Ironi Demokrasi, Pelapor Menjadi Tersangka: Kisah Pilu Nurhayati

"Nurhayati, namanya melangit menjadi pembicaraan publik. Keberanianya disambut apresiasi. Namun sayang, tidak begitu dengan hukum di negeri ini, lantaran "sempat" menjadikannya tersangka atas kasus korupsi yang dia laporkan sendiri. Publik pun bersimpati, dukungan mengalir deras. Wajah penegak hukum kembali tercoreng, melunturkan kepercayaan atas keberadaanya. "

Oleh. drh. Lailatus Sa'diyah
( Kontributor Tetap NarasiPost.Com )

NarasiPost.Com-Keberanian Nurhayati melaporkan kasus dugaan korupsi oleh Kepada Desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, menghantarkanya menjadi tersangka pada November 2021 lalu. Atas pemeriksaan yang berwajib, dia malah diduga melanggar Pasal 66 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Dengan tuduhan memberikan uang dana desa secara langsung ke Kepala Desa Supriyadi, bukan ke kaur dan kepala seksi pelaksana kegiatan, sehingga menimbulkan kerugian negara. Bagaimana bisa yang melapor justru dijadikan tersangka?

Menanggapi kasus ini, publik bergejolak menuntut keadilan. Kapolres Cirebon Kota, AKBP Fahri Siregar, menjadi sasaran protes atas menetapan Nurhayati sebagai tersangka. Sontak kasus ini membuat publik ketakutan untuk membongkar kasus korupsi di tengah-tengah masyarakat. Setelah berjalan beberapa bulan penyidikan, kasus ini kemudian dihentikan. Sebagaimana yang disampaikan Menkopolhukam, Mahfud MD (27/02), status tersangka Kepala Urusan Keuangan Desa Citemu, Cirebon, Jawa Barat, Nurhayati akan segera dicabut atau tidak dilanjutkan.

Lalu, apakah kiranya yang menjadi pertimbangan penegak hukum menghentikan penyidikan dan mencabut tuntutanya kepada Nurhayati?

Hukum Serampangan ala Demokrasi

Dari awal menetapan Nurhayati sebagai tersangka, publik menilai kasus ini dirasa janggal. Bahkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai penetapan tersangka terhadap Nurhayati yang menjadi pelapor dugaan korupsi dana desa merupakan suatu preseden buruk bagi penegak hukum. (Antaranews, 28/02).

Bedasarkan Pasal 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak boleh dipidana. Ini menunjukkan jika didasarkan pada hukum positif, Nurhayati tidak dapat dikatakan melanggar Peraturan Pemerintah Dalam Negeri Pasal 66. Inilah blundernya penerapan hukum di Indonesia. Inilah fakta, tumpang tindih antara hukum satu dan lainnya.

Di sisi lain, Mahfud MD mengatakan bahwa pencabutan tuntutan serta penghentian status Nurhayati sebagai tersangka agar mampu meningkatkan semangat masyarakat untuk melaporkan tindak pidana kasus korupsi yang mereka temukan. Dari sini dapat kita tangkap bahwa sesungguhnya pemerintah ingin memberikan citra positif atas kinerja pemerintah dalam melibatkan masyarakat untuk memberantas kasus tindak pidana korupsi. Lagi-lagi tercium aroma politik pencitraan.

Atau jika benar dalam prosesnya penegak hukum merasa "khilaf" dalam menetapkan Nurhayati sebagai tersangka, hendaknya yang berkaitan berani menyatakan kesalahnnya dan meminta maaf kepada Nurhayati serta publik secara terbuka. Namun sepertinya, hal tersebut tidak akan pernah dilakukan dalam sistem pemerintahan yang penuh dengan drama pencitraan.

Faktanya, rezim berkuasa saat ini tidak pernah serius dalam memberantas korupsi dan menghukum para tikus berdasi. Banyak kasus dugaan tindak pidana korupsi yang akhirnya hilang dalam pemberitaan dan yang terduga sebagai tersangka tetap bisa melenggang bebas berkiprah dalam pemerintahan. Seperti kasus dugaan tindak pidana korupsi RS Sumber Waras, kasus dugaan tindak pidana korupsi e-KTP, dan masih banyak lagi. Sekalipun beberapa kasus tindak pidana korupsi berhasil diungkap KPK, namun faktanya tuntutan hukuman yang diberikan tidak membuat jera pelaku dan malah menginspirasi kroni-kroninya. Inilah potret keadilan semu dalam demokrasi. Penegakkan hukum di negeri ini sejatinya tidak mampu menekan kasus tindak pidana korupsi, terbukti dari makin tingginya kasus pelanggaran yang ditemukan.

Lalu, masihkah kita menaruh hati dan percaya dengan rezim saat ini?

Islam Basmi Tuntas Tindak Pidana Korupsi

Islam memandang korupsi termasuk tindak kejahatan yang diharamkan. Sedikit atau banyak harta rakyat yang dikorupsi hukumnya tetap haram. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Rasulullah saw bersabda: "Siapa saja yang kami beri tugas melakukan sesuatu pekerjaan dan kepada dia telah kami berikan rezeki (gaji), maka yang diambil oleh dia selain itu adalah kecurangan (ghulul).”

Korupsi adalah aktivitas melanggar syariat Allah. Maka dari itu, Islam sangat tegas dalam memberikan sanksi kepada tersangka korupsi. Sebagaimana sabda Rasullulah dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim : "Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya. " Inilah potret penerapan hukum Islam yang tidak pandang bulu. Siapa pun yang melanggar syariat akan dihukum secara adil.

Penerapan syariat Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah akan menutup semua celah potensi terjadinya tindak pidana korupsi. Pejabat yang dipilih adalah pejabat yang dinilai amanah dalam menjalankan tugasnya. Pejabat yang senantiasa memiliki ketakwaan kepada Allah ta'ala hingga takut melakukan perbuatan maksiat yang akan mendatangkan murka Allah. Di sisi lain, Khilafah juga akan menerapkan hukum secara tegas kepada siapa pun yang melakukan tindak pidana korupsi. Pejabat yang terindikasi melakukan korupsi harus bisa menunjukkan sumber harta mereka apakah dari perkara yang halal atau haram. Jika terbukti melakukan korupsi akan dijatuhi hukuman ta'zir. Di mana sanksi-sanksi yang diberikan nantinya berdasarkan keputusan Khalifah atau boleh berdasarkan ijtihad Kadi.

Menurut Muhammad Husain Abdullah dalam kitab Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam menjelaskan jenis-jenis sanksi ta'zir adalah: pembunuhan (al-qatl), jilid (al-jald), penjara (al-habs), pengusiran (al-nafyu), memboikot (al-hijr), membayar denda (al-gharamah), melenyapkan harta (itlaf al-mal), ancaman yang sesungguhnya (at tahdid ush shadiq), memutuskan nafkah/gaji, dan mencela.

Sedangkan sanksi takzir untuk tindak pidana korupsi bisa mendapatkan hukuman mati jika itu yang diputuskan oleh Khalifah. Selain itu, pelaku korupsi akan diumumkan secara publik dan sanksi ekonomi berupa diambil hartanya hasil korupsi oleh Khilafah. Inilah gambaran penerapan hukum Islam untuk memberantas tindak pidana korupsi. Hukum ini diterapkan secara tegas agar mampu membuat jera para pejabat yang hendak melakukan tindak korupsi. Satu lagi yang paling penting, penanganan kasus korupsi dalam Khilafah tidak akan berlarut-larut seperti dalam rezim sekarang ini. Wallahu'alambishowab.[]


Photo : Pinterest

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
drh. Lailatus Sa'diyah Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Refleksi Rajab Momen Tepat bagi Kebangkitan Umat
Next
Harga Daging Sapi Melonjak, Negara Gagal Jaga Pangan Nasional
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram