Kala Ukraina Menjadi Playground dari “The Greedy Giants”

"Posisi AS dalam urusan Ukraina ini berubah-ubah menyesuaikan tujuan yang hendak dicapainya. Sebelum invasi terjadi, AS cukup agresif terhadap Ukraina dengan menggelontorkan bantuan pada Ukraina, yang menyulut Rusia untuk lebih agresif lagi ke Ukraina. Namun, setelah invasi dilancarkan, AS seakan meninggalkan Ukraina dalam gempuran Rusia yang padahal sebelumnya ia berikan dukungan. Tapi di balik plin-plannya sikap AS tersebut, ada satu yang jelas, bahwa The Greedy Giant atau raksasa rakus-AS beserta Rusia dan Cina-menjadikan Ukraina sebagai medan untuk mengontestasikan kepentingannya dalam menjaga unipolaritas politik internasional di bawah telunjuknya."

Oleh. Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Kontributor Tetap NarasiPost)

NarasiPost.Com-Dalam peperangan modern di era politik “Machiavellian”, belum pernah tercatat satu perang pun yang tidak merugikan rakyat sipil. Ambisi-ambisi yang seringnya didorong oleh kepentingan politik dan ekonomi seringnya menyebabkan rakyat sipil harus menanggung dampaknya. Begitu pula yang terjadi di Ukraina. Invasi Rusia yang sudah memasuki pekan keduanya ini mulai menargetkan fasilitas vital, seperti rumah sakit.
Mariupol, kota pelabuhan di Ukraina dibombardir oleh Rusia. Warga yang terjebak di kota ini dikabarkan mencari-cari makanan dan bahan bakar. Tak hanya itu, serangan Rusia juga telah menewaskan tiga orang yang berada di rumah sakit bersalin. Warga yang sudah mengungsi ke negara-negara Eropa lainnya sudah mencapai angka 2,3 juta orang. Dan Kyiv kini diibaratkan sebagai sebuah benteng yang dilindungi oleh warga yang dipersenjatai. (APnews, 11/3/22)

Biokot dan sanksi yang diberikan oleh AS serta beberapa negara Barat lainnya belum menjadi hantaman keras bagi Rusia yang membuatnya bisa menghentikan serangan. Diboikotnya Rusia dari sistem SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecomunication), yakni sebuah sistem telekomunikasi untuk perbankan internasional berbasis dolar, diharapkan oleh Barat bisa mengancam kemampuan bank-bank di Rusia untuk beroperasi secara global.
Sanksi dari AS serta Uni Eropa memang sangat terasa dampaknya. Harga energi, juga minyak dan gas naik drastis di Rusia. Hanya saja, Putin ketika memutuskan untuk menginvasi Ukraina, tentu sudah memikirkan matang-matang konsekuensi yang bisa diterima Rusia, yang sanksi diberikan oleh Barat pun ternyata belum benar-benar membuatnya melunak dan menarik serangannya. Dan benar saja, justru sanksi yang diberikan oleh negara-negara Barat tersebut secara tidak langsung membawa pengaruh juga kepada Eropa, karena mereka, suka tidak suka, membutuhkan energi serta migas yang diekspor oleh Rusia. Mereka juga merupakan pasar utama untuk penyaluran energi dan migas dari Rusia, mengingat kebutuhan mereka yang cukup besar. Sedemikian panas situasi yang sedang terjadi di Barat sana, lantas sikap dan pandangan seperti apakah yang harus ditunjukkan oleh kaum muslimin terkait isu ini?

Cina dan Lagak “Pahlawan Kesiangan”

Dalam diskursus politik, persekutuan adalah sebuah hal yang niscaya dalam paradigma liberal sebagaimana yang berlangsung hari ini. Rusia sebagai salah satu aktor politik pun tak lepas dari persekutuan, yang selama ini memang tampak dekat sekali dengan Cina. Di tengah sanksi politik dan ekonomi Barat atas Rusia, Cina mengeluarkan pernyataan bahwa mereka akan tetap memiliki hubungan dagang yang normal dengan Rusia. Pernyataan ini tentu memberikan dukungan yang cukup vital untuk Rusia.
Ekspor dan impor yang dijalani keduanya beberapa tahun terakhir pun meningkat cukup signifikan. Antara keduanya saja, sudah terjadi transaksi sejumlah hampir 147 miliar dolar AS, yang menandakan sekitar 18% perdagangan Rusia selama tahun 2021, berdasarkan data yang dirilis oleh Bank Dunia. Bahkan ketika invasi diumumkan oleh Rusia, Cina segera mencabut pembatasan terhadap ekspor gandum Rusia, yang sebelumnya direstriksi Cina karena alasan wabah. (BBC, 8/3/22).

Hanya saja, meski keduanya memiliki hubungan dagang yang cukup intim, Cina tidak menolak sanksi yang ditimpakan kepada Rusia oleh negara-negara Barat, khususnya yang tergabung di dalam PBB. Hal ini boleh jadi dilakukan oleh Cina agar ia bisa mengamankan posisinya jika ia melakukan hal serupa terhadap Taiwan, wilayah yang selama ini ingin disatukan ke pelukannya. Sikap semimendukung Cina atas Rusia ini di satu sisi menegaskan posisi mereka yang sama-sama ingin melawan hegemoni AS di kawasan. Hal ini juga terlihat ketika Cina justru menyalahkan AS dalam kasus Ukraina, namun tidak mengecam invasi yang dilakukan Rusia.

Dengan keberpihakan yang ditunjukkan Cina pada Rusia ini, seakan memberikan sinyal pada dunia bahwa konflik ini tidak lepas dari perebutan hegemoni kutub barat (AS dengan NATO dan Uni Eropa) dan timur (Rusia dengan Cina). Banyak pandangan yang bergulir juga mengatakan bahwa Cina dan Rusia ingin menonjolkan multipolaritas dalam politik internasional, menggantikan unipolaritas yang dikuasai oleh AS. Padahal, baik multipolaritas yang digawangi oleh kutub timur maupun unipolaritas yang dipegang kutub barat saat ini, keduanya sama-sama tak akan memberikan kebaikan pada umat manusia, karena keduanya masih menjadikan sistem kapitalisme yang terbukti tidak manusiawi sebagai landasan aktivitas.

AS, Sang Provokator Ulung

Posisi AS dalam urusan Ukraina ini berubah-ubah menyesuaikan tujuan yang hendak dicapainya. Sebelum invasi terjadi, AS cukup agresif terhadap Ukraina dengan menggelontorkan bantuan pada Ukraina, yang menyulut Rusia untuk lebih agresif lagi ke Ukraina. Namun, setelah invasi dilancarkan, AS seakan meninggalkan Ukraina dalam gempuran Rusia yang padahal sebelumnya ia berikan dukungan. Tapi di balik plin-plannya sikap AS tersebut, ada satu yang jelas, bahwa The Greedy Giant atau raksasa rakus-AS beserta Rusia dan Cina-menjadikan Ukraina sebagai medan untuk mengontestasikan kepentingannya dalam menjaga unipolaritas politik internasional di bawah telunjuknya.

Polaritas dalam diskursus hubungan internasional adalah sebuah teori di mana suatu kekuatan dalam sistem internasional itu didistribusikan. Pasca perang dingin, dunia disebut berada dalam unipolaritas dengan AS sebagai pemenangnya. Sejak saat itulah, Rusia yang merupakan peninggalan Uni Soviet menjadi negara nomor sekian dalam kancah dunia setelah AS. Sebagai negara yang mengemban ideologi kapitalisme-liberal, AS akan berusaha segenap tenaga untuk menjaga hegemoninya dan bila perlu menyebarluaskan hegemoni tersebut ke seluruh penjuru dunia melalui berbagai program, agenda dan kebijakan internasional.

Atas dasar itulah, selama beberapa tahun terakhir, AS kerap membangun hubungan militer ke negara-negara yang dirasa strategis untuk menyangga hegemoninya, termasuk di Ukraina dan negara-negara di dekat laut Baltik, yang berposisi sangat dekat dengan Rusia. Secara geopolitik, kebijakan AS ini berpotensi mengancam kepentingan Rusia yang senantiasa ingin mengembalikan kejayaan ala Soviet dahulu, yang akhirnya termanifestasi dalam invasinya kepada Ukraina. Salah satu alasan yang bisa mendasari sikap provokatif AS tersebut adalah agar Rusia yang “memakan umpan” dari AS itu memiliki pamor yang rendah di hadapan dunia, sehingga ia akan terlihat sebagai the villain atau penjahat, sementara AS dan sekutunya menjadi superhero alias penyelamat karena telah membantu Ukraina secara moral dan finansial.

Unipolaritas Islam adalah Unipolaritas Hakiki bagi Umat

Pelajaran berharga yang terpampang nyata melalui konflik Rusia dan Ukraina untuk diambil oleh kaum muslimin adalah bahwa kita hanya menjadi pihak yang menonton dari jauh. Ada namun dianggap tiada oleh mereka yang berkontestasi. Banyak namun tak memiliki suara dan posisi yang signifikan untuk dijadikan sebagai rujukan dan menjadi aktor penting. Yang lebih pahit lagi, umat Islam malah hanya menjadi korban conflict of interests dari negara “dua kutub” itu.

Kondisi ini seakan mengaburkan sejarah gemilang umat dahulu, yang bahkan negara Barat pun segan kepada kita. 1300 tahun lamanya, nama umat ini menjadi nama yang menorehkan kebanggan di dada pemeluknya. Polaritas yang diperebutkan oleh negara-negara kufur hari ini seharusnya menanamkan pemahaman ke dalam benak umat, bahwa Islam adalah polaritas yang sesungguhnya kita butuhkan agar berhenti menjadi pihak “pesakitan”. Ketiadaan kekuatan unipolar di bawah sistem Islam, yakni khialafah itu terbukti mengakibatkan dunia berada di persimpangan kompetisi kekuatan yang berusaha menguasai. Selain itu, umat juga menjadi tidak mengetahui kepada siapa keberpihakan seharusnya diberikan. Bukan tanpa alasan Allah menyematkan gelar khairu ummah atau umat terbaik kepada umat Muhammad ini, salah satunya adalah bahwa kita merupakan entitas terbaik yang diturunkan Allah di muka bumi. Wallahu a’lam bisshawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Iranti Mantasari BA.IR M.Si Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Gara-gara HP
Next
Indonesia Darurat Kejahatan Seksual
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram