjawab kuota haji yang telah ditunggu oleh kementerian urusan Haji dan Umrah, Kerajaan Saudi Arabia (KSA), sehingga tidak ada lagi alasan bahwa KSA mempersulit.
Dewa Eka Prayoga pun turut mengunggah perubahan desain logo lama dan logo baru pada feed dengan caption berupa pertanyaan pada Instagram beliau, “Guys, Saya gak paham ilmu desain. Bagusan mana, Guys? Alasannya?" Caption tersebut telah mendapatkan ribuan likes dan komentar, baik yang pro maupun kontra terhadap perubahan logo dilengkapi dengan beragam alasan.
“Proyek.” tulis akun Instagram Subiakto melalui kolom komentar.
“Kalau dari sisi desain lebih bagus yang baru. Hanya saja kita terbiasa lihat yang lama… nantinya akan terbiasa. ” tulis akun Instagram Reerestya.
“Sama-sama bagus, cuma logo lama sudah mandarah daging banget.” tulis akun Instagram septibaebae.
“Yang lama lebih mudah dikenali dari jauh.” tulis akun instagram pastenote.
“Ga boleh ke arab-araban kang, nggak pancasilais.” tulis akun Instagram iam.nuril.
“Dari segi desain lebih bagus yang lama, karena bentuknya emblem, jadi mudah ditempel di mana saja, lebih fleksibel penggunaannya, jadi dipasang di kemasan atau media mana pun bisa masuk karena border atau bentuk lingkaran jadi lebih masuk di media bentuk apapun, persegi, segitiga, portrait, landscape, dll. Logo yang baru nanti agak susah ketika ditempel di media-media karena tidak ada border jadinya akan maksa. Dan menurutku bentuk tulisan Arab yang lebih otentiknya, lebih estetik daripada yang dimodernisasi.” tulis akun Instagram alexander_prasetya.
Urgensi Perubahan Logo
Perubahan logo produk, perusahaan atau label bukan sesuatu yang baru. Hal ini pun dilakukan oleh beberapa brand, perusahaan, dan organisasi ternama dunia. Menurut beberapa teori, logo diubah berdasarkan beberapa pertimbangan, menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan perubahan style untuk memberikan efek pembaruan dan penyegaran pada klien dan konsumen. Penyegaran logo menunjukkan bahwa suatu organisasi perusahaan atau label berkembang dan berubah untuk mengikuti dunia yang dirasa lebih modern atau kontemporer. Beberapa pertimbangan lain adalah logo awal terlalu rumit atau terlalu sederhana, pengambilalihan wewenang atau penggabungan perusahaan, perubahan visi, fokus dan nilai perusahaan, adaptasi dengan beberapa media baru, dan evolusi berkelanjutan.
Perubahan logo pun sering menuai pro dan kontra. Beberapa platform design pernah meminta masyarakat untuk vote atau memilih dari logo-logo dari brand besar yang telah berubah berkali-kali seperti: Adidas, Nike atau logo lainnya di mana setiap logo memiliki penggemar setianya sendiri-sendiri.
Penilaian terhadap art atau seni dan desain ini dipengaruhi cukup kuat oleh selera setiap individu yang bersifat lebih subjektif, dan bukan perhitungan dalam matematika yang mudah ditimbang, dihitung, dan ditentukan benar atau salah. Seperti beberapa logo yang dibuat pada era klasik dan kerajaan mengalami perubahan menjadi lebih minimalis dan clean di era modernism. Perubahan logo menjadi lebih minimalis, sederhana, dan bersih dari Warner Bros pernah mendapatkan banyak kritikan tajam dan ketidaksetujuan dari beberapa designer, penggemar dan masyarakat umum. Namun, terdapat beberapa desain logo justru tidak pernah diubah sejak pertama dibuat dan dipertahankan. Dan logo tersebut makin terasa lebih mewah dan bersejarah dengan desainnya yang klasik.
Pro-Kontra Desain Logo Label Halal Indonesia
Tidak dapat dimungkiri bahwa beberapa pendapat netizen dan masyarakat adalah benar. Halal yang dituliskan dengan huruf hijaiah pada logo lama lebih mudah terbaca, sedangkan kaligrafi halal membentuk simbol pewayangan pada logo baru sangat sulit terbaca. Selain tidak terbaca dengan jelas, bahkan beberapa orang menyampaikan pendapatnya tentang pemotongan huruf yang kurang tepat berdasarkan seni kaligrafi, yang mengakibatkan perubahan arti kata dan beberapa huruf pada kaligrafi logo halal baru justru membentuk huruf hijaiah lain yang menghasilkan kata lain yang bermakna lain dan buruk.
Logo halal di setiap negara tidak sama dan mengalami perubahan, namun perbedaannya lebih kepada frame dan warna yang melingkari huruf Hijaiah. Sedangkan kata halal yang dituliskan dengan huruf hijaiah yang jelas dipertahankan untuk memudahkan dibaca oleh muslim yang bukan hanya berasal dari Jawa dan Indonesia, namun juga Internasional. Walaupun melalui sosialisasi terus-menerus masyarakat pun dengan sendirinya akan paham makna logo halal yang baru. Namun, hal ini membutuhkan banyak energi, waktu dan biaya yang besar untuk menjelaskan dan membangun kesadaran masyarakat lokal, nasional dan internasional.
Belajar dari petunjuk halal dan haram yang cukup rumit di beberapa negara Eropa, membuat saya lebih menyukai belanja di toko Asia daripada supermarket umum yang ada di Leuven, Belgia. Saya pun memilih mengambil produk makanan yang jelas dan tidak mencoba produk makanan baru yang belum saya check logo halalnya. Ketidakterbacaan logo dengan mudah justru berpotensi menurunkan daya beli masyarakat lokal, nasional dan internasional, serta menyesatkan umat. Karena logo halal ini bukan hanya ditujukan bagi mereka yang menginginkan produk halal saja, namun di beberapa negara terdapat agama dan kepercayaan tertentu dilarang untuk mengkonsumsi produk berlabel halal.
Untuk turis yang malas membaca keterangan label sebelum melakukan perjalanan dan memilih kehati-hatian atas makanan, minuman serta produk lainnya akan memilih produk yang jelas kehalalannya. Penggunaan huruf hijaiah untuk menuliskan halal dan warna hijau pada logo sesungguhnya sudah banyak digunakan dan menjadi bahasa universal bagi umat Islam di seluruh dunia bahkan non-Islam pun dengan mudah dan cepat memahami.
Membangun Kesadaran dan Kepercayaan Masyarakat (Umat Islam)
Selain pro dan kontra atas logo halal yang baru ini, pemerintah sendiri telah beberapa kali menunjukan ketidakharmonisan dengan sebagian besar umat Islam terutama pada periode pemerintahan Jokowi yang kedua ini. Islam adalah agama yang universal di mana aturan beragama Islam ini sama di semua negara. Tidak seperti agama dan kepercayaan yang lain yang aturannya berbeda-beda di setiap negara dan mengalami penyesuaian. Tidak seharusnya pemerintah terus membenturkan nilai-nilai Islam yang universal dengan isu lokal nasional, seperti Islam Nusantara yang notabenenya terjebak terus-menerus pada pengambilan simbol Jawa sebagai citra yang menggambarkan Nusantara.
Kegaduhan yang selalu ditunjukan di media hanya akan membangun jarak yang makin lebar dan jurang yang makin dalam antara sebagian besar umat Islam dengan pemerintah. Pemerintah harus mampu merangkul semuanya dan memperkuat persatuan dan kesatuan antarumat Oslam di seluruh dunia dan keragaman budaya dan agama di Indonesia. Dan lebih dari itu, kekecewaan rakyat pada umumnya dan umat Islam khususnya atas korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terus terjadi dan dilakukan oleh beberapa oknum pemerintah tanpa penanganan yang serius telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Ketidaktegasan dan ketidakjelasan atas ketetapan halal dan haram oleh pemerintah pun membuat sebagian umat Islam sulit untuk menaruh kepercayaan kepada pemerintah. Mengubah logo itu mudah, namun membangun kesadaran serta kepercayaan masyarakat terhadap logo yang ditetapkan oleh pemerintah ini yang akan membutuhkan perjuangan yang besar. Karena logo bukan hanya sebuah gambar, namun juga kepercayaan terhadap suatu reputasi.
Dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama, umat Islam lebih percaya pada para ulama dengan kejelasan ilmu dan kemampuan menarik dalil-dalil dalam agama. Sehingga tidak dengan mudah menjadikan yang haram menjadi halal atau sebaliknya hanya untuk kepentingan pribadi, golongan atau aspek ekonomi saja.
Perbaikan Sistem Sertifikasi Halal
Sebagaimana Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, yang memiliki latar belakang Nahdatul Ulama (NU) yang kuat mengatakan bahwa sertifikasi halal secara bertahap akan dilakukan pemerintah dan tidak lagi oleh organisasi masyarakat atau MUI. Semoga ini merupakan komitmen besar seorang negarawan untuk kepentingan dan kebermanfaatan umat dan bukan hanya kepentingan pribadi dan kelompok tertentu atau alasan ekonomi semata. Pernyataan Yaqut Cholil Qoumas yang belum lama ini menyandingkan toa, azan, dan gonggongan anjing ini pun telah menuai pro dan kontra serta kegaduhan di jagat sosial media, hingga menimbulkan luka di hati banyak masyarakat. Maka, tidak heran jika setiap pernyataan dan kebijakan yang diambil akan menuai protes dan sulit mendapat kepercayaan masyarakat.
Dan lebih dari itu, yang lebih penting diperbaiki bukan hanya desain logo, namun komitmen lembaga penanggung jawab label halal ini serta sistem yang menaunginya. Bagaimana masyarakat, terutama umat Islam di Indonesia khususnya dan dunia umumnya, yang mengonsumsi produk halal Indonesia mendapatkan jaminan kepastian atas produk halal dan haram. Jangan sampai hanya karena kepentingan politik dan ekonomi, umat Islam menjadi korban atas ketidakjelasan atas label halal. Karena seperti kita ketahui dalam beberapa kasus bahwa produk yang telah dinyatakan haram oleh beberapa ulama, menjadi halal bahkan dilabeli syariat oleh pemerintah dan beberapa kementrian.
Perbaikan sistem pendaftaran label halal yang mudah dan murah atau bebas biaya. Jangan sampai masyarakat dibebani oleh rumitnya birokrasi dalam pendaftaran label halal serta biaya yang terus berubah seiring pergantian pemimpin dan kabinet kerja. Sistem kontrol serta sanksi atas penyalahgunaan label halal pun menjadi sesuatu yang harus diperhatikan dalam label halal ini. Sistem kontrol dan pengelolaan label halal di Indonesia ini termasuk sangat lemah. Banyak masyarakat dengan mudah meletakan logo halal pada produk dan usaha mereka hanya dengan menempelkan logo yang diambil dari internet. Di era digital saat ini, pemerintah juga harus mengembangkan suatu alat di mana masyarakat dapat dengan mudah mengetahui usaha dan produk mana saja yang betul-betul tersertifikasi halal.
Belajar dari dua negara di Asia Tenggara, Brunei Darusalam dan Singapore, telah menunjukan komitmen yang luar biasa terhadap kepentingan umat Islam.
Dan tantangan perbaikan logo, sistem, dan pengelolaan ini tidak berhenti sampai di atas saja, namun bagaimana pemerintah mampu membangun kepercayaan umat Islam di Indonesia dan dunia atas kebijakan label halal yang baru ini bahkan meningkatkan prestasi atas komitmen secara nasional dan internasional. Karena Islam adalah agama universal, maka kebijakan baru ini harus dapat diakui dan diterima serta ditingkatkan prestasinya secara internasional oleh umat Islam di seluruh dunia.[]