"Sejatinya otonomi kampus atau fakultas hanyalah kedok bagi rezim penganut Kapitalisme untuk berlepas tangan sebagai penanggungjawab penyelenggara pendidikan. Bius manis menjadi "kampus mandiri dan independen" terus diembuskan, apresiasi palsu terus gaungkan, agar kampus lupa akan fungsi negara yang sesungguhnya. Yang lebih penting lagi, sistem pendidikan dalam kapitalisme, tidak akan mampu melahirkan intelektual-intelektual berkualitas yang ikhlas memberikan kontribusinya kepada umat."
Oleh. drh. Lailatus Sa'diyah
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Polemik berkepanjangan antara Rektor ITB dan Dosen SBM ITB tak kunjung menemukan titik terang. Kasus terus bergulir hingga mahasiswa menjadi korban. Sempat per tanggal 8 Maret 22, mahasiswa Sekolah Bisnis Management Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) diminta belajar mandiri. Tidak ada luring maupun daring. Namun pada tanggal 15 Maret 2022, kegiatan belajar mengajar sudah mulai berjalan normal kembali. Sontak hal ini memunculkan rasa khawatir akan kualitas mutu pendidikan SBM ITB ke depannya.
Telaah Perkara
Berdasarkan hasil audit BPK RI pada 31 Desember 2018, pengelolaan keuangan SBM ITB tidak sesuai dengan Statuta ITB yaitu PP 65/2013. Ke depannya BPK RI, merekomendasikan ada dua hal utama yang harus dibenahi secara internal ITB. Pertama, berkaitan dengan integrasi sistem manajemen yakni pengelolaan keuangan yang terintegrasi. Kedua, berkaitan dengan pengembangan Human Capital Management (HCM).
Evaluasi BPK RI berujung pada dikeluarkannya Peraturan Rektor Nomor 1165 Tahun 2021 tentang Standar Biaya, Peraturan Rektor Nomor 1162 Tahun 2021 tentang Pencabutan Swakelola, dan Peraturan Rektor Nomor 25620 Tahun 2021 tentang Tata Kelola. Dengan adanya aturan baru ini, secara otomatis SK Rektor ITB Nomor 203 tahun 2003 sudah tidak berlaku lagi. Namun, sayangnya menurut Forum Dosen SBM ITB, pencabutan SK tersebut oleh Rektor ITB, Reini Wirahadikusumah, tanpa adanya pemberitahuan dan kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan.
Hal ini menimbulkan kekecewaan bagi segenap pimpinan civitas akademika SBM ITB. Tercatat pada tanggal 2 Maret 2022, jajaran dekanat SBM ITB yang dipimpin oleh Dekan SBM ITB Utomo Sarjono Putro, Wakil Dekan Bidang Akademik Aurik Gustomo, dan Wakil Dekan Bidang Sumber Daya, Reza A Nasution, sempat mengajukan surat pengunduran diri kepada rektor.
Pencabutan pondasi berdirinya SBM ITB, dinilai telah melumpuhkan kemandirian serta eksistensi SBM ITB yang telah berjalan 18 tahun. Faktanya, berasaskan SK tersebut telah mengantarkan SBM ITB menjadi kampus tingkat dunia dan telah berhasil memperoleh akreditasi Association to Advance Collegiate Schools of Business (AACSB). AACSB adalah salah satu akreditasi sekolah bisnis tertua yang berbasis Amerika Serikat.
Mengorbankan Mahasiswa
Adanya konflik antara Rektor ITB dan pimpinan civitas akademika SBM ITB, cenderung merugikan mahasiswa. Karenanya, proses belajar mengajar sempat dihentikan mulai tanggal 8 Maret 2022 karena aksi mogok mengajar dosen SBM. Sebelum kemudian diaktifkan kembali pada tanggal 15 Maret 2022 setelah ada negosiasi antara Rektor ITB dan Pimpinan SBM ITB pada tanggal 14 Meret 2022. Terang kasus ini memberikan dampak psikologis kepada mahasiswa dan orang tua atau wali mahasiswa. Kekhawatiran mulai muncul akan menurunnya mutu pendidikan yang akan didapatkan pasca bergulirnya perkara ini.
Pada kesempatan yang sama, Rektor ITB menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas kegaduhan ini. Reini berjanji segera memulihkan kondisi civitas akademika sebagaimana semestinya.
Menurut Ali Nurdin, juru bicara forum orang tua mahasiswa, menyampaikan konflik SBM dengan Rektorat ITB merupakan persoalan internal. Sebagai orang tua, Nurdin tertuju pada pendidikan anak-anaknya sebagai mahasiswa S1 di SBM ITB tidak terganggu.
Forum Orang Tua Mahasiswa menuntut penyusunan aturan baru maksimal berlangsung hingga akhir Mei. Selama proses penyusunan dan negosiasi berlangsung, akan berlaku status quo dengan mengacu pada pemberlakuan aturan lama yaitu sebelum diterbitkannya Peraturan Rektor 1162/2021.
Otonomi adalah Liberalisasi Terselubung
Pada tahun 2003, agar SBM ITB dapat berkembang lebih cepat dan memiliki kualitas kelas dunia, maka rektor ITB saat itu, memberikan keleluasaan (otonomi) dan fleksibilitas kepada SBM ITB melalui SK Rektor ITB 203/2003. Otonomi yang diberikan adalah untuk mencari dana dan membiayai kebutuhannya sendiri tanpa suntikan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Reini sempat menyampaikan, hak swakelola yang dimiliki SBM ITB memang membuat iri fakultas atau sekolah lain. "SBM ini memang bikin iri semua ini. Katanya gajinya besar, tapi tentunya SBM juga melakukan upaya-upaya yang setimpal dengan take home pay yang mereka dapatkan,” ujarnya. (Tempo, 14/03/2022)
Faktanya, awal pendirian SBM, 80 persen pendapatan dikelola secara mandiri oleh SBM. Sisanya 20 persen diserahkan kepada IPB. Kemudian ada pergantian rektor yang menjadikan hanya 70 persen pendapatan yang dikelola oleh SBM. Mulai Reini menjabat sebagai rektor, SBM hanya berhak mengelola 60 persen dari pendapatannya. Terakhir atas dicabutnya SK, semua pendapatan SBM dikelola oleh ITB. Menurut Pimpinan SBM, adanya integrasi pengelolaan dana menjadikan SBM sulit untuk menjamin kualitas pendidikan sebagaimana sebelumnya. Benarkah kualitas pendidikan menjadi alasan satu-satunya?
Pada kesempatan lain, Forum Orang Tua Mahasiswa meminta penjelasan kepada Dekanat SBM. Dalam pertemuan langsung di gedung kampus SBM ITB, mereka mendengar isu lain. Dari yang mulanya anggaran yang kurang sehingga akan berdampak pada kegiatan perkuliahan, bergeser kepada isu honor dosen. Anak Ali Nurdin sendiri tercatat sebagai mahasiswa S1 program kelas internasional angkatan 2021. Biaya kuliahnya sebesar 120 juta per tahun yang wajib dibayarkan lunas sebelum perkuliahan dimulai. Sungguh harga yang sangat fantastis.
Mahalnya biaya pendidikan dalam sistem Kapitalisme adalah suatu keniscayaan. Hal ini tidak bisa dilepaskan karena Indonesia harus tunduk pada perjanjian internasional WTO. Perjanjian yang dirativikasi oleh GATS, menempatkan pendidikan sebagai salah satu sektor jasa yang secara bertahap harus diliberalisasi. Akibatnya biaya pendidikan akan semakin mahal dan hanya bisa dijangkau oleh orang-orang yang memiliki uang.
Pihak kampus didorong untuk aktif mencari sumber pendapatan selain dari BOPTN. Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) adalah bantuan dari pemerintah untuk operasional kampus yang bersumber dari APBN. Adanya arus liberalisasi pada sektor pendidikan, mengokohkan posisi negara hanya sebagai regulator. Bukan sebagai penanggungjawab penuh atas terlaksananya pendidikan untuk generasi.
Realitasnya jika civitas kampus didorong untuk mendapatkan pendapatan selain dari BOPTN, maka mau tidak mau mereka harus membagi fokus. Di satu sisi harus menuntaskan pendidikan untuk mahasiswanya, di sisi lain harus mengoptimalkan potensi pendapatkan melalui badan usaha milik kampus, uang pangkal dan UKT mahasiswa, hibah, kerjasama dengan perusahaan swasta dan sebagainya. Dan yang pasti ada timbal balik yang harus dibayar untuk itu semua.
Inilah protret pendidikan dalam sistem kapitalisme. Tenaga pendidik diberi beban lebih sehingga berpotensi tidak optimalnya proses belajar mengajar. Minimnya penghargaan (gaji) tenaga pendidik oleh pemerintah, mendorong mereka untuk mencari pemasukan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sedangkan dari sisi mahasiswa, di mana mereka sudah dibebani membayar uang kuliah dengan mahal, maka tidak ayal orientasi mengenyam pendidikan bukan hanya sekadar mencari ilmu, namun bagaimana nantinya mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dengan gaji tinggi. Jadilah mereka mahasiswa yang sekadar study oriented yang acapkali apatis dan apolitis dengan kondisi yang ada.
Sejatinya otonomi kampus atau fakultas hanyalah kedok bagi rezim penganut Kapitalisme untuk berlepas tangan sebagai penanggungjawab penyelenggara pendidikan. Bius manis menjadi "kampus mandiri dan independen" terus diembuskan, apresiasi palsu terus gaungkan, agar kampus lupa akan fungsi negara yang sesungguhnya. Yang lebih penting lagi, sistem pendidikan dalam kapitalisme, tidak akan mampu melahirkan intelektual-intelektual berkualitas yang ikhlas memberikan kontribusinya kepada umat.
Khilafah Solusi Pendidikan Berkualitas
Islam dengan seperangkat aturannya mempunyai sistem pendidikan yang khas. Sebagaimana dalam buku Sistem Pendidikan karya Dr. Abdurrahman al-Baghdadi dijelaskan secara gamblang bagaimana gambaran sistem pendidikan yang pernah terealisasi pada masa Khilafah Islamiah.
Dalam buku tersebut dijelaskan pula bahwa Kurikulum pendidikan Islam berdasarkan akidah Islam, maka seluruh bahan ajar dan metode pengajaran ditetapkan berdasarkan asas tersebut, tidak boleh ada penyimpangan sedikit pun. Hal ini menunjukkan bahwa Khalifah-lah sebagai memegang tanggungjawab utama untuk memastikan terlaksananya pendidikan sesuai dengan ajaran Islam, termasuk mengevaluasi mutu pendidikan itu sendiri. Dari sisni akan terlahir intelektual dengan akidah yang teguh dan bertakwa kepada Allah ta'ala.
Orientasi penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah untuk melahirkan intelektual yang nantinya ilmu yang didapatkan mampu memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Khilafah sebagai penyelenggara pendidikan akan memfasilitasi apapun yang dibutuhkan sistem pendidikan demi mewujudkan kemaslahatan umat. Ilmuan muslim yang lahir pada masa kejayaan Islam dan hingga kini karya dan penemuannya bisa kita manfaatkan. Misalnya Ibnu Sina, Al Khawarizmi, Al Farabi, Al Battani, Al Kindi, Ibnu Firnas dan masih banyak lagi ilmuan berkualiyas yang lahir pada masa kejayaan Islam.
Di sisi lain, sistem ekonomi Islam sebagai penopang perekonomian khilafah, akan mengelola kekayaan masyarakat secara optimal. Di mana sumber daya alam yang dimiliki hanya akan dikelola oleh negara dimanfaatkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat sehingga kesejahteraan pengajar terjamin, fasilitas pendidikan mencapai mutu tertinggi dan merata di semua daerah. Seperti yang pernah terealisasi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, demi sebuah kemajuan pendidikan Khalifah Umar membayar gaji para pengajar sebesar 15 dinar setiap bulan serta dengan 52,5 juta dalam kurs saat ini (1 dinar = 3,5 juta).
Semua itu hanya akan terwujud dengan diterapkannya peraturan Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah rasyidah. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan tatanan kehidupan secara mendasar dengan kembali kepada sistem kehidupan Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Hanya aturan Islam yang mengerti sepenuhnya apa yang terbaik bagi manusia. Karena datangnnya dari Sang pemilik kehidupan, yaitu Allah ta'ala. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 206 : "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Wallahu'alam bishowab.[]